Harriet bukan jenis orang yang penakut. Meski ia sempat terkesiap dan tertegun akan keberadaan pecahan kaca yang sudah tidak ada lagi, ia tetap melangkah masuk ke rumahnya. Ia melihat ke sekitar masih tetap berantakan dengan beberapa kertas dan pajangan yang berserakan di lantai. Hanya pecahan kacanya saja yang menghilang. Harriet tidak ingin berpikir yang macam-macam. Ia lalu beranjak untuk membereskan semunya. Mengembalikan ke tempatnya semula. Ketika sedang beres-beres, Harriet menemukan lagi sesuatu yang janggal dan tidak pernah ada sebelumnya di rumah itu. Bahkan orangtuanya dulu pun tidak pernah menggunakannya.
Sebuah mesin ketik tua tergeletak di pojok ruangan. Harriet lalu berjalan mengampiri mesin ketik tua itu. Tampilannya memang sudah usang dan ada karat disebagian tepiannya.
"Mesin ini punya siapa, ya? Perasaan, ayah sama ibu dulu nggak pernah pakai barang yang seperti ini." kata Harriet sambil terus memandangi mesin tua itu.
Harriet menghela napas sesaat kemudian kembali beranjak membereskan rumahnya lagi. Ia berniat untuk memeriksa mesin ketik itu setelah ia selesai membersihkan rumahnya. Harriet memasuki kamar orangtuanya. Dadanya mencelos ketika aroma ruangan yang masih sama ketika keduanya masih ada tercium ke hidungnya.
Sakit.
Tapi Harriet tetap masuk untuk meletakan beberapa kertas yang diduga berasal dari kamar orangtuanya itu. Bagaimana kertas itu bisa berada diluar Harriet masih belum mengetahuinya.
Foto-foto yang terpajang di sebuah lemari kecil di depan ranjang menjadi perhatian Harriet. Ia kemudian memperhatikan foto itu satu persatu. Kebanyakan semua foto mengenai dirinya dan ada tulisan keterangan pada gambar itu. Harriet yang baru berumur 10 hari digendongan ibunya, Harriet yang berjalan di tuntun ayahnya, Harriet yang menggendong seekor kucing dengan wajah yang menahan tangis karena mungkin dia takut pada saat itu. Ada foto ketika Harriet baru menerima sebuah piala dari kontes menari. Waktu itu umurnya baru 10 tahun. Terlihat ibunya seperti tidak suka tapi tetap mau berfoto bersama Harriet dan pialanya. Harriet masih ingat waktu itu ibunya tidak begitu mendukungnya dan sering mengatakan; 'Sudahlah Harriet, menari itu cuma buat kamu lelah. Lebih baik kamu belajar itu lebih berguna untukmu dikemudian hari." meski mengatakan begitu, Dona tidak seperti orangtua yang kejam yang langsung menjauhkan Harriet pada hobinya, Dona tetap membiarkan walau tidak suka. Harriet tahu ibunya memang membingungkan, tidak suka tapi tetap membiarkan. Tidak suka namun tidak melarang. Bukan karena ayah Harriet yang selalu mendukung apapun yang dilakukan Harriet dan ibunya jadi takut dan membiarkan begitu saja, tapi memang begitulah sifat ibunya.
Harriet lalu berpindah pada beberapa pajangan yang ada di kamar orangtuanya. Harriet menemukan sebuah album yang lama hingga sampulnya menguning. Harriet lalu menarik album itu dan membawanya ke tepi ranjang.
Ia kemudian membuka album tersebut dan tiba-tiba saja album itu terbakar. Sontak Harriet melemparnya ke lantai dan berusaha memandamkan api itu dengan menepukan bantal. Tapi api masih tetap menyala sampai Harriet berlari keluar mengambil ampar dan kembali lagi tapi Harriet justru terhenti di depan pintu.
Album yang terbakar tadi sudah tidak ada lagi. Bahkan abunya pun tidak kelihatan.
Orang normal mungkin akan merinding dan melangkah mundur kemudian menutup pintu kamar, tapi Harriet tidak. Ia sama sekali tidak merasakan semua itu. Harriet memeriksa ke kolong ranjang karena barangkali album itu tertendang oleh beberapa tikus yang berlarian meski kemungkinan itu sangat mustahil terjadi.
"Harriet! Apa kamu di dalam?!" teriakan Ezra dari ruang tamu mengintrupsi gerakan Harriet.
"Iya, aku di dalam. Tunggu sebentar!" teriak Harriet masih dalam kamar orangtuanya.
Setelah memastikan tidak ada yang berantakan pada kamar itu, Harriet pun mematikan lampunya dan beranjak keluar dengan mengunci pintunya. Sesaat ketika Harriet keluar, cahaya putih berkelebat dalam kamar dalam beberapa detik.
"Ezra? Ada apa kesini?" tanya Harriet ketika menuruni tangga.
"Maaf sebelumnya, saya sudah daritadi mengetuk pintu. Tapi kamu tidak muncul muncul, makanya saya masuk. Ini, saya cuma mau kasih ini untuk makan malam." kata Ezra sembari mengulurkan sebuah wadah ke Harriet.
Sembari menerima, Harriet mengerutkan dahinya sembari berbicara dengan pelan. "Malam?" katanya.
"Iya, sekarang sudah pukul delapan. Apa kamu sedari tadi tertidur sehingga tidak tahu jam?"
"Ah, tidak, aku cuma tidak sadar saja dengan waktu yang sudah berjalan begitu cepat ternyata." kata Harriet masih tidak dapat menyembunyikan kebingungannya.
"Kamu tidak apa-apa, Harriet?" tanya Ezra sembari merendahkan tubuhnya demi memeriksa wajah Harriet.
"Ha? Iya, aku tidak apa-apa. Thanks, ya, kamu mau ikut makan juga tidak disini?"
"Tidak. Saya sudah makan. Tapi, jika kamu tidak keberataan saya mau temani kamu makan. Boleh?"
"Bolehlah. Tapi, sekalian rapikan dapurnya, ya?" pinta Harriet dengan maksud hanya bercanda. Karena tidak mungkin baru kenal sudah menyuruh orang seperti itu.
"Baik. Saya suka beres-beres." kata Ezra tanpa merasa terbebani.
"Ah, ayo kita ke dapur kalau gitu." ajak Harriet.
Sesaat menuju dapur Harriet melihat ada sesuatu di samping jam dinding besar yang ada di ruang tamu. Namun hanya sekilas. Lalu ia juga sempat melirik pada mesin ketik tua di pojok ruangan yang tadi ia tinggalkan kini sudah tidak ada lagi kelihatan.
"Sepertinya kamu suka sekali mengerutkan dahi. Apa yang menganggu pikiranmu?" tanya Ezra.
"Tidak. Aku cuma mikir. Kok, kamu bisa baik sekali denganku. Padahal kita baru kenal. Terus waktu pertama kali kita bertemu juga aku sudah mengabaikanmu yang waktu itu teriak di depan jendela samping garasi."
"Waktu itu menurut saya bukan kali pertama kita bertemu. Sebenarnya saya sudah lama memperhatikanmu dari jendela itu. Tapi saya baru memiliki keberanian untuk memanggil pada saat itu." kata Ezra dengan sedikit tersipu.
"Baru tahu aku ada laki-laki seperti itu."
"Seperti itu bagaimana maksud kamu?"
"Tidak, lupakan saja." kata Harriet sembari menyuapkan makanannya. Sedang Ezra duduk di depannya sambil sesekali melirik Harriet.
"Rumah sebesar ini akan kamu tempati sendirian, apa kamu tidak takut?"
Harriet menggeleng. "Aku tidak takut apapun kecuali sama yang namanya kehilangan." katanya seraya meminum air mineral.
Ezra kemudian teringat pada kejadian yang dialami Harriet beberapa hari kemarin. Kehilangan keduaorangtua dan sahabatnya. Ia yakin Harriet sangat ketakutan pada saat itu.
"Boleh saya jadi temanmu?" tanya Ezra tiba-tiba yang membuat kunyahan dimulut Harriet terhenti.
"Saya tidak bermaksud mengasihani, sungguh." kata Ezra lagi.
"Kamu takut aku mengira kamu kasihan denganku terus mencoba untuk jadi sosok pengganti orang yang baru buat aku gitu?" kata Harriet dengan tersenyum simpul. Ezra tidak tahu harus menjawab apa karena apa yang dikira Harriet memang benar adanya.
"Aku sama sekali tidak bepikir kamu begitu, Zra. Aku hanya takjub saja sama apa yang kamu tanya barusan. Apalagi itu ditujukan sama orang seaneh aku. Asal kamu tahu, Ava adalah sahabatku satu-satunya, cuma dia saja yang mau temanan denganku. Yang lain pada tidak suka aku karena katanya gue... ...."
Kemudian Harriet dan Ezra bercerita panjang lebar hingga tidak terasa sudah pukul setengah 12. Ezra pun pamit. Dalam waktu singkat mereka sudah cukup akrab. Tentu saja karena mereka nyambung.
Sepeninggalnya Ezra, Harriet lalu tertegun pada jam dinding besar di ruang tamu. Cukup lama ia memandang dan ....
Jam itu seperti menyeringai padanya membuat Harriet terkesiap.