Sesaat membuka matanya, Harriet langsung meraih laptop yang ada di sampingnya. Hari ini ia memutuskan untuk mengedit tulisan itu jika ada kembali kejadian buruk yang menimpanya.
Tidak ada yang bisa aku lakukan hari ini. Jika aku keluar maka orang-orang yang terlibat dengan insiden kemarin pasti akan menyerbu dengan berbagai kalimat pertanyaan yang pastinya akan menyudutkanku secara membabi buta. Itu akan pasti sangat merepotkan, jika harus kujawab pun mereka pasti tidak akan mempercayai begitu saja. Terlebih rekaman cctv belum dapat dipulihkan.
Sial, mereka membuatku kesal dengan menggedor gedor pintu rumahku. Orang-orang itu seenaknya saja mendobrak pintu rumahku seakan aku adalah seorang kriminal yang harus ditangkap. Aku turun ke bawah dan mengambil senjata yang ada dibawah bantalku kemudian turun ke bawah dan menebas kepala mereka satu persatu. Tentu saja hal itu mengundang jerit ketakutan dari yang lainnya. Beberapa dari mereka kabur dan entah mungkin sedang menelpon 112. Lalu kemudian aku masuk lagi ke rumah tanpa memperdulikan beberapa kepala yang berserakan di depan pintu rumah.
Harriet berhenti membacanya. Ia lalu memeriksa apa yang ada di bawah bantalnya. Terdapat pedang panjang di sana yang Harriet yakini bilahnya sangat tajam sekali. Harriet mengambilnya lalu membakarnya hingga benar-benar tidak dapat digunakan. Setelah memastikan pedang itu rusak, Harriet kembali lagi ke kamarnya ingin mengedit tulisan tersebut. Sesaat ia hendak mulai mengetik, kalimat tersebut ternyata sudah berubah menjadi tulisan yang baru.
Dalam perjalanan para orang-orang brengs*k itu kemari. Salah satu orang dari sekumpulan mereka meledakan dirinya. Hingga mengakibatkan dua mobil yang berada di belakangnya ikut terkena imbasnya. Bahkan para pejalan kaki yang ada di sekitar. Dan...
Kalimat itu terhenti Harriet baca sesaat ia baru saja dikejutkan oleh sebuah ledakan dari luar rumahnya. Suaranya terdengar jauh tapi dapat di pastikan tempat ledakan terjadi tidak jauh dari rumahnya.
"Jangan bilang yang barusan itu... " Harriet beranjak untuk memeriksa keluar. Beberapa orang memperhatikan dirinya dengan pandangan membecinya. Harriet tidak tahu apa yang membuat orang-orang seperti itu dengannya. Ia menaiki mobilnya dan berjalan menuju luar komplek. Sesampainya di sana beberapa mobil ambulan mengangkut orang-orang yang masih dapat di selamatkan dan beberapa yang lainnya tidak. Beberapa kepala yang terputus dari badan pun ikut terlihat di jalanan ketika petugas medis memungutnya.
"Belum puas kamu sekarang melihat orang-orang tewas mengenaskan karena kamu?" tanya seseorang yang tiba-tiba saja sudah berada di dalam mobil Harriet dan tepat berada di sebelahnya. Hal itu tentu saja mengejutkan Harriet karena pintu mobilnya sebenarnya dalam keadaan terkunci. Bagaimana orang ini bisa masuk?
"Sebaiknya kamu pergi dari tempat ini, sebelum orang-orang mulai menyerangmu karena setiap kejadiannya selalu berhubungan denganmu." kata orang itu lagi.
"Anda siapa? Kenapa bisa masuk ke mobil saya yang terkunci?" tanya Harriet berusaha untuk tetap tenang.
"Kamu tidak perlu tahu siapa saya. Sekarang juga pergilah dari tempat ini. Kecuali kamu ingin melihat berapa banyak lagi orang yang meninggal dengan cara yang tidak wajar seperti ini." kata orang itu dan dalam sekedipan mata ia pun menghilang. Harriet ternganga sesaat melihat kejadian itu berlangsung di depan matanya sendiri. Perlahan, ketidak percayaannya pada mahkluk supra natural mulai terkikis.
Harriet menjalankan kembali mobilnya menuju rumah. Tapi baru hampir sampai ia dibuat terhenti ketika beberapa orang melempari rumahnya dengan batu-batu. Harriet tidak terima karena beberapa kaca jendela rumahnya rusak sepenuhnya. Ia lalu turun dan meneriaki mereka.
"Hei! Apa yang kalian lakukan dengan rumahku!?" teriak Harriet.
"Anak pembawa sial. Hajar dia!" seru orang itu dengan mengampiri Harriet. Ia lalu dipukul dan ditendang sampai sempat melawan. Dalam kesakitnya Harriet menangisi setiap yang terjadi dalam hidupnya semenjak orangtuanya meninggal. Beragam kejadian buruk berputar dalam kepalanya layaknya sebagai pengingat terakhir sebelum kematiannya. Tapi sebelum itu benar-benar terjadi, beberapa polisi datang karena mendapatkan laporan adanya keributan. Orang-orang itu pun berlarian menghindari kejaran polisi. Rupanya mereka adalah orang-orang suruhan dari orangtua yang anak-anaknya kemarin terlibat ledakan di studio tari sesaat Harriet pergi dari sana.
Harriet yang dalam keadaan seluruh tubuhnya babak belur itu dengan perlahan beranjak memasuki mobilnya. Orang-orang melihatnya, tapi tidak ada seorang pun yang beranjak untuk membantunya. Mereka hanya sibuk mengacungkan ponselnya ke arahnya. Dengan susah payah Harriet berhasil dan menjalankan mobilnya menuju apotek. Ia ingat tidak ada obat-obatan lagi di rumahnya.
Sesampainya di apotek, Harriet tidak langsung dilayani dan mesti ikut menunggu antrean yang kebetulan sedang banyak-banyaknya. Darah sempat menetes dari pelipisnya, namun orang-orang hanya melihatnya dengan jijik kearahnya.
Dosa apa yang sudah dilakukan Harriet sampai orang-orang tidak memiliki empati lagi dengannya? Entah, Harriet pun tidak tahu. Setahunya ia tidak pernah melakukan kesalahan atau membuat masalah dengan orang lain. Tapi kenapa begini? Tidak tahu.
Satu jam Harriet menunggu akhirnya tiba juga gilirannya. Harriet tidak diperiksa dan hanya diberikan beberapa benda yang diperlukan untuk mengobati lukanya seperti kasa, kapas, plester dan obat merah. Setelah itu sudah.
Harriet menyusuri jalan menuju mobil seperti saat ia datang dengan memegang bergantian ujung-ujung motor yang terparkir sebagai penumpunya agar tidak terjatuh. Kaki Harriet rasanya sakit sekali dan ngilu, tapi ia berusaha kuat menahannya agar tetap bisa berjalan.
Harriet menghela napas lelah ketika sudah berada kembali dalam mobilnya.
"Jika aku sedang berada dalam dunia mimpi. Kumohon bangunkan aku sekarang!" pintanya dengan suara yang tersengal. Harriet pikir ia sedang berada dalam mimpinya yang aneh saat ini. Soalnya orang-orang bersikap tidak seperti manusia normal pada umumnya. Jikapun Harriet seseorang yang sangat dibenci --meski tidak tahu penyebab pastinya apa-- tapi setidaknya akan masih ada orang yang akan membantunya ketika dalam berada di situasi kesakitan seperti tadi. Tapi ini tidak sama sekali. Harriet semakin dibuat frustrasi dengan ini semua. Tapi ia masih berusaha untuk dapat berpikir waras. Harriet tidak ingin ia jadi gila dan stres karena semua hal ini. Tidak. Harriet tidak mau.
Harriet tiba di rumahnya saat malam tiba. Harriet memeriksa jam dinding besar dan melihat sudah pukul 8 malam. Lagi-lagi hal aneh terjadi, bagaimana bisa ia melewati 12 jam dengan secepat ini?
Ia lalu duduk di sofa dan berusaha mengabaikan kejanggalan itu. Ia lalu mengobati luka-lukanya sendirian. Sakit. Sangat amat sakit. Jika ia perhatikan terdapat banyak sekali memar yang berwarna ungu di area tangan, bahu, serta wajahnya. Pelipisnya yang luka membuat alisnya terpotong. Wajah Harriet benar-benar sangat berantakan sekarang. Sekacau dunia yang ditinggalkan orangtuanya untuk ia jalani dengan sendirian. Aneh dan kacau. Haruskah ia turut pergi meninggalkan kekusutan ini semua?