"Oh my Godness," batin Xavier saat melihat Audrey yang memakai baju terusan tanpa lengan, dengan panjang pas sekali di lututnya. Terlihat sopan, dengan wajah ayu Audrey yang kini sedang tersenyum kecil ke arahnya.
"Astaga! Kenapa pakai senyum segala macam," lanjutnya masih dalam hati.
"Tuan, bagaimana?" tanya Audrey lagi, menganggetkan Xavier yang segera menggelengkan kepalanya, menghilangkan efek terpesona saat ia biasanya melihat wanita biasa saja, meskipun wanita itu menjadi teman tidurnya.
"Ah! Oke kok, pakai saja sampai kita makan siang dengan Mama," jawab Xavier kemudian berdiri dari duduknya dan menghampiri Audrey yang melihatnya dengan kening berkerut.
"Pakai sampe makan siang? Apa maksudnya, Tuan?" tanya Audrey.
"Aku bilang apa tadi, heum. Bukankah sudah aku katakan, kamu jangan banyak bertanya, ikuti saja apa kataku, paham," sahut Xavier tanpa membalas apalagi menjelaskan keinginannya apa.
"Tapi-
"Ssstt ... Nanti, aku jelaskan. Okay?" sela Xavier dengan segera meletakan telapak tangannya di bibir Audrey yang berjengkit kaget.
"Hummp-hummp!" gumam Audrey dengan Xavier yang mengangguk.
"Iya-iya, saya bayar dulu baju yang kamu pakai. Tunggu di sini, okay," lanjut Xavier sok tahu dan kemudian melepaskan telangnnya dari, sehingga Audrey pun dengan segera mengusap bibirnya kasar, menggerutu akan kelakuan reseh atasannya.
"Sialan, bibirku yang masih suci sudah ternodai," ratap Audrey menatap punggung Xavier dengan bibir mengerucut kesal.
Setelahnya, Xavier pun kembali menghampiri Audrey yang saat ini sedang duduk dengan kepala mendunduk, saat banyak pelanggan yang berlalu-lalang seraya melihat ke arah Audrey, apalagi pelanggan laki-laki dengan tatapan minatnya.
Xavier menambah laju langkah kakinya, menghampiri personal asisten barunya dan berdiri menjulang di hadapan Audrey yang segera mengangkat wajahnya, saat melihat sepasang sepatu hitam mengkilap di depannya.
"Tuan," gumam Audrey melihat Xavier dengan wajah mendongak, sedangkan Xavier menundukkan wajahnya sehingga kini keduanya sama-sama saling pandang.
"Hn, kita ke tempat meeting," gumam Xavier mengakhiri acara tatap menatapnya, dengan Audrey yang mengangguk dan berdiri dari duduknya. Namun na'as, Audrey tiba-tiba kehilangan keseimbangannya dan ia pun hampir limbung, jika saja Xavier tidak segera menangkapnya, membawa tubuh Audrey masuk ke dalam pelukannya.
Grep!
Deg! Deg! Deg!
Audrey yang menyandar di dada sang atasan pun terkesiap, saat mendengar dekat jantung yang iramanya bertempo cepat. Sedangkan Xavier, yang wajahnya menghadap rambut Audrey tanpa sadar menghirup aromanya rakus, sehingga kini aroma khas Audrey memenuhi ruang pernapasannya.
"Aromanya, kenapa seperti ini," batin Xavier dengan hidung kembang-kempis.
"Tuan," gumam Audrey membuat Xavier dengan segera mengurai pelukannya, kemudian berdehem saat merasakan canggung.
"Lain kali hati-hati, cepat jalan," sahut Xavier dengan nada sedikit ketus, menutupi kenyataan jika ia sedang gugup, takut ketahuan menikmati aroma rambut sang personal asisten.
Audrey mengangguk dengan kepala menunduk setelahnya. Ia mengekor saat Xavier berjalan dengan langkah tegap di depannya, kemudian harus merasakan sakit saat hidungnya menabrak punggung kokoh Xavier yang tiba-tiba saja berhenti.
Brukh!
"Ouch," lirih Audrey seraya memegang hidungnya, menatap kesal ke arah Xavier yang hanya menatapnya santai.
"Sakit Tuan," gumam Audrey saat Xavier mengangkat alisnya seperti bertanya kepadanya namun tanpa kata.
"Terus, saya harus minta maaf?" tanya Xavier membuat Audrey menggelengkan kepala dengan hati menggerutu kesal.
"Kamu juga, sudah tahu kamu itu personal asistenku. Itu artinya, kamu jalan di sampingku sambil menjelaskan lagi meeting kita nanti," lanjut Xavier menceramahi Audrey alih-alih meminta maaf.
"Isk, bikin kesal saja," gerutu Audrey dalam hati, saat omelan Xavier belum juga berhenti.
"Paham tidak?" kata Xavier mengakhiri sesi merometnya dengan Audrey yang mengangguk tidak ikhlas.
"Paham, Tuan," jawab Audrey berusaha tetap manis.
"Bagus! Jalan di sampingku," perintah Xavier dan Audrey dengan cepat berdiri di samping Xavier, Audrey bahkan jalan tergopoh saat Xavier melangkahkan kaki jenjangnya dengan langkah lebar.
"Tuan, jalannya pelan-pelan," protes Audrey keceplosan, namun Xavier yang mendengarnya hanya mendengkus dengan sudut bibir tersenyum geli.
"Baru ini aku meminta asisten jalan di sebelahku. Biasanya mereka dengan sendirinya menempel di sebelahku," batin Xavier bingung sendiri.
Akhirnya mereka pun sampai di tempat meeting, melakukan meeting seperti biasa meskipun ini adalah meeting pertama bagi Audrey, tapi Xavier merasa jika personal asisten barunya ini punya daya tangkap yang lebih dari personal asistennya yang dulu.
Kerja sama pun akhirnya berhasil, Xavier berjabat tangan dengan kliennya begitu juga dengan Audrey yang di ajak berkenalan dengan kliennya saat ini, kebetulan Audrey satu-satunya anggota meeting wanita, karena asisten si klien adalah laki-laki.
"Huh, apa begini ya, saat dulu aku berkenalan dengan asisten wanita. Tapi, aku tidak pernah mendahului," batin Xavier melihat dalam diam, saat personal asisten barunya di goda kliennya.
"Nona Audrey bisa minta nom-
"Maaf, mengganggu Tuan Cluston, kami harus menghadiri meeting selanjutnya. Bisakah kami pergi lebih dulu?" sela Xavier dengan nada datar, menatap klein dengan tatapan lurus.
Cluston tentu saja segera mengiyakan, meskipun dalam hatinya dongkol saat acara pendekatannya di ganggu oleh partner bisnisnya sendiri. Tapi ia sadar, jika Xavier tidak bisa di tolak keingannya dan alhasil ia pun tersenyum lebar menyahutinya.
"Tentu, tentu saja Tuan Xavier. Semoga meeting selanjutnya lancar, terima kasih atas kerja sama kita yang kesekian ini," sahut Cluston.
"Hum, terima kasih kembali, Tuan Claston. Kalau begitu, kami permisi," ujar Xavier kemudian berdiri dari duduknya, membalas uluran tangan Cluston berjabat tangan kembali sebagai perpisahan diikuti oleh Audrey setelahnya.
"Terima kasih, Tuan Cluston," imbuh Audrey.
"Terima kasih kembali, Nona Audrey," sahut Cluston dengan mata berbinarnya.
Xavier pun dan Audrey pun meninggalkan restoran tempat mereka meeting, berjalan ke arah parkiran kali ini tanpa di suruh Audrey berjalan di sampingnya, sehingga Xavier pun meliriknya sesekali namun sayang Audrey hanya menatap lurus ke depan.
"Kamu senang sekali, di godain dengan klien seperti itu," gumam Xavier, melirik sekilas ke arah Audrey sebelum kembali melihat lurus ke depan.
Dari nada yang di gunakannya sendiri, Xavier tiba-tiba mengernyit saat ia merasa aneh.
"Kenapa aku harus bertanya?" lanjut Xavier bertanya bingung dalam hati.
"Siapa yang senang sih, Tuan. Kalau saya tidak ramah, saya takut membuat klein tersinggung," jawab Audrey yang tidal menyadari nada tidak suka dari Xavier saat mengatakan kalimatnya tadi.
"Huh, apa katamu saja," tukas Xavier saat sadar jika tidak seharusnya ikut campur. Toh, ia pun seperti itu dengan asisten wanita kleinnya, meskipun bukan ia yang memulai.
"Aneh sih, Tuan tidak jelas sekali," gumam Audrey dengan Xavier yang untungnya tidak merasa tersinggung.
"Hum, terserah aku dong," balas Xavier, kemudian memasuki mobilnya di ikuti Audrey yang masuk lewat pintu lainnya.
"Permisi, Tuan Xavier. Kemana kita selanjutnya?" tanya sang sopir, membuat Xavier yang sedang mengecek pesan di handphonenya segera mengangkat wajahnya, menatap sang sopir melalui spion kecil di depan sana.
"Restoran Eropa, di pusat kota, Pak," jawab Xavier saat melihat perpindahan lokasi makan mereka.
"Loh, Tuan. Bukan kah di-
"Hum, Mama bilang cancel. Maka itu saya belikan kamu baju ini, untuk menemani aku makan di restoran berkelas. Menamani saya dan membantu saya untuk mengiyakan apa saja yang saya katakan, apa sampai sini paham?" sela Xavier dengan Audrey yang menggelengkan kepalanya cepat.
"Tidak paham," sahut Audrey singkat dan jelas.
"Intinya, saya mau kamu diam saja saat di acara makan siang nanti. Jawab yang perlu dan diam saja jika tidak di tanya, okay?" jelas Xavier masih dengan Adurey yang mengedipkan matanya dan memandang polos Xavier.
"Paham tidak?" sentak Xavier dan Audrey pun dengan terpaksa mengangguk.
"Paham, Tuan!"
"Bagus! Jalan, Pak," perintah Xavier kepada sang sopir, setelah menepuk kepala Audrey sekali membuat Audrey yang merasakan tepukan atasanya terdiam, dengan perasaan aneh tumbuh di hatinya.
"Apa ini," batin Audrey saat jantungnya berdetak tidak nyaman.
Bersambung.