Invesky Group
Beberapa hari kemudian...
Seorang wanita muda jalan dengan senyum ramah terulas saat ia melewati lobby sebuah perusahaan dimana tempatnya bekerja. Ia sesekali membalas senyum para laki-laki yang menyapanya, meski setelahnya mengenyit saat merasa para wanita berbisik sambil menatapnya.
Ada apa ini?
Wanita ini hanya mampu bertanya dalam hati, sambil berlalu dan memasuki lift dengan tangan mengusap lehernya yang kaku, serta merasakan pegal karena beberapa hari ini ia mendapatkan banyak tugas.
Ini semua karena Bosnya yang tampan tapi menyebalkan. Sudah memberikannya tugas tidak kira-kira, ia masih harus menghadapi teror dari pesan tanpa nama.
Ia tahu dengan jelas siapa pemilik nomor itu, maka itu ia hanya membiarkan dan berencana mengganti nomornya dengan yang baru, kalau saja tidak ingat jika nomor ini sudah menemaninya dari ia memiliki handphone.
Dan sialnya ini sudah berlangsung selama beberapa hari, tapi ia belum sempat membicarakannya pada sang Bos yang bersangkutan.
Biarkan saja, pikirnya.
Ia akan menyimpannya sendiri, berharap dengan begitu nona kaya yang mengiranya sebagai wanita penggoda akan lelah sendiri.
Ting!
Lift terbuka, ia keluar dari dalam sana dan melangkah sedikit terburu, mengingat jika ia punya tugas untuk memeriksa lagi keperluan Bosnya di dalam ruangan.
Ruangan sang Bos dengan harum yang tertinggal, membuat Audrey menghirup udara sekitar dengan hidung kembang kempis.
Jujur saja, andaikan ia tidak tahu kelakuan nyeleneh CEO invesky ini secara langsung, maka ia akan memuja meski hanya dalam satu kali pandang. Tapi sayang sekali, ia sudah mulai terbiasa dengan kelakuan dan sikap seenaknya si buaya berwajah tampan bernama Xavier.
Tempat yang pertama menjadi tujuannya adalah meja kerja sang CEO. Ia merapihkan banyak dokumen yang menumpuk, memisahkannya berdasarkan warna dan akan memeriksanya lagi.
Satu minggu bekerja sebagai personal assisten, Audrey belum mendapatkan jam malam di luar jam kerjanya, karena saat ini masih ada Rayhan sehingga kerjanya masih normal.
Padahal ya, ia sempat membaca di kertas kontrak, jika pekerjaan termasuk mengurus keperluan pak CEO ketika akan menghadiri meeting di luar kota atau di luar negeri. Bahkan, saat berkencan pun ia harus mengurus tempat lalu lain sebagainya.
Untuk ini ia sangat bersyukur, karena sejak pertama ia bekerja sang CEO sama sekali tidak meminta hal demikian, lupakan bagian ia yang justru di ajak kencan pura-pura di depan mama dan seorang wanita, yang diingatnya bernama Amberly.
Beres dengan berkas, Audrey beralih ke mesin kopi dan membersihkannya container sebelum mengisinya dengan yang baru.
Satu lagi fakta yang segera dihapalnya di luar kepala, CEO-nya ternyata memiliki jam yang selalu tepat saat akan meminum sebuah kopi. Bahkan, perintahnya pun selalu sama yaitu...
"Jangan lupa, aduk hingga 5 kali adukan dan letakan sendok yang baru setelah selesai," gumam Audrey mengikuti nada suara sang CEO yang selalu mengatakan hal demikian saat ia membuatkan kopi. "Ck! Dasar Tuan CEO seenaknya. Aku mengingat dengan jelas kok apa yang diperintah hampir seminggu ini," lanjutnya menggerutu.
Audrey yang bergumam seperti ini tidak sadar sedang diperhatikan seseorang dari belakang, berdiri sambil memasukan tangan ke saku dengan persimpangan tercetak di keningnya.
Bisa-bisanya dia menggosipiku di belakang, batinnya kesal.
Ia pun berjalan tanpa menimbulkan suara agar tidak terdengar si personal assistant, kemudian berdiri tepat di belakangnya dan masih setia mendengarkan gerutuan layaknya lebah.
Namun, baru saja ia ingin menepuk bahu sempit itu berniat mengagetkan, si personal assistant sudah lebih dulu menghadap ke arahnya dengan bola mata melotot kaget.
"Ya Tuhan!"
"Hei! Kamu pikir aku demit apa, sampai nyebut segala macam," omel si seseorang yang kini menatap sebal wanita di hadapannya.
Si wanita yang dikatahui Audrey justru mendelik, sambil mengusap dada saat jantungnya berdetak kencang. "Tuan Vier, ya Tuhan..., datang kenapa tidak ada hawa keberadaannya?"
Pak Vier atau Xavier sang CEO ganti mendelik, saat Audrey mengatakan hal demikian dengan seenaknya. "Lagi-lagi kamu menyamakanku dengan demit, Audrey."
"Habis Tuan tiba-tiba ada di hadapanku," sahut Audrey cepat. "Makanya Tuan bilang-bilang dong kalau datang. Ucapkan salam atau sapaan sapaan, jadi tidak membuat orang kaget. Mana tahu loh Tuan, seseorang yang berniat dibuat kaget memiliki riwayat jantung. Kalau orang itu meninggoy bagaimana?" lanjutnya menasehati panjang lebar.
Xavier mengedipkan kelopak mata dengan bibir terbuka, tidak percaya. Bagaimana mungkin ia kalah dan justru saat ini dinasehati?
Kemarin juga saat bertemu sang mama di restoran, ia dan mamanya justru mendengar Audrey menasehati dengan kalimat yang memang benar. Bahkan, sang mama terdiam dan menyerahkannya begitu saja kepada si personal assistant baru.
Padalah ya, sepanjang ia membawa kekasih asal jadian, mamanya justru mati-matian mengintimidasi. Bukan hanya itu saja sih, mamanya yang keras kepala luluh karena tutur kata lembut wanita di depannya.
Dan saat ini, ia lagi-lagi hanya diam.
Tidak bisa dibiarkan, Rosalinda di depannya ini harus balik dinasehati, supaya tahu jika ia tidak mudah untuk ditaklukan. Seharusnya ia dong yang menasihati. Iya kan?
Secara, ia kan CEO dan pemimpin di sini.
"Pokoknya kamu yang salah, suruh siapa tiba-tiba berbalik begitu," tandas Xavier tidak terima. "Lagian, kenapa kamu menggerutu sepanjang bekerja? Dilarang menggosip, apalagi yang digosipin atasanmu sendiri," lanjutnya menegur.
"Aku tidak bergosip, Tuan. Bukankah baru dibilang bergosip jika ada temannya?" pungkas Audrey telak, tersenyum manis kepada sang CEO yang kembali membuka-tutup bibirnya.
"Tapi kamu tadi menggumamkan aku CEO sembarangan, kan?"
"Tuan Xavier menguping gumamanku?"
"Tidak sengaja."
"Idih! Sudah ketahuan tidak mengaku," ledek Audery dengan kelopak mata menyipit, seakan mengatakan tanpa kalimat jika ia adalah pria kepo tukang nguping.
Ukh....
Xavier berdehem, melengoskan wajah dan membawa tangannya menutupi bibirnya yang terbuka-tutup bagaikan ikan koi.
Sepertinya benar personal assistant baru yang bekerja untuknya kali ini berbeda dengan yang lainnya. Terang saja, disaat yang lain akan takut dan menatapnya memuja, kenapa Audrey justru berani berdebat dengannya, serta tidak memiliki ketertarikan kepadanya?
Ia bahkan dibuat tidak berkutik, karena ketahuan menguping dan ditatap dengan tatapan meledek yang tidak repot ditutup.
Dan ia mengakui, jika wanita di depannya memiliki aura hangat, dengan sesuatu yang apa adanya ikut dirasakannya.
"Baiklah lupakan, sebaiknya kamu lihat jadwalku pagi ini, sebutkan dan jelasakan satu per satu," perintah Xavier mengalihkan pembicaraan. "Ah! Bagaimana dengan map yang di meja?" lanjutnya bertanya.
"Sudah semua, Tuan!"
"Hn. Ya sudah, jadwalku mulai dibaca."
"Tunggu sebentar, Tuan!"
Dengan begitu, Audreypun meninggalkan ruangan sang CEO yang diam-diam mengumpat, karena sempat mendengar kekehan tertahan wanita itu.
"Ck! Baru ini aku menemui wanita yang membuatku tidak berkutik. Kemarin karena bantuan dan saat ini karena nasihat. Sial!"
Bersambung.