Kontrak kerja telah disepakati antara Aaron dengan pihak istana, dalam hal ini adalah Aurora atau yang biasa dipanggil Ara. Besok dia akan mulai mengajar jam 9 pagi dengan materi pelajaran matematika dan Bahasa Inggris, dua mapel yang paling dia sukai. Seharusnya Aaron bersemangat karena hal itu, tapi dia malah merasa down.
Setelah kesepakan itu selesai, Aaron pulang dengan keadaan galau. Kenyataan bahwa dia diberi kesempatan sebagai guru karena ada unsur nepotisme membuatnya merasa tak berharga. Gak punya harga diri banget gitu harus tunduk di depan cewek. Tapi biarlah, sudah terlanjur. Ini gara-gara iming-iming 'pengalaman sekali seumur hidup'. Jadi anggap saja hikmah dibalik musibah.
Sesampainya di rumah, wajah Aaron yang galau menjadi perhatian sang adik. Dylan terus menatap raut muka Aaron mulai dari dia masuk rumah hingga rebahan di kursi busa panjang. Aaron menyandarkan kepalanya, sedang Dylan mengamati dari atas.
"Wajahmu napa kusut gitu? Kena prank?"
"Bukan."
"Diusir?"
"Gak lah."
"Gajinya kurang?"
"Setaraf istana masa kasih gaji kurang? Kamu bahas itu mulu."
Dylan kemudian duduk di samping kakaknya.
"Lha trus kenapa dong?"
Aaron tak menjawab, tapi dia malah balik bertanya. "Dy, ingat gak sama makanan dan cemilan yang sering ada di depan pintu rumah?"
"Dari adik kelasmu?"
Aaron mengangguk.
"Ingat. Memang kenapa?"
"Dia yang jadi muridku."
"Hah?!!" Dylan memekik heboh, telinga Aaron sampai berdenging dibuatnya. "Berarti yang suka kirim-kirim makanan itu anaknya presiden?"
"Mm," jawab Aaron selow seraya meniup-niup udara ke kepalan tangan, lalu dia tempelkan di telinganya yang terdistorsi suara sang adik.
"Yang naksir kamu itu anaknya presiden?!"
"Begitulah."
Mulut Dylan terbuka tapi tak mengeluarkan suara. Dia sedang amat sangat terkejut. Kakaknya yang cool dan mengerikan itu ditaksir cewek yang bukan kaleng-kaleng.
"Jadi alasan kamu bisa tiba-tiba disuruh jadi guru les adalah karena dia?"
Aaron mengangguk lesu. Harga dirinya kembali tertusuk mendengar pertanyaan Dylan. Andai Aurora anak orang biasa, dia pasti akan tegas menolak. Mau berapapun gajinya Aaron tak peduli. Uang bulanannya dengan Dylan saja sudah melebihi harga motor, jadi gak butuh duit tambahan apalagi atas nama cinta yang tidak dia kehendaki.
Ingatan Aaron kembali ke waktu tadi ketika Pak Han mengantarnya sampai gerbang luar istana. Beliau bercerita bahwa sang nona sudah tak sekolah lagi dan melanjutkan pendidikannya dengan home schooling. Sampai detik ini kenyataan itu agak mengherankan bagi Aaron, kalau gak niat sekolah kenapa daftar jadi murid? Cuma pakai seragam beberapa bulan lalu memutuskan home schooling. Kenapa gak sedari awal saja sekolah di rumah.
Tapi meski heran, dia tak bertanya apapun. Pikirnya mungkin ada alasan dibalik keputusan yang agak nyleneh itu. Yang lebih aneh lagi adalah ketika dia didaulat jadi guru les di usianya yang masih 17 tahun. Apa ayah Ara gak curiga atas permintaan anaknya? Atau jangan-jangan mereka semua tahu alasan dibalik permintaan itu? Kepala Aaron mendadak pening.
"Luar biasa."
Ucapan Dylan mengembalikan Aaron dari lamunan.
"Luar biasa apanya?"
"Keluarga kita mau punya besan presiden."
Dijitaknya kepala sang adik pelan. "Aku masih SMA."
"Siapa tahu kalian berjodoh."
"Dia berjodoh denganku? Mimpi!" jawab Aaron yang lantas bangkit dan pergi menuju kamar mandi.
"Ngomong-ngomong nama kalian hampir mirip loh. Aaron dan Aurora."
Bam!
Aaron menutup pintu kamar mandi dengan cukup keras. Dylan tertawa cekikikan, merasa sukses telah menggoda kakaknya. Namun setelah beberapa saat tawanya terhenti dan gantian wajahnya yang tampak kusut. Mimpi, kata Aaron. Benar, memang mimpi. Mana mau presiden punya besan gak normal seperti papanya? Bikin malu se-Indonesia.
*****
Ruang belajar sang nona muda yang semula hanya berupa deretan kursi beserta meja panjang, kini telah bertambah penduduk baru dengan adanya layar proyektor di ujung meja yang terhubung ke tablet canggih. Alat-alat tambahan itu hanya ada ketika sang putri belajar. Jadi ketika memberi materi, guru tinggal menulis di tablet menggunakan pen yang pastinya akan langsung muncul di layar proyektor.
Dan satu lagi yang baru, sang bodyguard. Pengawal sebelumnya adalah dua orang Men in Black itu, sekarang hanya satu orang saja. Dia, alias si pengawal, tak tampak kaku dan selalu mengekor dimana tuannya berada. Orang itu hanya duduk santai sambil membaca buku di sudut ruangan yang lain. Good, batin Aaron. Dia tak lagi seperti narapidana yang sedang diawasi polisi.
Aaron agak deg-degan memulai pekerjaannya sebagai guru. Selain karena waktunya yang mendadak, dia juga belum pernah melakukan hal semacam ini. Untung ingatan bagaimana dulu guru les privatnya mengajar masih terekam jelas di otaknya. Inti dari mengajar les adalah pendalaman materi dan juga pemberian materi selangkah lebih awal dari sekolah formal.
"Matematikamu sudah sampai mana?" tanya Aaron dengan ekspresi datar khas dirinya.
"Bilangan rasional."
"Ada yang kurang paham?"
Aurora mengangguk. "Sulit sekali. Guruku menjelaskannya terlalu cepat. Aku tidak mengerti satupun," jawabnya dengan bibir manyun yang terkesan manja.
"Jangan menjelekkan gurumu sendiri. Kalau terlalu cepat bilang saja. Kenapa mengeluh dibelakangnya?"
Aurora tampak terperanjat dengan teguran sadis guru gantengnya. Dia maunya mengeluh biar diberi perhatian lebih, malah dimarahi. Tapi cewek itu tak tersinggung, dia malah menunjukkan senyum cantik. "Iya, ampun aku salah."
"Lihat catatanmu!" Aaron menarik binder bersampul pink di depan Aurora, lalu membolak-balik kertas untuk meneliti isinya. Di dalamnya berisi materi sekaligus soal-soal yang harus anak itu kerjakan. Kening Aaron berkerut, semua nilai yang didapat Aurora sempurna alias 100. Menandakan dia anak yang pintar matematika. Seketika hati Aaron terasa diremas. Dia seperti sedang dikerjai. Untuk apa memakai tenaganya kalau ternyata sudah menguasai materinya?
"Kamu berbohong. Aku yakin sebenarnya kamu gak butuh aku sebagai guru les. Bukankah itu sama saja kamu membuang waktuku?"
"Bukan begitu!" Aurora memegangi lengan Aaron. "Aku bisa karena diajari. Pas ngerjain soal tuh dibimbing sama gurunya, jadi wajar kalau nilaiku segitu. Nilai semua mapel juga seratus. Gak mungkin kan mereka kasih nilai jelek? Pastinya takut lah sama ayah."
Mulut Aaron pun terbungkam. Benar juga yang dikatakan cewek itu. Dia sudah suudzon duluan. "Sori," ujar Aaron seraya menarik tangannya. Dia tak terbiasa disentuh oleh orang asing. Tempat duduknya dengan Aurora terlalu dekat.
Aurora yang diberi ucapan maaf langsung berbinar matanya, terpana dengan yang baru saja dia dengar. Meski wajah Aaron tanpa ekspresi, tapi sudah mampu membuatnya berbunga-bunga. "Kakak ganteng banget pas bilang sori. Sumpah."
Aaron keselek dan terbatuk oleh ludahnya sendiri. Anak presiden satu ini memang gila. Bisa-bisanya merayu disaat ada orang lain, maksudnya bodyguard, selain mereka. Bukannya ingin dirayu, tapi harusnya ngerti sikon. Kalau begini Aaron sendiri yang malu. Semoga saja orang itu tak mendengar jika dilihat dari jarak tempat duduknya yang agak jauh. Harapan Aaron terkabul, sang bodyguard tak memperlihatkan reaksi apapun. Dia tetap anteng membaca
"Peraturan pertama, harus sopan," Aaron memperingatkan.
"Kapan aku gak sopan?"
"Mengucap kata pantas ke tutor sama saja tindakan tidak sopan."
Aurora menyeringai. "Iya, maaf."
Aaron menggeser kursinya menjauh. Secara spontan Aurora mengikutinya, menggeser kursinya mendekat.
"Baru saja aku sebut peraturannya tapi kamu sudah lupa."
Cewek itu terlihat manyun, tapi tak jua duduk menjauh. Aaron geregetan. Dia lantas menulis sesuatu di atas binder. Selesai, dia pun menyodorkan ke Aurora.
"Peraturan kedua, dilarang duduk terlalu dekat atau melakukan kontak fisik dengan tutor. Peraturan macam apa ini?" protes Aurora.
Aaron tak menjawab. Dia kemudian malah menulis lagi di bawah tulisan sebelumnya.
"Peraturan ketiga, tutor harus diperbolehkan pulang setelah pelajaran selesai. Tidak ada jam tambahan yang tak perlu." Kali ini Aaron yang bicara dengan menunjukkan hasil tulisan terakhirnya.
Aurora makin menunjukkan wajah muram. "Tidak mau!"
"Kalau menolak, aku akan resign."
Bahu Aurora merosot. Dia tak punya pilihan. Pikirnya dulu bisa memanipulasi kakak kelasnya ini, nyatanya malah dia yang diatur.
"Iya deh. Iya."
"Sekarang geser dudukmu menjauh. Pelajaran akan segera kita mulai."
Aurora menarik kursinya perlahan hingga menimbulkan bunyi berderit akibat gesekan kaki kursi dengan lantai. Dia tak ikhlas harus berjauhan dari gurunya, makanya menggesernya malas-malasan. Tapi mendadak kursi itu terasa ringan, seperti diangkat oleh orang lain. Aurora menengok, ternyata sang bodyguard lah yang membantunya memindahkan kursi.
"Terimakasih," ucap Aurora ramah sembari tersenyum.
Bodyguard itu mengangguk, tak membalas ucapan terimakasih tuannya dengan kata-kata. Setelah itu dia kembali duduk ketempatnya semula dan membaca buku.
Dalam hati Aaron berdecih. Pantas saja cewek itu manja, memindahkan kursi saja pakai dibantu. Kapan bisa mandiri?