Invesky Group
Terlihat seorang laki-laki yang berjalan di lobby sebuah perusahaan ekspor-impor.
Tubuhnya yang tegap berbalut kemeja merah marron, serta jas berwarna hitam membuat tubuhnya nampak semakin kekar. Kaki panjangnya berbalut kain buatan pabrik berwarna senada dengan jas yang di pakainya, ia melangkah dengan pasti sehingga hentakan tegas pun terdengar, membuat para bawahannya menunduk hormat di sepanjang ia berjalan.
Aroma harum menyeruak dari tubuhnya, membuat setiap bawahan yang di lewatinya tanpa sadar menghirup rakus aroma darinya.
Di belakangnya berdiri seorang tangan kanannya, mengekor setiap langkah yang dibuat olehnya, seraya membacakan setiap jadwal yang akan CEO-nya jalani hari ini.
"Jadi, apakah Personal Asitenku sudah ada yang baru?" tanya sang CEO nada yang di gunakannya terdengar dingin, belum lagi wajahnya yang terkesan minim dengan ekspresi di setiap waktunya.
"Kami sudah mendapatkan satu dari pemilihan untuk Personal Asisten baru, Bos. Lusa adalah hari bekerja untuknya," jelas si tangan kanan.
Dengan sigap ia menekan tombol buka pada papan lift yang ada di depannya, mempersilakan Bosnya untuk lebih dulu memasuki lift yang pintunya terbuka.
Ting!
"Silakan, Bos," ujar si tangan kanan.
"Hm," gumam sang Bos.
Invesky Group adalah perusahaan keluarga milik keluarga Wyatt, ini adalah generasi ke-17 yang jatuh kepada pria yang tadi bercakap-cakap dengan tangan kanannya.
Lahir dengan nama Xavier Wyatt, ia adalah anak satu-satunya dari si pemegang sebelumnya atau juga sang papa, yang menyerahkan penuh atas perusahaan kepada anak semata wayangnya, sedangkan ia sendiri menghabiskan waktunya dengan sang istri di rumah.
Xavier memasuki ruangannya seraya membuka jas hitamnya, menyisakan kemerja juga rompi yang mencetak bentuk tubuhnya dengan sempurna. Ia duduk dengan segera, kemudian mendesah saat bokongnya mendarat di kursi kekuasaannya.
"Huft ... Hariku akan semakin melelahkan," gumam Xavier dengan kedua tangan menutupi wajahnya.
"Ini masih pagi, Bos. Apakah anda sudah lelah?" tanya si tangan kanan dengan tangan mengulurkan sebuah map, yang baru saja ia terima dari bagian impor.
"Hum, permainan semalam menghabiskan banyak ronde. Aku lelah karenanya," jawab Xavier santai, tanpa perduli dengan si tangan kanan yang mengulum senyum dengan kepala menggeleng tidak heran.
"Permainan apa lagi kali ini, Bos?" tanya si tangan kanan akrab, karena sejatinya ia adalah teman sekaligus bawahan seseorang yang di panggilnya Bos.
"Hum, hanya memainkan gunung kembar seperti biasa. Tapi kamu harus tahu, Ray. Permainan tadi malam lumayan berbeda," sahut Xavier tanpa rasa malu, sedangkan seseorang yang di panggil Xavier dengan sebutan Ray itu terkekeh singkat.
"I know you so well, Vier," timpal Ray atau juga Ray atau juga Rayhan Johan.
Ray adalah sahabat kental dari Xavier, yang sudah Xavier kenal dari zaman masih memakai popok, hingga mereka kuliah bersama dan Xavier mengangkat Ray sebagai tangan kanannya.
Ray bukan lah dari keluarga berada seperti Xavier, ia hanya anak yatim-piatu yang hidupnya di biayai oleh keluarga Wyatt. Bisa di bilang Ray adalah anak angkat dari papa dan mama Xavier, tentunya ini juga adalah keinginan dari Xavier yang menyukai Ray di pertemuan pertama mereka di panti asuhan saat itu.
"Sekali-kali main ke tempatku, Ray. Aku akan mengenalkanmu dengan wanita-wanita cantik dan seksi di luar sana," tandas Xavier mengajak Ray yang hanya bisa menggelengkan kepala.
"Aku sudah punya dan bagiku cukup satu, Vier," jawab Ray kemudian memutuskan percakapan, dengan menyebutkan kegiatan Xavier selanjutnya.
Di tempat lainnya, tepatnya di salah satu rumah susun sederhana, ada seorang lainnya yang saat ini sedang mempersiapkan diri untuk besok masuk bekerja.
Wanita muda berumur 21 tahun ini duduk di kursi tempat ia biasa mengerjakan tugas kuliahnya.
Lahir dari keluarga biasa, ia adalah anak pertama yang membantu mencukupi biaya hidup keluarganya di kampung sana. Sewaktu ia sekolah dan kuliah, ia sudah bekerja paruh waktu untuk biaya hidupnya serta keluarganya.
Di berkati oleh rupa cantik dambaan kaum adam, ia juga memiliki kulit bersih meskipun ia sendiri jarang merawat kulitnya sendiri.
Kini ia sudah memiliki pekerjaan yang gajinya besar, awalnya ia curiga saat melamar dan di tawari posisi sebagai Personal Asisten. Namun, saat ia mendengar sendiri syarat dan peraturan, ia pun speechless dengan hati membatin.
Oh, pantas saja.
Pantas sebab lamanya waktu ia bekerja adalah tidak ada batasnya. maksudnya adalah siap sedia saat Bos membutuhkannya.
Ia awalnya ingin menolak, tapi ia sadar jika keluarganya butuh ia bekerja dengan penghasilan besar, agar adik-adiknya bisa bersekolah dengan tenang tanpa memikirkan biaya.
"Hum, uang mengalahkan segalanya. Aku hanya perlu selalu menjaga kesehatanku, beres," gumamnya dengan hati yakin.
Ia pun berjalan ke arah kulkas mininya dan melihat isinya.
Kosong.
Dan itu membuatnya mendesah lelah. Ia lupa mengisi kembali bahan makan sederhananya, sangking asik memasukan lamaran kerja ke seluruh perusahaan.
"Sebaiknya aku berbelanja," putusnya , kemudian mengambil dompet setelah mencepol rambutnya yang panjang dengan cepolan asal, sehingga leher jenjangnya terlihat menggoda, bagi siapa saja yang melihatnya terutama laki-laki mata keranjang di luar sana.
Kembali pada Xavier, yang saat ini sedang dalam perjalanan keluar hendak melakukan meeting dengan salah satu kliennya. Ia bersama Rayhan yang duduk di kursi depan samping seorang supir, sedangkan ia sendiri duduk nyaman di kursi belakang dengan tangan memegang tablet yang menampilkan catatan-catatan kecil untuk meeting nanti.
Meeting kali ini di adakan di salah satu mall kota X, mall terbesar yang mampu menampung banyak pengunjung di dalamnya.
Sesampainya mereka di basement mall, Xavier segera keluar dan berjalan dengan Rayhan di sebelahnya. Mereka melakukan meeting dengan lancar di sebuah restoran, sekaligus makan siang dengan kliennya yang membawa sekertaris cantik dengan penampilan seksi.
Xavier melihat wanita di depannya dengan tatapan tidak terbaca, saat dirinya di kirim kedipan sembunyi di barengi dengan gesture menggoda dan ini membuat Xavier yang merasa di undang pun balas dengan senyum miringnya.
"Well, kenapa wanita selalu tergoda hanya dengan melihatku," batin Xavier di balik senyum miringnya.
Skip
Akhirnya meeting pun selesai, dengan kepuasan masing-masing pihak.
Di depan restoran tempat mereka berpisah, Xavier menjabat tangan si klien dengan senyum bisnisnya.
"Terima kasih banyak, Tuan Xavier. Semoga kerja sama kita lancar," ucap si klien dengan nada senang.
"Terima kasih kembali, Tuan Anand. Senang bekerja sama dengan anda," balas Xavier dengan nada profesional, masih bibir terulas senyum bisnis andalannya, kemudian berlanjut berjabat dengan si sekertaris yang tadi sempat menggodanya.
Si sekertaris ini juga baru saja hendak mengucapkan kalimatnya, namun sayang Xavier segera melepaskan dan melengoskan kepalanya, saat netranya melihat dengan penasaran ketika seorang wanita dengan rambut bercepol melintas di samping tempat mereka berdiri saat ini.
"Ter-
"Siapa, wanita itu," batin Xavier mengikuti hingga si wanita bercepol hilang dari pandangannya.
"Tuan Xavier," panggil sekertaris yang tadi di cuekin, meski tangannya masih berjabat dengan Xavier yang segera melihat ke arahnya.
"Hum?" gumam Xavier seraya melepaskan jabatan tangannya. Ia batal ingin membalas godaan wanita di depanya saat ini, saat netranya lebih tertarik dengan wanita asing yang lewat di sampingnya tadi.
"Tidak apa-apa, terima kasih dan sampai bertemu kembali," sahut si sekertaris dengan segera, tidak ingin ketahuan kecewa karena di cueki.
"Huh, sialan batal," batinnya kesal meski bibir dengan polesan merahnya tersenyum manis.
"Hum, kembali," balas Xavier singkat dan kemudian mereka pun berpisah.
Sepeninggalnya klien dan sekertaris itu, Rayhan yang merasa ada yang aneh dengan Xavier pun bertanya. Namun sayang, Xavier yang di tanya hanya balas dengan bahu terangkat.
"Ada apa, Vier. Tumben sekali?" tanya Rayhan.
"Entah, tiba-tiba hasratku menguap dengannya," jawab Xavier, seraya kembali melangkahkan kikinya meninggalkan pintu restoran.
Bersambung.