Chereads / TULISAN HARRIET? / Chapter 4 - BAGIAN 4. BERIKUTNYA

Chapter 4 - BAGIAN 4. BERIKUTNYA

Harriet membekap mulutnya ketika membaca sebuah tulisan yang ada pada tampilan layar laptop tersebut. Tulisan itu menceritakan tentang apa yang terjadi pada hari ini.

Bab 1. LEDAKAN PERTAMA

Hari ini, ketika aku hendak bersiap untuk latihan menari. Aku dikejutkan oleh suara dering telpon yang nyaring pada ponselku sendiri. Tidak biasanya suaranya senyaring itu, padahal aku sama sekali tidak ada mengaturnya. Aku memeriksa layar ponselku dan tertulis disana bahwa nomor itu tidak terdaftar pada kontak telponku,  itu artinya bahwa nomor itu tidak kukenali. Aku lalu menutupnya karena kupikir itu hanyalah sebuah panggilan iseng oleh orang-orang random di luar sana. Namun, ketika aku mematikannya, nomor itu kembali menelponku. Aku lalu mematikannya lagi dan lagi. Karena hal itu terus berulang, sebelum akhirnya aku matikan telpon itu sepenuhnya, aku pun mencoba untuk mengangkatnya.

Aku mendengar adanya suara panggilan dari suara yang begitu familier di telingaku. Rasanya begitu deja vu. Aku seperti pernah mendengar suara ini, tapi aku lupa kapan dan di mananya. Ia lalu mengatakan padaku bahwa aku harus memeriksa berita di televisi sekarang juga. Aku sempat untuk mengacuhkannya namun tidak jadi karena si pemilik suara itu seakan tahu bahwa aku tidak bereaksi apa apa. Aku pun akhirnya menurut untuk menyalakan televisi yang sangat jarang kuhidupkan itu. Seperti sebuah alur cerita dalam drama, tepat ketika tv dinyalakan, detik itu juga perihal tentang berita utamanya disiarkan. Sebuah ledakan dahsyat terjadi pada sebuah gedung tertinggi di Paris. 45 orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Masih belum dapat dipastikan darimana ledakan itu berasal. Sesaat melihat berita itu aku mematung selagi memandangi layar tv yang menunjukan apa nama gedung yang meledak itu.

Ya, itu adalah gedung milik ayah dan ibuku. Jika kuhitung jamnya, mereka baru tiba disana saat tengah malam. Aku sangat tahu orangtuaku adalah orang-orang yang sangat disiplin oleh waktu. Mereka pasti sudah berada di gedungnya satu jam sebelum jam kantor sudah siap beroperasi. Jadi, kemungkinan mereka selamat adalah hal yang sangat mustahil dan tipis terjadi.

Kemudian benar saja.

Harriet lalu melihat kembali ke layar tv demi membaca satu persatu korban yang tidak selamat yang kini sudah dievakuasi oleh petugas.

1. Willen Dazenarow

2. Fixilyan Arora

3. Marco William Alexander

4. Giza Ardhean Dallaz

5. Ladona Hitman Giz

6. DLL

Harriet lalu melihat ke layar laptop itu lagi.

Orangtuaku meninggal pada ledakan itu.

Jantung Harriet tiba-tiba berdebar sangat cepat. Napasnya naik turun seolah ia baru saja habis berlarian. Harriet lalu meraih segelas air putih yang ada di atas lemari kecil samping ranjangnya, ia meminumnya hingga tandas. Ia masih merasa shock dengan apa yang baru saja di alaminya saat ini. Harriet masih ingat sesaat ia tidak sadarkan diri tadi jam sudah menunjukan pukul 12 siang, tapi ketika ia bangun lagi jam masih menunjukan 12 siang. Kebingungan Harriet semakin bertabah dengan tulisan yang ada di latop itu adalah tulisannya sendiri. Harriet memang bukan seorang penulis, namun ia sangat mengenali caranya mengetik sama persis seperti ketika dia menulis. Pun, hal yang menyatakan itu benar-benar tulisan yang dibuat Harriet adalah adanya tanda tangan pada tulisan itu. Itu tanda tangannya sendiri. Bagaimana tanda tangan itu dibuat sedang Harriet tidak merasa pernah melakukannya?

Harriet lalu beranjak ke kamar mandi dan mencuci wajahnya lagi. Meski Harriet tahu ia baru saja mengguyur tubuhnya dengan air yang sangat dingin hari ini, namun ia masih sedikit berharap bahwa yang sedang ada di hadapinya saat ini hanyalah sebuah mimpi buruk dan akan hilang ketika ia terbangun nanti. Harriet berpikir begitu bukan karena ia benar-benar menolak kenyataan, tapi dulu ia pernah bermimpi yang rasanya terlalu begitu nyata hingga akhirnya ia terbangun dan melupakannya.

Berulang kali Harriet mencuci wajahnya sembari menepuk pelan kedua pipinya berharap ia terbangun dan tersadar, namun ia masih tetap saja berada di sana. Hampir 15 menit ia seperti itu, akhirnya Harriet menyerah dan kembali keluar. Ia ingin memeriksa tulisan pada laptop itu lagi, tapi laptop itu sudah tidak lagi berada di atas kasurnya. Seolah benda itu sebelumnya memang tidak pernah ada disitu. Harriet hampir mengembuskan napas lega namun sesaat melihat layar tv lagi, ledakan itu memang nyata adanya. Dan Harriet pun menerima panggilan lagi dari anak buah orangtuanya yang mengatakan bahwa jenazah orangtuanya akan tiba besok pagi. Tidak lupa juga mereka turut mengucapkan berduka cita pada Harriet.

Harriet bukannya tidak menyayangi orangtuanya. Ia justru amat sangat menyayangi mereka. Meski orangtua Harriet adalah jenis orangtua yang super sibuk. Tapi mereka selalu memiliki waktu untuk bertukar pikiran dengan Harriet ketika mereka sedang senggang. Seperti kemarin dan hari-hari biasa lainnya. Orangtuanya tidak mengandle semuanya sendirian. Ia membagi tugasnya pada anak buahnya agar ia tidak benar -benar dibutakan oleh pekerjaan sampai harus melupakan keluarga sendiri. Mereka tidak seperti itu. Harriet mendapatkan sepenuhnya kasih sayang dari orangtuanya. Harriet selalu diperhatikan ayah dan ibunya. Ia dan ibunya memang sedang selisih paham apalagi perihal ia yang menari yang mana sampai saat ini masih belum bisa diterima ibunya, tapi hal itu bukan jadi alasan yang membuat hubungan ibu dan anak itu menjadi renggang. Harriet dan ibunya tetap saja dekat. Pun halnya dengan sang ayah yang memang selalu menjadi penyemangat dan alasan Harriet untuk menjadi manusia yang lebih baik. Harriet sangat bangga pada ayahnya. Baginya, ayahnya adalah superhero yang sesungguhnya dalam hidupnya. Dalam seminggu, ketika Marco memiliki waktu luang, ia akan menggunakan waktunya untuk bermain bersama Harriet anak semata wayangnya itu. Entah dengan bermain yang kekanak-kanakan atau serius sekalipun, mereka suka melakukannya berdua. Intinya, Harriet sangat dekat dengan keduanya. Keluarga Harriet itu keluarga idaman bagi banyak orang. Mereka seperti keluarga dengan paket lengkap.

Namun, hari ini ketika mendengar mereka pergi mendadak secara takdir Tuhan. Airmata Harriet tidak keluar barang setetes pun. Harriet ingin sekali menangis. Dadanya sangat sakit sekarang. Nafasnya sesak sampai rasanya ia kesulitan untuk bernapas. Harriet akhirnya terduduk di lantai di sisi ranjangnya. Ia berusaha mengeluarkan airmatanya namun tetap tidak bisa meski matanya sudah memerah sekalipun.

"Ayah, ibu." bisiknya sambil menangkupkan kedua tangan ke wajahnya.

Brak!

Seseorang tiba-tiba masuk kedalam kamar Harriet begitu saja.

"Harriet!" seru orang itu yang ternyata adalah Ava yang padahal ia sudah separuh perjalanan menuju kampus, sesaat mendengar berita di radio di mobilnya ia lalu memutar balik mobil menuju rumah Harriet.

"Aku sebatang kara sekarang, Va." kata Harriet begitu Ava memeluknya erat.

"Nggak, Ry. Kamu masih punya Aku. Kamu nggak akan sendirian, Erry. Ada aku sahabatmu." kata Ava sambil terus mengusap punggung Harriet.

Harriet tidak bersuara apapun. Ia sibuk meluapkan seluruh perasaan takut dan kesakitannya dalam pelukan tersebut.

Hingga akhirnya satu jam kemudian Harriet tertidur karena kelelahan menangis tanpa air mata.

Harriet terbangun sesaat mendengar dentang jam 12 malam dari ruang tamunya. Ia meraih laptop kemudian menuliskan sesuatu disana hingga ia tertidur kembali.

"Ry, gue pinjam mobil lo sebentar buat beli kain hitam, ya."

Harriet hanya mengangguk terpatah sambil menatapnya dengan nanar. Harriet kemudian mematung sesaat melihat laptop misterius itu kini muncul lagi dalam keadaan terbuka. Harriet lalu mendekat.

"HUH?! AVA JANGAN PERGI DULU!!!"

DOOMB!!