Chereads / TULISAN HARRIET? / Chapter 2 - BAGIAN 2. PAMIT

Chapter 2 - BAGIAN 2. PAMIT

Klang!!!

Suara dari sebuah batu yang sengaja di lemparkan ke dalam garasi lewat celah jeruji pagar nyaris mengenai kaca mobil milik Harriet. Ia yang pada saat itu tengah memanaskan mesin mobil jadi tertoleh ke arah jendela tempat dimana anak laki-laki bernama Ezra kemarin meneriakinya. Benar saja, disana ada Ezra yang menyengir sambil mengangkat kedua tangan dengan jari membentuk tanda V.

"Kamu gila, ya!?" teriak Harriet dengan mata tajamnya.

"Saya tidak bermaksud merusak mobilmu. Saya hanya ingin mengagetkanmu saja." serunya menjelaskan.

"Kamu hampir merusaknya!" kata Harriet sembari masuk kedalam mobil dan beberapa saat kemudian ia menjalankannya keluar rumah tidak peduli dengan reaksi Ezra berikutnya setelah memastikan mobilnya baik-baik saja.

"Hei, kamu mau kemana!?" teriak Ezra percuma karena Harriet tidak akan bisa mendengar suaranya sama sekali.

Karena hari ini akhir pekan, studio buka lebih agak siangan yakni sekitar jam 11-an. Sekarang baru pukul sembilan, jadi waktu Harriet masih tersisa 2 jam lagi. Sembari menunggu jam buka, ia lalu pergi berkeliling tanpa tujuan demi membunuh waktu.

"Rasanya sudah lama aku tidak pergi keluar." katanya sambil memelankan laju mobilnya sembari melihat pemandangan di luarnya. Daerah tempat tinggal Harriet itu bukan jenis kota yang mana banyak bangunan gedung pencakar langitnya atau padatnya lalu lalang pengguna jalan raya hingga asapnya mengepul dimana-mana sampai menyebabkan polusi udara. Harriet tidak tinggal di kota seperti itu. Tempat yang ia tinggali ini sangat jauh dari kesan itu semua.

Ia tinggal dekat perbukitan dan banyaknya pohon. Bangunan gedung memang ada tapi masih sebanding dengan banyaknya pohon yang ada disekitar. Lalu lalang kendaraan juga tidak padat sama sekali. Bahkan ada saat dimana selama satu jam tidak ada sama sekali motor atau mobil yang lewat. Tapi bukan berarti kota itu sepi. Tidak sama sekali. Orang-orangnya banyak yang menggunakan sepeda atau berjalan kaki. Mereka masih sadar akan betapa sehatnya bergerak.

Lebih hebatnya lagi, kota ini masih masuk dalam negara Indonesia.

Jadi, sembari menjalankan mobilnya dengan pelan,  Harriet bisa melihat pemandangan hijau di kanan kirinya karena hampir sebulan ini ia hanya fokus menatap pada cermin tarinya saja.

Setelah cukup jauh meninggalkan area perumahannya, Harriet pun mengentikan mobilnya tepat di depan area taman bunga matahari yang cukup luas.

Suasana di taman lumayan sepi, tapi masih ada beberapa orang yang sibuk mengambil foto. Sembari berjalan di jalan setapak di tengah-tengah kumpulan bunga yang mekar, sesekali Harriet kaget ketika beberapa belalang kecil berloncatan ketika ia lewat. Semakin ke tengah semakin dingin. Rupanya jalannya menanjak. Setelah sampai di bagian ujung Harriet menemukan saung. Ia lalu singgah ke situ dan bertepatan dengan ponselnya yang bergetar diikuti nada dering lagu Dynamite. Rupanya itu panggilan masuk dari Marco, ayahnya.

"Iya, Yah?"

"Nak, ayah sama ibu berangkat mendadak hari ini ke Paris. Tidak lama, kok. Paling cuma seminggu saja. Kamu tidak apa-apa, kan, tinggal sendirian dulu? Atau nanti ayah pinta anaknya teman ayah buat jagain kamu."

"Memang harus sekarang ayah sama ibu perginya? Kenapa tidak besok saja?"

"Tidak bisa sayang. Ini mendesak. Urusan kantor. Nanti ayah janji pas pulang ajakin kamu buat makan McD lagi. Gimana?"

"Ck, ya udah. Ayah hati-hati, ya. Ibu juga."

"Jangan lupa makan, Ry." kata Dona. "Habis bangun tidur jangan langsung pergi ke kamar mandi, rapikan dulu tempat tidurnya. Bak sampah kalau sudah penuh langsung buang keluar. Kalau jemur baju jangan di kamar mandi, taruh saja di balkon kalau malas turun. Terus---"

"Iya, ibu iya. Ibu, nih, kayak mau pergi jauh dan lama saja pesannya banyak sekali." sela Harriet.

"Tau, nih, mamamu. Tapi, Harriet harus nurut, ya. Jangan nakal juga. Tetap jadi anak yang baik. Ayah sama ibu sayang Harriet. Harriet satu-satunya harta paling berharga yang kami punya."

"Yah, bisa kita hentikan telponnya sekarang? Makin kesini sepertinya obrolan kita lebih mirip sinetron."

"Hehehe. Iya iya, ah. Kamu ini. Ayah tutup, ya,  Sayang."

"Ibu sayang kamu, Nak."

Kemudian telpon pun diakhiri. Harriet kembali menyimpan ponselnya ke sling bag nya.

Tiba-tiba tanpa ada angin dan petir, hujan turun dengan begitu derasnya. Untungnya posisi Harriet sekarang lagi di saung. Lain halnya sama beberapa orang yang tadi sibuk foto-foto, mereka pada lari tunggang langgang karena hujan turun tidak tanggung- tanggung lebatnya.

Perasaan takut sempat hinggap dalam diri Harriet sesaat saung tempatnya berteduh sedikit bergetar karena adanya angin yang berembus. Bajunya juga sedikit basah akibat tempias. Lalu Harriet menurunkan bagian plastik yang memang disediakan untuk kondisi seperti itu. Plastik itu digulung di bagian dinding - dinding saung. Sayang sekali, Harriet tidak seberuntung itu. Sesaat ia mencoba untuk menyalakan lampu saung ternyata bohlamnya tidak ada. Sepertinya ada yang mencurinya.

Terpaksa Harriet menggunakan senter melalui ponselnya.

"Kenapa bisa hujan, ya? Perasaan tadi langitnya cerah sekali tanpa mendung sama sekali." kata Harriet sambil melihat dari balik plastik bening yang memburam akibat tempiasan air hujan.

Harriet memeriksa jam di ponselnya rupanya sudah pukul sepuluh lewat limabelas menit. Tapi hujannya masih sangat lebat. Harusnya dia sekarang sudah ada di jalan menuju studio. Sepertinya, untuk pertama kalinya Harriet terlambat .

Sembari menunggu hujan reda, Harriet mencoba untuk memejamkan matanya. Maksudnya hanya sekedar memejamkan mata saja, tapi rupanya ia kebablasan sampai tidur lumayan lama.

Ketika ia bangun, hujan sudah tidak lagi turun. Harriet memeriksa jam ditangannya dan ternyata sudah pukul satu siang. Tidak terasa dan tidak disengaja ia ketiduran selama itu. Namun, ketika beranjak dari posisinya yang hendak menggulung kembali tirai plastik, mata Harriet terhenti pada sesuatu yang tergeletak di dekatnya.

Itu adalah sebuah laptop usang yang ada lumayan banyak terdapat goresan . Harriet mengerutkan dahinya karena seingat dia saat sebelum memejamkan matanya tidak ada apa-apa di sekitarnya. Apa iya seseorang baru saja meletakan laptop itu disitu? Tapi untuk apa?

Dengan rasa penasaran Harriet membuka laptop itu yang menampilkan walpaper gif hujan deras. Lagi-lagi Harriet menautkan alisnya mendapati hal yang dibuat sekebetulan atau seaneh itu (?).

Ia lalu memeriksa barangkali terdapat info tentang si pemilik laptop tapi nyatanya tidak ada sama sekali. Laptop itu tidak berisi apa-apa kecuali sebuah video berdurasi pendek 30 detik. Dilihat dari thumbnailnya saja sepertinya video itu dibuat dengan tidak niat alias sembarangan. Jadi Harriet tidak tertarik membukanya. Kemudian ia beranjak keluar saung memeriksa barangkali si pemilik sengaja meletakan disitu sembari pergi ke toilet. Tapi tidak masuk akal juga meletakannya pada orang tidak dikenal. Dan rupanya sekitar saung juga tidak ada satu orang pun. Orang-orang di taman bunga juga tidak ada. Seperti hanya ada Harriet yang sendirian di tempat itu. Karena Harriet bukan jenis anak yang gampang takut, ia hanya menggedikan bahu saja ketika menyadari hal tersebut.

Karena laptop itu bukan miliknya. Harriet membiarkan laptop itu tetap berada di saung itu. Kemudian Harriet pergi meninggalkan saung menuju mobilnya dan menjalankannya menuju studio dancing. Sesampainya di sana, rupanya sudah sangat ramai. Tentu saja karena Harriet sudah terlmbat datang hampir 3 jam.

"Harriet, darimana saja kamu sekarang baru datang? Aku mengirimi pesan tapi tidak dibalas dan telponku juga tidak diangkat." seru Ava sesaat Harriet meletakan sling bag-nya.

Harriet menautkan alis lalu memeriksa ponselnya, benar saja ada 8 panggilan tidak terjawab dan 10 chat yang masuk dari Ava.

"Aneh, ponselku, kan, tidak dimode silent, masa aku tidak sadar ada pesan masuk?" gumam Harriet.

"Oy! Malah bengong. Yok, latihan!"