Entah sudah berapa hari semenjak peristiwa roti itu, Aaron belum lagi melihat si pengganggu beserta hadiah-hadiahnya. Tidak di pintu kelas di pagi hari, tidak pula di jam istirahat siang, pun tidak di depan rumahnya. Seolah cewek itu hilang ditelan bumi. Walaupun terlihat tidak peduli, tapi hati Aaron bertanya-tanya, kemanakah dia?
Di satu sisi Aaron senang karena hari damainya telah kembali, tapi disisi lain dia juga masih merasa bersalah. Belum pernah dia berbuat sejahat itu. selama ini palingan hanya ketus atau acuh. Jadi ketika ada yang menangis karenanya, hal itu sangat menusuk di hati. Terngiang-ngiang terus seolah dia adalah manusia paling berdosa di dunia.
Aurora Rosalind, Aaron ingat dengan jelas nama cewek itu. Sebenarnya dia cantik, hanya sayang Aaron belum ada minat untuk menjalin romansa dengan siapapun. Hidupnya sekarang saja sedang sangat rumit, jadi tidak ada waktu untuk cinta-cintaan. Cinta baginya hanya akan bikin repot, hanya akan membawa masalah. Seperti cinta papanya ke sang ayah yang dampak kerepotannya harus ditanggung olehnya dan Dylan.
Hari demi hari berlalu, sampai suatu ketika saat Aaron sedang makan di kantin, ada segerombolan anak-anak perempuan yang datang belakangan dan makan di sana sembari bergosip. Meski tempat duduk Aaron dengan kumpulan anak kelas satu itu cukup jauh, tapi dia bisa mendengar apa yang digosipkan karena suara mereka yang keras. Aaron segera menyudahi makannya agar bisa pergi secepatnya dari tempat itu. Dia risih. Bukan karena suara keras mereka, melainkan tatapan penuh minat yang terus menyapu kearahnya.
Belum lagi kakinya melangkah menjauh, Aaron mendengar satu topik dibicarakan dalam sesi gibah mereka, dan itu membuat hatinya tak nyaman. Katanya, cewek yang beberapa hari terakhir ini menggelitik rasa bersalahnya, telah pindah sekolah.
Si sulung Stein pun jadi kepikiran. Pindah sekolah?! Jadi karena itu Aurora tak pernah lagi menampakkan muka. Kenapa pindah? Apa karena ancaman Aaron yang melarang untuk menemuinya lagi, atau karena roti yang dia jatuhkan itu?
Mendadak Aaron merasa kesal, si cewek tengil ternyata tidak seberani dugaannya. Hanya karena hal sepele saja sudah membuatnya pindah sekolah. Mental tuh anak benar-benar mengkhawatirkan, sebentar sok jagoan, sebentar kemudian melempem. Cewek macam gitu mau pacarnya? Masuk kriterianya seujung kuku pun tidak.
Lalu, satu bulan semenjak bocah rese itu tak lagi menampakkan diri, rumah Aaron kedatangan tamu tak terduga. Minggu sekitar jam 10 pagi, dua pria muda tinggi besar berpakaian ala Men in Black dan seorang pria paruh baya berkaos putih, menyambangi apartemen sederhananya. Dilihat dari komposisi penampilan, bisa Aaron perkirakan kalau dua pria Men in Black itu pasti bodyguardnya si pria berkaus putih. Jika tebakannya benar, bukankah mereka adalah tamu yang aneh untuk ukuran anak seumurannya?
Semula Aaron berpikiran buruk, apa jangan-jangan orang itu bos mafia yang akan memaksanya menjadi kurir narkoba? Atau mungkin mereka anggota sindikat perdagangan manusia? Ataukah mereka hanya nyasar? Ternyata pikirannya salah semua setelah sang leader menyebut nama lengkap Aaron yang tentu saja membuat Aaron kaget, kok mereka tahu namanya?
"Bapak tahu saya darimana?"
"Dari sumber terpercaya."
Aaron menatap waspada. Dia cuma warga negara biasa yang bahkan punya teman pun tidak. Lalu bagaimana orang-orang ini bisa mengenalnya?
"Seseorang yang mengenal anda adalah informan saya. Itu saja alasannya kenapa saya bisa sampai kemari." Leader itu memberi penjelasan. Tapi bukannya merasa lega, Aaron malah khawatir. Siapa orang yang mengenal dirinya? Jangan-jangan tahu tentang papanya juga?
"Saya tahu jika kedatangan kami pasti membuat anda terkejut. Tapi kami kemari dengan niat baik." Orang itu tersenyum penuh wibawa, tapi Aaron masih meresponnya dengan sikap curiga.
"Sebelumnya perkenalkan," sang bapak kembali bersuara. "Saya asisten pribadi Bapak Presiden."
"Asisten siapa?"
"Pak Presiden."
What?!! Dahi Aaron berkerut, mencoba menyerap makna ucapan pria itu. Asisten pribadi presiden?! Presiden apaan nih, presiden direktur, presiden klub sepak bola, atau Presiden Indonesia? Tidak mungkin presiden yang kepala negara kan? Lagian ada urusan apa orang sepenting itu sampai mengirim asisten untuk menemuinya? Atau orang ini sedang ngibul buat memperdayanya saja.
"Ini tanda pengenal saya," sang leader menyodorkan sesuatu yang baru dia ambil dari uluran tangan sang boduguard. Itu bukan KTP, tapi sebuah kartu pass yang kertasnya model hologram dan ada tulisan 'Staff Kepresidenan'. Ada lambang garuda juga di sana dengan cetakan timbul dari tinta emas. Handoko Adiwilaga, Aaron membaca nama yang tertera di sana. Sangat Jawa sekali, khas nama pria jaman dulu.
"Anda bisa memanggil saya Pak Han," sang bapak tersenyum sembari menjelaskan.
Untuk sesaat Aaron termangu. Dia belum pernah melihat kartu tanda pengenal orang istana kepresidenan, tapi dilihat dari manapun sepertinya tanda pengenal itu asli. Bapak itu juga kalau dilihat dari auranya yang berkelas sangat cocok jika benar sebagai asisten presiden. Tapi ngapain asisten presiden kemari?
"Tolong ijinkan saya masuk. Hanya saya saja karena mereka biar berjaga di depan pintu. Ada hal penting yang hendak saya sampaikan pada anda."
Yang bapak itu maksud 'mereka yang berjaga di depan pintu' sudah pasti si bodyguard. Tapi Aaron tak mungkin membiarkan mereka beneran ada di luar. Bisa-bisa membuat heboh warga apartemen ini. Jadilah dia mempersilahkan ketiganya untuk masuk. Sebenarnya Aaron agak ketar-ketir juga. Dia sendirian karena Dylan sedang keluar buat belanja isi kulkas. Semoga saja orang ini beneran staff presiden.
Dan apa yang kemudian disampaikan Pak Han membuat Aaron tak bisa berkata-kata. Dia tercengang. Bayangkan, masa orang itu bilang Pak Presiden memintanya untuk menjadi guru privat anaknya. Guru priavat loh!
Ingin rasanya Aaron tertawa. Dia pasti sedang mimpi. Atau tamunya ini sedang berbohong? Atas dasar apa Pak Presiden memintanya jadi guru privat? Kan banyak orang yang jauh lebih berkompeten daripada dirinya. Lagian, apa presiden tidak punya stok guru dari stafnya sendiri yang pasti terdiri dari orang-orang pintar semua? Kenapa jauh-jauh datang padanya yang masih kelas dua SMA? Tidak masuk akal!
Tapi kalau dipikir-pikir lagi, untuk apa juga membohonginya? Dia kan hanya warga negara biasa. Yang agak istimewa dari hidupnya hanyalah dia siswa yang berprestasi dan bisa sekolah di SMA elit berkat nilai yang sempurna, bukan dari kekayaan. Tapi itu bukan berarti dia bisa masuk kriteria sebagai guru privat untuk anak presiden. Terlalu mengada-ada.
Karena masih belum percaya dengan perkataan sang tamu, Aaron kemudian sedikit mendebatnya dengan pertanyaan-pertanyaan yang tadi hanya terlintas di kepalanya. Pria paruh baya itu meladeninya dengan sabar dan tanpa melepas senyumnya yang menyejukkan, menunjukkan kelasnya sebagai asisten pribadi orang nomor satu negeri ini. Hasil akhirnya, orang itu memberinya selembar kartu nama dan sebuah kartu pass untuk masuk ke kediaman presiden dengan disertai kata-kata pamungkas.
"Datanglah nanti malam. Anda akan tahu, apakah saya berbohong atau tidak."
Selama bermenit-menit setelah tamunya pergi, Aaron terus menimang kartu passnya sambil berpikir, apa yang baru saja dialaminya tadi sungguhan atau bohongan sih? Semua begitu tiba-tiba, jadi wajar kalau dia masih sulit percaya. Kalaupun benar, dari mana Pak Presiden tahu ada manusia bernama Aaron Stein di negara ini? Perasaan sedari dulu keluarganya tidak pernah ada yang bersentuhan dengan dunia politik.
Aaron lihat lagi kartu namanya. Alamat yang diberikan sih benar merupakan kediaman presiden, tapi masih belum membuatnya yakin. Okelah, nanti malam dia akan datang agar terjawab keraguannya. Misal cuma prank kan bisa dia tinggal kabur.