"Kamu jadi guru les anaknya presiden?"
Pertanyaan itu terlontar dari mulut Dylan disertai ekspresi tak percaya yang tercetak di wajahnya. Jangankan yang nanya, Aaron sendiri juga masih berasa mimpi.
"Iya."
"Serius?"
Aaron mengangguk.
"Tapi gimana bisa? Kenal aja enggak, kok mendadak diminta jadi guru sih, Ar? Mana asistennya sendiri loh yang datang. Kan aneh."
Aaron mengedikkan bahu. Yang dikatakan Dylan tadi sudah kenyang dia pikirin dan pertanyakan. Dan jawabannya tetap nol, gak nemu.
"Cowok apa cewek?"
"Entah."
"Kelas berapa?"
"Gak tahu."
"Lah, gimana sih Ar?"
"Orangnya gak mau bilang apa-apa soal itu. Katanya nanti tahu sendiri kalau sudah ketemu."
Dylan manggut-manggut. Dia lantas beringsut mendekat dan menatap kakaknya lekat-lekat, seakan ada sesuatu yang penting yang hendak dia sampaikan. Aaron balik menatap adiknya, menunggu. Siapa tahu Dylan memberi dia clue tentang segala tanya yang membayangi.
"Gajinya berapa?"
Gubrak! Ternyata cuma nanya gaji.
"Gak tahu."
"Kamu gak nanya?"
"Kerja di istana ya gajinya pasti gede lah. Gak usah ditanya juga."
"Iya ding," Dylan menggut-manggut. "Betewe, ini kerja pertama kamu, Ar. Sekalinya kerja langsung head shot," lanjutnya.
Aaron tersenyum geli. Emangnya dia lagi ngegame, pakai istilah head shot segala.
"Ntar malam jangan lupa belajar, Dy. Awas main musik terus." Aaron mewanti-wanti adiknya. Dia agak khawatir meninggalkan bocah itu sendiri tanpa pengawasan ketika waktunya belajar. Dylan itu jenis yang tidak mau ngerti kalau tidak diarahkan, tidak mau tahu kalau tidak dipaksa. Pinter sih, cuman rada males jika berhubungan dengan buku. Bagi adiknya yang penting hanya gitar, piano dan kawan-kawannya.
"Makanya, aku ikut ya?" Dylan mengedipkan sebelah matanya. Misal diajak kan lumayan bisa belajar sama anaknya presiden. Dia penasaran juga, anak orang nomor satu se Indonesia itu kayak apa. Ganteng seperti dirinya atau cantik seperti mamanya. Soalnya selama ini gak ada kabar akan keberadaannya. Di tipi-tipi juga beritanya tak pernah nongol.
Aaron menjawab tanya Dylan dengan menggetok pelan kepalanya. "Aku tuh mau ngajar, bukannya ke Ragunan buat daftar."
"Daftar apaan ke Ragunan?"
"Daftarin kamu jadi penduduk di sana?"
Dylan keki. Dicubitnya pinggang sang kakak. "Kamu lupa kalau kita kembar, hm?"
Aaron tertawa sambil meringis kesakitan. Dia yang biasanya cool macam permen mint, selalu menjadi pribadi yang hangat kala bersama adiknya. Begitupun Dylan yang bisa ramah hanya untuk saudaranya. Mereka tak punya teman, dan tak ingin memiliki satupun. Daripada punya dan nanti malah mereka sendiri yang malu.
~~~~~
Selepas maghrib dengan menumpang taksi, Aaron memenuhi undangan sebagai guru les. Umpama yang ngundang bukan presiden, dia mah ogah datang. Aneh aja untuknya bekerja sebagai guru. Bukannya sombong, tinggal minta ke orang tua berapa-berapa langsung dikasih. Gak minta pun dia tak pernah kekurangan.
Begitu tiba di alamat yang dituju, Aaron tak segera turun dan malah melakukan pengamatan dari balik kaca mobil. Dia harus mengenal medan pertempuran sebelum memulai perang. Dengan kata lain, Aaron sama sekali tak ada bayangan bagaimana bentuk istana itu. Lagian ngapain dibayangkan, ingin kesitu saja tidak.
Nampak belasan meter di depan sana ada gedung megah bercat putih dengan luas halaman yang mampu membuat orang pingsan setelah berlari mengelilinya walau hanya satu putaran. Lampu-lampu terang yang menghiasi membuat gedung itu terlihat seperti istana kerajaan di tengah hamparan taman yang luas dan cantik.
Istana presiden, Aaron bergumam dalam hati. Lumayan amazing ketika tiba-tiba dia diundang masuk ke dalamnya. Dia sudah pernah menikmati yang namanya gedung tertiggi, hotel termewah, atau kapal pesiar terbesar, tapi sensasinya tetap berbeda ketika yang dituju adalah istana kepresidenan negara sendiri. Mendadak rasa nasionalismenya membuncah, seakan baru belajar PKN saja.
Setelah urusan taksi selesai, Aaron melangkahkan kaki dengan percaya diri. Dia tidak bawa buku karena semua materi pelajaran ada di otaknya. Lagipula dia yakin hari pertamanya tidak akan langsung mengajar, pasti perkenalan basa-basi dulu dan pembacaan syarat-syarat tertentu. Ngajar anaknya orang penting, pasti ada seabreg aturan yang harus dia penuhi.
Sebelum sampai ke pintu gerbang, Aaron diperiksa oleh tentara penjaga di pos pertama. Tak perlu banyak memberi keterangan, dia hanya menunjukkan kartu pas dari sang asisten presiden dan para tentara yang awalnya berwajah sangar langsung menunjukkan sikap ramah.
Dengan menaiki mobil golf, Aaron diantar salah satu penjaga tadi menuju istana. Mereka melalui jalan aspal mulus yang membelah halaman luasnya. Beragam bunga-bunga cantik nan berwarna-warni menghiasi sisi jalan itu. Kalau pagi bunga-bunga itu pasti lebih cantik lagi karena akan terlihat lebih jelas, tidak hanya terang dari sorotan lampu malam.
Sesampainya di depan teras istana, sang sekretaris ternyata telah menunggu kedatangannya. Dengan senyum ramah beliau menyapa, "Saya tahu anda pasti datang."
Aaron membalas sapaan itu dengan mengangguk dan tersenyum tipis. Meski hanya seuntai, tapi itu adalah senyum paling maksimal yang pernah dia berikan pada yang selain adiknya. Lalu tanpa banyak basa-basi lagi pria paruh baya itu membawanya masuk ke dalam istana. Begitu berada di dalamnya, Aaron auto tercengang. Dia berjalan mengikuti sambil menatap apa saja yang ada di sana. Kesannya akan tempat ini cuma tiga, megah, indah dan luar biasa. Dominasi warna merah dan putih dipercantik warna gold dan gading di beberapa bagian, menunjukkan kesan mewah berkelas.
Pas di taksi tadi, Aaron sempat browsing mengenai sejarahnya. Istana ini dulunya bernama Paleis te Koningsplein, dibangun tahun 1873 oleh Gubernur Jendral James Loudon dan baru diresmikan tahun 1879 sama Pak Gubernur Jendral Johan Wilhem. Pembangunannya menelan biaya sekitar 360.000 Gulden, atau kalau di rupiahkan jadi sekitar hampir tiga milyar.
OMG! Uang milyaran di masa seratus tahun yang lalu, kalau sekarang sudah berapa trilyun itu? Luar biasa. Tapi tentunya pakai duit rakyat negeri ini yang tertindas, ya kan? Dan oleh karena peninggalan Belanda, maka atap gedunya sangatlah tinggi dan bentukannya jadul alias kuno. Tapi justru itu yang bikin makin artistik dan cantik.
Aaron mendadak terharu, teringat akan pahlawan-pahlawan kemerdekaan yang selama ini cuma dia tahu dari buku pelajaran. Suer, masuk ke tempat bersejarah saja sudah bikin semriwing, apalagi pas dia menyaksikan sendiri Pak Karno memproklamirkan kemerdekaan, pasti Aaron sudah nangis kejer.
Halah, pikirannya kok jadi PKN gini.
Sambil berjalan, Pak Han menjelaskan kalau bapak dan ibu presiden tak bisa menyambutnya, ada acara kenegaraan katanya. Ya sudah, tak apa. Malah mending begitu daripada Aaron nanti bingung harus bersikap gimana saat berhadapan dengan beliau-beliau kan.
Langkah keduanya terhenti di sebuah ruangan yang luas, mirip seperti ruang rapat dengan meja panjang dengan kursi yang berjajar di sisi-sisinya. Tebak Aaron, tempat itu mungkin saja adalah tempat pertemuan kepala-kepala negara atau menteri-menteri. Soalnya sering dia lihat di berita kalau presiden sedang menerima tamu, model mejanya pasti seperti itu.
"Ini tempat belajar Putri Bapak Presiden. Silahkan duduk dan tunggu beliau datang."
Oh, ternyata buat belajar toh. Cuman buat belajar saja tempatnya seluas ini. Dan apa kata bapaknya tadi, putri? Jadi calon murid lesnya itu cewek?
Belum sempat Aaron mengikuti saran Pak Han untuk duduk, terdengar sebuah sapaan riang dibelakangnya.
"Hai!"
Aaron menoleh. Dan demi apa, setelah melihat siapa pemilik sapaan tadi, dia rasanya ingin pingsan saja.
"Apa kabar?" orang itu bersuara lagi.
Salah, bukan orang, tapi bocah yang dulu tiba-tiba datang tanpa diundang dan pergi sesuka udelnya sendiri. Ya, yang menyapa dirinya adalah Aurora, si cewek tengil.
Tidak mungkin! Cewek itu tidak mungkin anaknya presiden kan?