Harriet mematung di tempatnya sesaat melihat sesuatu yang janggal baru saja terjadi di depan matanya sendiri. Harriet kemudian berjalan mendekat pada jam besar itu. Ia sama sekali tidak takut. Setelah jaraknya hanya sejengkal, ia lantas memperhatikan jarum jam yang berjalan. Tidak ada yang aneh, pikirnya. Seperti jam pada umumnya. Namun, sesaat kemudian, melalui pantulan kaca pada jam besar itu, Harriet melihat sesuatu melintas dibelakangnya begitu cepat. Sesaat Harriet berbalik semua pandangannya menggelap dan Harriet seperti ditarik kedalam perasaan nyaman yang seolah seperti tertidur. Kemudian, Harriet tidak tahu lagi apa yang terjadi selanjutnya.
Dentang jam kembali terdengar tepat pukul dua belas tengah malam. Harriet membuka matanya dan melihat kesekitar dan membulatkan mata lantaran ia kini terbangun di dalam kamarnya. Ia ingat betul saat terakhir kali tidak sadarkan diri adalah tepat di depan jam besar di ruang tamunya. Harriet ingin bangun tapi perasaan kantuk yang tiba-tiba membuatnya enggan beranjak dari kasur. Matanya pun perlahan terpejam kembali. Namun hanya beberapa saat Harriet kembali bangun lagi dan langsung mengambil laptop usang yang ada di samping ranjang. Ia mengetikan sesuatu disana. Kali ini lebih panjang dari kemarin. Tatapannya tajam dan begitu serius. Tapi lambat laun pandangan fokusnya itu mulai berganti dengan raut muka yang mengantuk. Tidak berapa lama kemudian Harriet tertidur hingga keesokan harinya.
Pagi ini hujan turun sangat deras. Membuat siapapun orang yang masih berada dalam selimutnya akan merasa enggan untuk meninggalkan barang sebentar pun. Seperti halnya yang dilakukan Harriet saat ini. Matanya masih terpejam dengan damai meski telinganya dapat mendengar suara sekitar. Harriet tidak sepenuhnya tidur. Ia hanya merasa nyaman bermalasan dalam selimut tebalnya. Tapi semua hanya sebentar karena ia lagi-lagi ia dikejutkan oleh ingatannya sendiri.
Tentang yang terjadi kemarin pada rumahnya. Kemudian masih dengan rasa enggan, Harriet turun dari ranjangnya dan menuju pintu kamar. Baru sebentar membuka, ketukan pintu terdengar dari pintu utama. Ia lalu menyorot ke jam dinding besar yang sudah menunjukan pukul 9 lewat.
"Harriet! Kamu sudah bangun!?" itu adalah teriakan Ezra.
"Apa dia pengangguran?" tanyanya pada diri sendiri kemudian beranjak turun demi membukakan pintu.
"Hai! Selamat pagi!" sapa Ezra dengan suaranya yang ceria.
"Usiamu berapa, Zra? Kenapa suaramu seperti belum puber?" tanya Harriet begitu mendengar suara Ezra yang masih terdengar seperti anak dibawah umur.
"Pertanyaanmu menyinggung sekali, Harriet. Tapi tidak apa-apa karena itu, kamu."
"Memang kenapa kalau aku? "
"Tidak apa-apa. Ah, ya, saya datang untuk memberikanmu ini. Saya tidak bisa lama karena harus pergi ke kampus. Sampai jumpa nanti malam, Harriet." katanya sembari memberikan sewadah berisi sandwich sebelum berlari pergi memasuki mobilnya. Harriet yang melihat itu hanya menyipitkan matanya.
"Cowok absurd." gumam Harriet seraya menutup pintu kembali dan membawa sandwich itu ke kamarnya. Namun belum sampai kakinya menyentuh anak tangga pertama sebuah ledakan terjadi yang membuat perabotan di rumahnya bergetar. Harriet lalu bergegas keluar rumah dan melihat pada sesuatu yang membuat perasaanya menjadi campur aduk begitu saja.
Dengan dada yang mulai berpacu dan tubuh yang gemetar, Harriet mendekati pada orang-orang juga mulai berkumpul.
"HAAGH!!" Harriet berseru sesaat melihat tubuh Ezra yang berserakan di jalanan. Rupanya ledakan yang barusan terjadi berasal dari mobil yang dikendarai Ezra.
Dengan tubuh yang masih gemetar dan langkah yang sempoyongan Harriet kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci pintunya. Meski Harriet mencoba untuk menangisi seseorang yang lagi-lagi pergi meninggalkannya itu, tetap saja air matanya tidak mau keluar.
"Lagi lagi seseorang pergi." bisik Harriet disela kesakitannya.
Sesaat Harriet mengapus air mata yang jatuh di pipinya, ia lagi-lagi melihat laptop usang itu. Kali ini bukan di atas lemari di kamarnya. Melainkan di depan jam dinding besar. Tergelatak di bawahnya dengan posisi terbuka. Harriet mengerutkan dahinya mencoba menganilisis secara logika tapi tentunya tidak akan berhasil. Ia lalu mendekati laptop itu dan memperhatikan tulisan yang ada pada layar.
BAB 3. LEDAKAN DAN SERANGAN
jantung Harriet kembali dipompa.
Hari ini, sesaat aku bangun dari tidurku yang melelahkan, seorang teman baruku memberikanku sarapan pagi. Ia hanya memberikan itu sebentar lalu kemudian pergi. Sesaat ia pergi, mobilnya meledak hingga membuat tubuhnya hancur dan berserakan di tengah jalan. Aku kaget dan mencoba melihatnya. Aku tidak tahan berada lama disana karena perutku yang mual. Aku kemudian berjalan terhuyung menuju rumahku.
Perasaan Harriet tidak nyaman tapi dia tetap terus membacanya karena penasaran dengan isi tulisan tersebut yang seakan tengah mendeskripsikan kejadian yang sedang dialaminya.
Beberapa orang menggedor pintu rumahku dengan sangat keras hingga terdengar seperti siap merubuhkan pintunya.
Domb!! Domb!! Domb!! Domb!!
Benar saja sesaat membaca tulisan itu pintu rumah Harriet digedor dengan kerasnya mirip penagih hutang yang menagih pada orang yang sudah lama menunggak karena tidak kunjung membayar.
Aku membuka pintunya dan...
Tulisan itu terhenti pada kalimat itu. Tidak ada kelanjutannya.
Sementara gedoran pintu sudah sangat membabi buta sampai suaranya terlalu berisik dan mengganggu.
Harriet ingin membukanya tapi jika ia membuka kuncinya, otomatis ia akan tertimpa orang-orang yang sedang berdiri penuh emosi di luar sana. Harriet tidak mengerti sama sekali apa masalah orang orang itu dengannya.
"Anak sialan buka pintunya! Kalau tidak mau buka akan kami bakar rumah ini!" seru orang-orang itu dengan terus menggedor pintu.
"Kalian mau apa kalau aku bukain pintu?!" teriak Harriet dari dalam rumah.
"Bawa kamu ke kantor polisi karena sudah melakukan pembunuhan berencana pada warga baru!" seru salah satu dari orang-orang itu dengan jujur.
"Betul! Gara-gara kamu orang lain meninggal!"
"Sebelum kamu membunuh orang lain lagi kamu harus dihukum!"
"Hukum mati!"
"Anak pembawa sial!!"
Lalu susulan teriakan kemarahan orang-orang diluar tidak kunjung berhenti. Mereka terus menyuarakan umpatannya sambil terus menggedor pintu. Sesekali ada yang mencoba untuk mendobraknya.
Dalam kebimbangaan Harriet kembali menengok pada laptop yang tadi ia lihat tapi sudah tidak lagi ada. Kepala Harriet mulai pusing dan berdenyut dibuatnya. Dengan sekuar tenaga ia mencoba menahan diri agar tidak sadarkan diri. Namun, sekuat apapun Harriet bertahan pada akhirnya ia pun tumbang juga.
CRAAATT!!!
orang orang yang tadi berteriak di depannya dengan secara berjamaah tewas ditempat karena tersambar petir.
Lagi-lagi waktu cepat sekali berlalu dan dentang jam kembali membangunkan Harriet yang sudah berada dalam kamarnya.
"Tuhan? Apa yang sebenarnya terjadi denganku? Aku yang mulai sinting atau rumah ini yang berubah aneh?" bisik Harriet masih dalam posisi tidurannya.
Kemudian dalam keadaan setengah sadar ia mengambil laptop usang misterius itu.
Besok pagi aku ingin mencoba menabrak seseorang hingga menggilas tubuhnya dengan ban mobil mahalku.
Harriet ingin sekali bangun tapi tidak bisa. Tubuhnya tiba-tiba sangat sulit ia gerakan. Ingin berbicara juga tidak bisa karena lidah dan bibirnya sama sekali tidak bergerak. Harriet mencoba menggeleng untuk tidak mau melakukan hal itu, tapi perasaan kantuk yang teramat sangat membuat ia kembali terlelap.