Harriet membuka matanya dengan perlahan. Sesaat cahaya silau memasuki penglihatannya sebelum akhirnya ia dapat melihat dengan jelas.
"Harriet! Kamu sudah sadar?" tegur Ezra yang berada di sampingnya.
"Mama, dia sudah sadar!" teriak Ezra lagi. Kemudian datanglah seorang wanita paruh baya, ia lalu memeriksa keadaan Harriet. Dilihat dari caranya memeriksa bisa dipastikan bahwa dia adalah seorang dokter.
"Syukurlah, kamu sudah baik-baik saja sekarang. Kamu makanlah, Nak. Kamu pasti sangat lapar. Biar Ezra yang menyuapi, ya." kata wanita itu sembari meminta Ezra untuk mendekat dan merubah posisi tiduran Harriet agar ia bisa makan dan menelan. Harriet hanya diam dan menurut saja. Ia masih memperhatikan sekitarnya yang sudah jelas itu bukan rumahnya.
"Kamu pasti bingung kamu sedang berada dimana sekarang, kan? Tenang saja, kamu sekarang berada di rumah saya. Sudah tiga hari kamu dirawat disini. Mama sengaja merawatmu di rumah ini karena diluar masih ada beberapa wartawan tidak beradab yang mencari berita tanpa peduli dengan kondisimu." jelas Ezra sembari menyuapkan bubur ke mulut Harriet yang mengering. Sedang mamanya sudah kembali keluar kamar.
"Tiga hari?" kata Harriet dengan suaranya yang parau. Ezra hanya mengangguk sembari terus mengacungkan bubur itu agar Harriet mau memakannya.
Harriet tertegun sejenak memperhatikan bubur yang harum itu, ia menatap Ezra dan diangguki olehnya barulah Harriet membuka mulutnya dan memakannya lagi.
"Enak." katanya disela makan.
"Ini buatan mama saya." kata Ezra dengan bangga.
"Tentu saja, karena dari mukamu sendiri aku tidak yakin jika kamu yang melakukannya." kata Harriet dengan sarkasnya.
"Kamu meski dalam keadaan seperti ini masih bisa bicara ketus, ya." kata Ezra sembari menggelengkan kepalanya.
"Harriet Vinarya Alexander. Namamu siapa?" Harriet memperkenalkan dirinya tanpa peduli cibiran Ezra barusan.
"Nama kamu bagus. Kamu bukan asli Indonesia, ya? Kalau nama saya Ezra. Hanya Ezra tanpa nama depan atau belakang." sahut Ezra dengan lagi-lagi ia menunjukan senyum tengilnya.
Harriet mengangguk singkat. "Sejak kapan kamu ada disini? Maksudnya, aku selama ini tinggal disini tidak pernah melihat ada orang yang seumuran denganku."
"Tahu darimana kita seumuran?"
"Jangan bilang kamu adalah seorang om-om yang sedang memakai make up untuk menutupi kerutan yang ada di mukamu itu." kata Harriet dengan menatap tajam ke Ezra.
"Hahaha, kamu sepertinya keseringan menonton drama, ya? Saya baru 20 tahun. Bagaimana denganmu?"
"Ck, kan, benar kita seumuran." kata Harriet memutar bola mata malas.
"Tidak. Kamu pasti lebih tua dariku beberapa bulan mungkin."
"Terserah. Sinikan mangkuknya biar aku saja yang menyuap sendiri. Kamu terlalu lamban." ucap Harriet sembari mengambil alih sendok yang dipegang Ezra dan kemudian mangkuknya.
"Kamu mau nambah lagi?"
"Emm!" sahut Harriet sembari menyodorkan mangkuknya. Ezra menyambutnya dan membawanya keluar tidak berapa ia kembali lagi dengan isi mangkuk yang lebih banyak dari sebelumnya.
"Bukannya itu kebanyakan?"
"Tenang, saya bantu habiskan." katanya seraya menunjukan sendok baru yang sudah diambilnya.
Kemudian mereka makan bersama dalam diam.
_______________
"Di luar sudah tidak ada wartawan lagi. Sebaiknya aku pulang sekarang, Tante. Terimakasih sudah merawatku." pamit Harriet pada Mirdad mamanya Ezra.
"Iya, keadaan sekitar juga sudah mulai kembali seperti biasa. Tapi, Harriet, kalau kamu membutuhkan sesuatu, datang saja ke rumah ini. Jangan sungkan. Lagipula ibumu dulu adalah teman baik tante." kata Mirdad dengan ramah.
"Benar, Harriet. Saya juga akan sering main ke rumah kamu untuk mengecek keadaaan kamu nantinya. Kamu pasti akan aman." seru Ezra menimpali.
"Ezra adalah anak yang baik. Meski dia terlihat seperti anak yang jahil, tapi dia punya sisi--"
"Maaa, jangan katakan itu padanya. Saya malu." protes Ezra pada Mirdad yang berniat mengatakan hal yang sebenarnya bukan hal buruk.
"Iya, saya tahu, kok, Tante. Sekali lagi terima kasih ya, Tante, Ezra. Saya pulang dulu." kemudian Harriet pun pulang ke rumahnya yang hanya berada disebelah rumah Ezra.
Sesampainya di dalam, keadaan rumah sedikit kacau dan berantakan. Seolah beberapa orang baru saja mengacak-ngacak rumahnya.
"Rico?" ucap Harriet sesaat melihat seseorang yang baru keluar dari kamar mendiang orangtuanya. Rico adalah salah satu dari beberapa orang kepercayaan orangtuanya.
"Nona Harriet? Nona, darimana saja?" katanya sembari mendekat dan memindai Harriet dari atas sampai bawah. "Nona, baik-baik saja?" tanyanya lagi.
"Apa yang kamu cari di rumahku? Kenapa semuanya berantakan dan kulihat kamu baru saia keluar dari kamar orangtuaku."
"Ah, sudah, kuduga kamu pasti akan mencurigai hal ini." kemudian Marco merogoh sesuatu dibalik jasnya. "Ini surat dari ayahmu." Rico menyodorkannya pada Harriet, "Ia memintaku untuk menyembunyikan beberapa data yang kemungkinan bisa dicuri oleh tangan nakal yang tidak bertanggung jawab."
Harriet tidak begitu mendengarkan dan membuka begitu saja lipatan surat kumal itu.
Rico, jika sesuatu terjadi pada perusahaan, datanglah kerumah dan simpanlah baik-baik sebuah flashdisk yang berisi data penting perusahaan. Simpan dan gunakan itu dalam kepentingan mendesak suatu hari nanti.
"Kapan ayah memberikan surat ini?"
"Satu hari sebelum ledakan di Paris terjadi."
"Apa ayah sudah memgetahui akan apa yang terjadi dengannya?"
Rico mengangkat bahunya ke atas.
"Aku juga sempat berpikir hal yang sama denganmu. Namun aku tidak pernah menemukan jawabannya. Terlebih lagi, orangtuamu memang dikenal cukup handal dalam memprediksi apa yang terjadi dengan perusahaan belakangan ini."
Harriet mengerutkan dahinya seraya berpikir.
"Harriet, ini flashdisk yang dipinta ayahmu. Aku akan membuat salinannya dan akan kuberikan padamu yang aslinya nanti." kata Rico lagi dengan menunjukan flashdisk itu pada Harriet.
"Kamu mencari benda sekecil itu sampai mengacak rumah kami?" tanya Harriet dengan menyipitkan matanya.
Rico menggeleng mantap. "Bukan. Aku tidak melakukannya. Aku baru sempat datang hari ini dan ketika aku masuk pintu rumah dalam keadaan tidak terkunci dan isinya persis seperti yang kamu lihat saat ini."
"Berarti ada seseorang yang masuk sebelum kita. Apa para polisi itu?"
"Tidak mungkin. Rumahmu memiliki banyak kamera pengintai. Mereka cukup gila jika melakukan hal itu."
Harriet dan Rico kembali diam sembari memperhatikan pecahan kaca yang berserakan di lantai. Kalau dipikir-dipikir pecahan kaca itu tidak jelas asalnya dari mana. Pot bunga dan lemari kaca semuanya masih utuh. Jendela juga tidak ada yang rusak. Lampu masih utuh.
"Darimana asalnya pecahan kaca ini?" tanya Rico sesaat sesudah memindai ke sekitar.
"Ini aneh." gumam Harriet.
"Kamu yakin masih mau menempati rumah ini?" tanya Rico kemudian.
"Iya. Tentu saja. Karena ini rumahku." kata Harriet.
"Nona tidak takut? Nona bisa tinggal di rumah saya kalau mau. Tentunya bukan hanya ada kita berdua, ada orangtua saya dan ketiga adik kecil saya."
"Tidak usah, terima kasih. Aku bukan jenis orang yang penakut. Aku akan baik-baik saja di rumahku sendiri." ujar Harriet meyakinkan.
"Hubungi saya jika, Nona, berubah pikiran. Atau Nona bisa panggil Pak Suga. Beliau sedang bertugas di wilayah ini." kata Rico sesaat sebelum pamit pergi.
"Iya. Aku akan melakukannya jika begitu mendesak. Terima kasih sudah mampir, Rico. Datanglah lagi lain kali." kata Harriet.
"Saya pamit. Jaga diri, Nona."
Harriet hanya mengangguk kemudian Rico pun masuk ke mobilnya.
Sesaat Harriet telah menutup pintunya, ia terkejut dengan jantung yang berpacu.
Pecahan kaca itu menghilang.