Hari ini seperti biasanya, Harriet sedang mengayuh sepedanya menuju studio tempat dimana ia sering melatih tubuhnya untuk menjadi penari yang lebih baik. Ia selalu pergi dengan menggunakan sepedanya hampir setiap hari. Padahal ayahnya sudah membelikannya mobil sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-19 tahun beberapa bulan yang lalu. Tapi, Harriet tidak pernah membawa mobil itu keluar dari garasi, ia masih tetap memilih sepedanya walau orangtuanya sering mengatakan bahwa mereka kecewa karena Harriet tidak pernah menggunakan hadiah dari mereka itu. Meski hal itu dikatakan dengan bercanda, tapi Harriet tahu orangtuanya sangat menginginkan Harriet mau memakainya. Tetap saja, Harriet tetap berada pada pilihannya. Ia selalu mengatakan hal seperti ini jika setiap kali ditanya kenapa ia tidak menggunakan mobil.
"Aku ingin sehat agar terus bisa menari." Sesederhana itu alasannya.
Sesampainya di depan gedung studio tari, Harriet menitipkan sepedanya ke pos satpam karena ia jera meletakan sepeda pada parkiran khusus sepeda. Pernah waktu itu ia meletakannya disana dan pada saat mau pulang lapaknya sudah pada koyak seperti habis kena cakar. Dan benar saja karena disana terdapat beberapa kucing liar yang berkeliaran. Meskipun kucing itu liar tanpa berpemilik, tapi penampilan kucing-kucing itu terlihat bersih dan berisi. Namun tetap saja, yang namanya kucing jalanan, ia masih memiliki sifat berontak. Buktinya lapak sepeda Harriet saja jadi korban keganasan para kucing tersebut.
"Eh, selamat pagi, Non Harriet!" sapa om Malik, satpam yang sudah seperti om sendiri bagi Harriet, karena sudah hampir satu dekade ia mengenalnya sejak kali pertama bergabung di studio tari itu.
"Pagi, Om Malik. Makin ganteng aja, nih, Om." sahut Harriet balik sembari memberikan senyuman terbaiknya.
"Ah, Non, bisa aja. Jangan gitu, Non, saya sudah punya istri sama anak satu masih baru bisa jalan." kata om Malik dengan maksud hanya bercanda.
"Yeuh, Om Malik, GR. Aku juga udah punya pacar kali." kata Harriet sambil berjalan meninggalkan om Malik yang masih tertawa mendengarnya.
______________
"Hai, Ry!" sapa Ava sesaat Harriet membuka pintu masuk.
"Yo!" sapa balik Harriet sembari meletakan tas di lantai lalu ia berjalan menuju dinding di bawah AC.
"Makanya, Ry, punya mobil, tuh, dipakai. Malah masih aja betah ngayuh sepeda yang butut itu." kata Ava sambil memainkan ponselnya.
"Masa bodo. Anggap aja aku sekalian pemanasan. Makanya gerakanku masih lebih baik daripada kamu, kan." kata Harriet dengan memainkan alisnya naik turun dan wajah yang menyebalkan. Itu terlihat jelas oleh pantulan kaca yang ada di depan Ava.
Ava tidak bisa menyanggah karena hal itu memang benar adanya bahwa Harriet memang sangat pandai menggerakan tubuhnya. Seolah ia terlahir demi diciptakan sebagai seorang penari yang pro.
"Erry!" panggil Ava lagi sambil menyimpan ponselnya kedalam tas.
"Kamu yakin tidak melanjutkan kuliah lagi? Maksudku, kan, bisa kuliah sambilan menari."
"Kenapa aku harus tidak yakin? Lagipula aku menari tidak butuh gelar, kok." sahut Harriet mulai melakukan peregangan pada kedua tangannya sambil loncat-loncat kecil. Ava hanya geleng-geleng kepala mendengar alasan Harriet yang mungkin akan disesalinya suatu hari nanti.
Kemudian alunan musik EDM mendominasi ruangan yang hanya diisi oleh mereka berdua. Sebenarnya ada lagi orang lain. Tapi karena Harriet dan Ava selalu datang lebih awal, makanya selama satu jam kedepan mereka hanya berdua saja.
________________
Jam sudah menunjukan pukul 5 sore. Tidak terasa waktu sehari cepat sekali berlalu. Selama hampir 8 jam Harriet menghabiskan waktunya digunakan untuk menari. Seambisi itu memang Harriet kalau sudah berada dalam studio tarinya. Harriet lalu memasukan sepedanya ke garasi saat sampai rumah. Ia terhenti sejenak kala memperhatikan mobil ferrari putih hadiah ulang tahunnya itu yang kini berdebu pada kain penutupnya dan dibagian bannya juga sudah ada laba-laba yang membuat sarang. Harriet mendengus kala ia merasa sedikit kesal karena tidak memiliki asisten rumah tangga di rumahnya. Karena merasa bersalah sudah tidak menggunakan hadiah itu, Harriet memutuskan untuk membersihkan mobil itu agar terlihat tidak seperti barang yang dilupakan.
Harriet lalu menyalakan vacum cleaner untuk menyedot debu yang menempel pada plastik penutup mobil. Setelah dirasa bersih tidak ada lagi debu yang menempel, Harriet menariknya demi melihat wujud mobil tersebut.
"Mobilnya keren." itu bukan ucapan dari Harriet, melainkan seseorang yang ada di balik jendela yang ada disebelah garasi yang sebagian dindingnya cuma jeruji besi dan bersampingan langsung dengan tembok tetangga. Orang itu tidak kelihatan saat Harriet melongokan kepalanya karena jendelanya cukup tinggi.
"Hai!" sapa orang itu lagi yang kali ini memunculkan kepalanya.
Harriet tidak menjawab dan hanya melihat beberapa saat kemudian kembali melanjutkan membersihkan mobilnya. Ia tidak merasa mengenal orang itu, jadi Harriet mengabaikannya. Setahunya tetangganya tidak ada yang memiliki anak seumuran dirinya atau anak sekolahan. Rata-rata mereka semua adalah pekerja kantoran dan anak-anaknya lebih suka tinggal di rumah kakek neneknya daripada berada di rumah sendiri. Sebenarnya Harriet juga ingin seperti itu, tapi sayang kakek dan nenek dari pihak ayah dan ibunya sudah tidak ada lagi. Mau ikut paman atau bibi juga tidak punya karena kedua orangtuanya sama-sama anak tunggal.
"Hei! Jangan abaikan saya, please!" kata orang itu lagi yang ternyata masih memperhatikan Harriet.
"Nama saya Ezra! Nama kamu siapa!?" seru Ezra lagi.
"Hei, tunggu dulu! Saya masih belum tahu nama kamu siapa!?" teriak Ezra sesaat melihat Harriet menjauh masuk ke pintu belakang rumah.
_____________
"Ayah, ibu, aku hari ini mau pakai mobil." kata Harriet saat sedang memakan sarapan bersama kedua orangtuanya.
"Oh, ya? Bagus kalau begitu. Ayah jadi senang dengarnya." kata Marco, ayah Harriet sambil meneguk kopinya.
"Lebih bagus lagi kalau kamu bawa mobil itu ke gedung sebuah universitas, Harriet, bukan ke sanggar tari itu." kata Dona, mamanya Harriet sembari menuangkan susu rasa stoberi di gelas Harriet.
Dona memang sangat keberatan ketika mendengar Harriet memutuskan untuk tidak melanjutkan kuliahnya. Ia juga menentang dengan kegiatan tarinya Harriet yang setiap hari pergi ke studio dancing tapi tidak pernah melihat anaknya tampil pada suatu kompetisi apapun selama ini. Kalau pun ada itu hanya acara kecil yang dibuat oleh ketua klub dance itu sendiri. Makanya Dona tidak menyukai Harriet menari. Tapi ia tetap membiarkan Harriet pergi menari setiap hari karena Marco selalu membolehkan Harriet pergi. Marco bahkan sama sekali tidak merasa terkejut atau kecewa dengan anaknya yang berhenti melanjutkan pendidikannya itu. Baginya, selagi Harriet masih memiliki sopan santun dan tidak melanggar aturan, Harriet bebas melakukan apapun yang dia mau. Apalagi jika itu berkaitan dengan mimpi dan masa depan Harriet. Marco juga pernah melihat bagaimana Harriet menari bersama temannya dan terlihat sangat memukau. Marco menyadari kemampuan anaknya lebih baik dari Dona.
Harriet tidak menyahut saat mendengar kalimat kekecewaan yang dilontarkan oleh Dona. Ia hanya menunduk sesaat kemudian menerima gelas susu yang tadi dibuatkan ibunya.
"Ibu, maaf." kata Harriet dengan pelan.
Dona hanya menghela napas kemudian ikut dan meminum kopinya tanpa menyahut. Begitu saja Harriet masih dapat merasakan mamanya kecewa dengan keputusannya.
"Harriet!" panggil Marco yang membuat wajah Harriet yang tadinya murung menjadi kembali ceria lagi. "Semangat, Sayang!" katanya lagi sambil mengepalkan tangan kirinya yang membuat Harriet tertawa kecil.
_______