Chereads / Me And My CEO / Chapter 5 - Audrey Clare

Chapter 5 - Audrey Clare

Audrey Clare berumur 21 tahun. Lahir dari keluarga sederhana, dengan hanya seorang ibu yang menjaga.

Ayah Audrey berpulang di umur Audrey ke-12 tahun, membuat Audrey yang saat itu baru lulus sekolah dasar membantu sang ibu untuk memenuhi kebutuhan 2 adik kembarnya.

Audrey gadis mandiri dengan berbekal ijasah sekolah dasarnya, ia tanpa sepengetahun sang ibu mencoba melamar pekerjaan sebagai tukang cuci piring di berbagai rumah makan.

Tentunya Audrey kecil tidak mudah mendapatkannya, hingga seorang pemilik rumah makan baik hati memberikannya pekerjaan menjadi tukang cuci piring.

Audrey siswi yang pintar, dengan beasiswa penuh yang di terimanya jalur prestasi Audrey bisa melanjutkan pendidikannya di jenjang tingkat pertama. Maka itu, selepas pulang sekolah Audrey akan menjalani rutinitas kerjanya sebagai tukang cuci piring dan pulang pukul 7 malam setiap harinya.

Awalnya sang ibu menolak dengan tegas apa yang menjadi keputusan sang anak. Namun, tekad Audrey yang kuat akhirnya membuat sang ibu luluh dengan catatan Audrey tidak lalai dengan sekolahnya.

Audrey kecil hanya tahu sekolah dan kerja, sehingga ia menjadi tertutup dengan sekitar. Audrey bahkan hanya memiliki 1 teman dekat yang satu kelas dengannya, berteman dari ia sekolah dasar hingga sekarang, hingga Audrey tumbuh dewasa dan bekerja di perusahaan tempatnya bekerja saat ini.

Namun, karena jurusan berbeda yang di ambil keduanya. Ia pun harus berpisah, bertemu sesekali saat keduanya memiliki waktu senggang.

Suara ketikan keyboard memenuhi ruangan di mana Audrey kerja. Tidak terasa ini adalah hari keduanya, dengan hari pertama yang cukup membuatnya pusing karena harus mengingat banyak jadwal, juga banyak mencatat setiap panggilan yang belum terbiasa ia terima.

Untuk kelakuan minus sang CEO yang ia dengar dari rumor. Ia sama sekali belum merasakannya, saat kemarin ia banyak mengangguk saat Ceo-nya menjelaskan apa yang di tanyakan.

"Semoga saja rumor hanya sebuah rumor," batin Audrey meminta.

Ia baru saja akan menyimpan hasil editan laporan dari salah satu devisi, tapi dering telepon dari line ruangan CEO membuatnya mengernyit dan segera mengangkat gagang pesawat teleponnya.

Klik!

"Selamat siang, dengan Audrey, ada yang bisa di bantu?" ujar Audrey saat panggilan di terimanya.

(Ke ruanganku.)

"Baik, Tuan," balas Audrey kemudian meletakan kembali gagang telepon setelah memastikan atasannya menutup lebih dulu.

Audrey pun segera berdiri dari duduknya, keluar dari ruangan dengan membawa buku agenda dan mengetuk pintu ruangan dengan si empunya ruangan segera menyahuti.

"Masuk!"

Ceklek!

Memasuki ruangan dengan aroma khas atasannya, Audrey hampir saja memejamkan mata saat hidungnya menghirup rakus aroma yang berbeda dari aroma kebanyakan pria yang dulu mendekatinya.

Berdiri dengan tegak di depan meja atasannya, Audrey membungkukkan sebentar tubuhnya kemudian tersenyum kecil.

"Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" tanya Audrey dengan profesional, menatap Xavier yang saat ini sedang fokus dengan layar laptopnya.

"Hmm, buatkan aku kopi," perintah Xavier tanpa melihat, menuai anggukan kepala dari Audrey yang segera berjalan ke arah mesin Coffe maker.

"Tambahkan dua balok gula batu, aduk hingga 5 kali adukan dan letakan sendok yang baru setelah selesai," imbuh Xavier masih tidak mengalihkan netranya dari layar laptop di depannya.

"Baik," sahut Audrey dan kembali melanjutkan niatnya menghampiri coffe maker.

Sampai di depan mesin pembuat kopi, Audrey segera mengikuti dengan patuh apa yang di intruksikan atasannya. Ia membuat kopi dengan tambahan gula batu dan mengaduk sebanyak 5 kali, kemudian mengganti sendok kotor dengan sendok baru.

Audrey yang merasa jika kopi yang dibuatnya sudah selesai pun dengan segera mengantarnya kepada sang atasan. Ia berjalan hati-hati, kemudian meletakan dengan hati-hati pula cangkir berisi cairan tersebut di samping laptop atasannya.

"Silakan, Tuan," ujar Audrey kemudian mundur beberapa langkah, menunggu perintah lainnya dari atasannya yang akhirnya mengalihkan pandangannya ke arah cangkir kopi dan menyeruputnya segera.

Slurrrpp

"Ahh!" desah Xavier merasakan cairan kesukaannya itu mengalir di tenggorokannya.

Dengan gerakan pelan Xavier meletakan cengkir itu kembali ke atas meja dan kini ia pun mengalihkan tatapan ke arah Audrey yang masih setia berdiri di depannya.

"Drey," panggil Xavier kepada sang asisten. Namun Audrey yang tidak mengerti justru melihatnya dengan mata berkedip, bingung.

"Ck," terdengar decakan dari Xavier yang merasa sebal saat asistennya tidak menyahutinya, membuat Audrey yang mendengarnya sedikit takut saat merasa ia telah melakukan kesalahan.

"Tapi apa?" batin Audrey bertanya bingung.

"Audrey," ulang Xavier memanggil kali ini lebih jelas, sehingga Audrey yang merasa dipanggil pun akhirnya menyahuti cepat.

"Iya, Tuan."

"Kenapa tadi kamu tidak menyahut," lanjut Xavier sewot, semakin sebal.

"Eh! Tuan Xavier memanggil saya? Tapi yang tadi di panggil itu Drey dan nama saya Audrey," jawab Audrey dengan polosnya, membuat Xavier spechless lupa jika ia belum seakrab itu dengan asitennya.

Tapi Xavier bukan atasan yang akan mengalah. Maka itu ia dengan mata mendelik kesal, kembali sewot kepada Audrey yang menciut takut.

"Tapi kan hanya ada kamu di sini, Audrey Clare. Masa kamu tidak paham, kepada siapa saya menunjukan panggilan itu," kata Xavier sekali tarikan napas dengan Audrey yang segera membungkukan tubuhnya sebagai permintaan maaf.

"Iya-iya, maafkan saya, Tuan. Saya bersalah," sahut Audrey cepat, menatap takut kepada Xavier yang sedang menarik napasnya berulang.

Baru ini ia kelepasan sewot, saat biasanya ia selalu tenang menghadapi seseorang. Baik itu klien, asisten maupun wanita di ranjang.

"Hmm, jangan ulangi," tukas Xavier setelah merasa sebalnya sedikit menghilang.

"Baik, Tuan," cicit Audrey masih menatap Xavier dengan ekspresi takut.

"Bacakan kegiatan saya setelah ini," perintah Xavier kembali menyesap kopinya dengan mata fokus melihat Audrey yang mengangguk patuh.

"Sehabis ini akan ada meeting dengan perusahaan Chandra Group di salah satu restoran pusat kota," sebut Audrey kemudian mengangkat wajahnya melihat Xavier kembali, yang mengangguk ke arahnya.

"Lalu?"

"Setelahnya ada makan siang dengan Nyonya besar, di tempat sama," lanjut Audrey dan Xavier kembali melihatnya dengan kepala mengangguk mengerti.

"Kamu ikut saat makan siang," kata Xavier menuai tatapan tidak mengerti dari Audrey yang dibalas dengan dengkusan kecil oleh Xavier.

"Kenapa saya ikut, Tuan?" tanya Audrey bingung.

"Jangan cerewet," balas Xavier tanpa menjelaskan, menuai protesan dari Audrey yang menolak segera.

"Tapi itu makan siang pribadi dengan keluarga anda, Tuan. Say-

"Kata saya jangan cerewet, ya jangan cerewet. Lagian kamu lupa yah, kalau tugas kamu itu hanya menuruti apa mau saya," sela Xavier menatap Audrey tajam. sehingga Audrey pun mau tidak mau mengangguk, menerima meski tidak ikhlas.

"Baik, Tuan."

"Bagus! Cepat siapkan berkasnya, kita akan berangkat sebentar lagi," sahut Xavier dengan nada senang, padahal tadi ia sempat sebal dengab aura tidak bersahabat.

"Meet-

"Jangan banyak protes, cepat lakukan saja apa yang saya mau."

Seketika Audrey menggerutu dengan bibir hampir maju. Tapi, saat melihat tampang Xavier yang tidak ingin di bantah, Audrey pun dengan terpaksa mengangguk lagi.

"Baik, Tuan," ucap Audrey dan setelah mendapat anggukan puas dari Xavier, Audrey pun meninggalkan ruangan atasannya dan meninggalkan Xavier yang tersenyum puas di belakangnya.

"1 yang baru aku tahu, Tuan Xavier adalah si pemaksa yang kemauannya harus di turuti," batin Audrey sebelum menutup pintu dan berjalan memasuki ruangannya sendiri.

"Bos sialan," lanjutnya masih menggerutu.

Bersambung.