Hari ini, aku kembali melakukan aktivitas yang selama beberapa hari belakangan sudah tidak lagi aku lakukan. Sekarang aku berangkat menuju gedung tari tempat biasa aku dan mendiang Ava dulu berlatih. Aku yakin suasana di studio nanti tidak lagi seseru ketika aku bersama Ava. Tentu saja, karena aku tidak begitu mengenal orang-orang selain Ava dan pelatih kami yang bernaman Hidden. Hidden adalah seorang gadis muda yang umurnya tidak berada jauh dariku. Umurnya sekitar duapuluh tujuh atau duapuluh delapan, entah, aku tidak tahu persisnya berapa. Dan dia sudah menikah serta memiliki seorang anak. Aku dekat dengannya tapi tidak sedekat aku dengan Ava. Hubungan yang sebatas antara pelatih dan murid saja.
Kemudian aku datang ke studio dan menemukan beberapa anak yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Mereka melihatku dengan jenis pandangan yang meremehkan. Aku sadar itu dan mencoba untuk tidak peduli. Aku juga mendengar bagaimana mereka mencibirku di belakang yang padahal aku sendiri mendengarnya dengan jelas akibat suara mereka yang sengaja dibuat nyaring. Aku rasa mereka seperti mau menarik perhatianku yang sedari tadi mengabaikan mereka. Tapi lagi-lagi aku bersikeras untuk tetap tidak peduli dengan mereka.
Kemudian setelah selesai aku menari, aku pergi hendak mengambil air di dalam kulkas yang letaknya begitu dekat dengan sekumpulan mereka yang lagi duduk-duduk saja. Aku sedikit heran dengan mereka yang hanya duduk sambil mengobrol tanpa ada yang melakukan gerakan seperti penari pada dasarnya. Tapi, terdengar dari obrolan mereka aku bisa menangkap bahwa mereka adalah sekumpulan para penari yang sudah lihai. Pantas saja mereka mengataiku lantaran ketika aku sedang melatih tarianku tadi ---kepalaku tiba-tiba seperti diputar ulang tentang semua kejadian yang kualami belakangan ini. Membuat memori koreografi di kepalaku menjadi tertimpa dan saling tumpah tindih, mengakibatkan gerakanku seperti orang yang baru pertama kali belajar menari. Oke, aku mengerti kenapa mereka begitu, tapi haruskah mereka seperti itu pada orang yang baru mereka lihat? Sesaat terbersit perasaan kesal dalam benakku dan ingin sekali rasanya menghajar mulut sampah mereka itu satu persatu. Tapi tentu saja itu tidak bisa kulakukan, bukan karena kutakut pada mereka atau karena kalah jumlah, tapi aku berpikir untuk apa juga aku melawan? Toh, nanti juga mereka sendiri yang menyesal ketika tahu siapa aku sebenarnya disini. Tidak, aku sama sekali tidak bermaksud sombong. Tapi, memang kenyataannya seperti itu.
Aku lalu menghela napas saja sembari membuka pintu kulkas dan mengambil sebotol minuman ion. Sesaat aku meminumnya aku terdiam beberapa saat.
Setelah aku mengambil tas ku dan pergi keluar karena aku merasakan mual pada perutku yang tiba-tiba. Dalam perjalananku menuju pintu keluar, aku masih sempat mendengar mereka yang mengataiku sembari mentertawakanku dengan kencang. Lihat saja, mereka pasti akan mati.
Aku turun menuruni tangga karena lift terlihat banyak antriannya. Aku tidak tahu mereka siapa saja tapi yang jelas gedung tari ini tidak hanya dipakai oleh penari saja, tapi ada juga atlet, penyanyi band, pelukis, dan lain sebagainya yang berhubungan dengan kemampuan akademik. Dan sebagian besar memang lebih banyak yang menjadi penari disini. Sudah cukup TMI-nya.
Dalam undakan tangga terakhir aku berpapasan dengan coach Hidden. Ia menatapku dengan jenis tatapan keheranan sembari memegang sebelah pundakku serta memperhatikan wajahku. Ia bertanya apakah aku baik-baik saja. Tentu saja aku bilang iya. Kemudian dia hanya mengangguk dalam dan kembali berjalan ke lantai atas.
Aku pun tiba ke mobilku dan begitu aku membuka pintu mobil, aku mendengar suara ledakan yang cukup nyaring terdengar sampai ke basemant. Aku lalu memperhatikan sekitar karena kupikir barangkali ledakan itu berada di sekitar sini. Aku berjalan menyusuri lahan parkir dengan lampu yang agak remang. Semuanya terlihat normal dan aman saja. Lalu kemudian terdengar suara sirene dari luar gedung. Aku masuk ke mobil dan memeriksa keluar. Sesampainya di luar aku melihat beberapa tim medis mengangkut beberapa orang dalam keadaan yang mengenaskan. Untungnya mereka masih hidup meski tubuh mereka seperti terlihat hancur. Aku mengenali siapa mereka yang dibawa itu. Ya, mereka adalah orang-orang yang tadi mengolokku ketika berada dalam studio. Aku mengatakan perkatakan yang keluar begitu saja dari mulutku bahwa mereka akan mati. Tapi, kenapa mereka semua masih bisa diselamatkan? Apa mungkin dalam perjalanan mereka akan mati?
Dug! Dug! Dug! Dug!
Harriet terhenti membaca tulisan yang ada dalam laptop misterius itu sesaat mendengar suara pintu rumahnya di ketuk dengan tidak sabaran. Ia lalu turun dan mengintip siapa yang datang. Rupanya beberapa laki-laki berseragam polisi sudah berdiri tegak di depan pintunya.
Harriet lalu membukakan pintunya dengan pikiran yang masih kusut.
"Ada apa?" tanyanya sesaat pintu terbuka.
"Kami dari satuan kepolisian meminta izin untuk menggeledah rumah ini."
"Kenapa rumah saya digeledah, Pak?"
"Menurut laporan dari beberapa anak yang diangkut ke rumah sakit dari studio tari yang meledak, mereka mengatakan bahwa itu adalah ulah, Saudara. Makanya, kami memeriksa apakah ada barang bukti yang tersisa di rumah ini." kata satu polisi tersebut.
Karena merasa tidak melakukan hal yang bersifat kriminal, Harriet tidak keberatan rumahnya di geledah.
"Bisa bukakan pintu kamar ini?" tanya polisi itu menunjuk ke kamar mendiang orangtua Harriet.
"Tidak boleh. Itu kamar orangtua saya. Saya tidak ingin jejak kalian mengubah apa yang terakhir kali orangtua saya tinggalkan." jawab Harriet. Polisi itu terdiam beberapa saat kemudian mengangguk paham.
"Bisa, Saudara, ikut kami ke kantor demi meminta kesaksiannya? Karena kami tidak menemukan apa-apa selain saudara kemarin sempat ada di sana sebelum kejadian." pinta polisi.
"Tapi tidak ada hal yang bisa saya jelaskan, Pak. Saya tidak tahu sama sekali. Ketika itu saya sudah berada di parkiran dan mendengar ledakan."
"Sebelumnya apa yang kamu lakukan di studio sesaat sebelum keluar?"
"Tentu saja saya menari. Kecuali para anak yang menjadi korban itu, selama saya menari mereka hanya duduk-duduk sambil mengobrol. Kemudian setelah selesai saya mengambil ransel dan pulang. Bukannya dalam studio ada rekaman cctv? Bapak, bisa cek di sana."
"CCTV ikut terkena imbas dari ledakan jadi tidak ada data yang bisa membuktikan darimana ledakan itu berasal. Tapi yang jelas itu berasal dari bom bawaan dari luar gedung. Bukan perabotan dalam ruangan yang tiba-tiba meledak."
Kemudian terdengar suara dari salah satu HT milik polisi itu yang mengabarkan bahwa seluruh anak yang jadi korban ledakan gedung tari kemarin siang baru saja meninggal secara bersamaan.
Harriet yang mendengar itu hanya mematung dengan mulutnya yang menganga sedikit kemudian ditutupi dengan telapak tangannya.
"Kami permisi dan lain kali kami akan kembali lagi guna meminta keterangan lebih lanjut. Kami permisi dulu." kata polisi itu lagi dan berjalan keluar.
Harriet kembali teringat dengan ucapan yang tidak disadarinya itu. Perihal ia yang mengatakan bahwa mereka akan mati. Tapi anehnya kenapa harus dengan lagi-lagi sebuah ledakan? Bagaimana jika cctv yang rusak itu dapat dipulihkan dan merekam ucapannya yang tanpa sama sekali ia sadari itu? Kepala Harriet lagi-lagi dibuat pusing dan bingung dengan peristiwa aneh yang kembali terjadi. Apalagi tulisan di laptop itu seperti menceritakan tentang dirinya, padahal Harriet tidak merasa bahwa ia yang telah menuliskan itu semua.
Harriet mengusap wajahnya frustrasi.