Seoul, Now.
Hujan turun dengan derasnya. Tapi hal itu tidak membuat gadis bermata biru laut tersebut beranjak. Ia membiarkan tubuhnya dibasahi tiap tetes yang turun membasahi bumi. Ia hanya terduduk, merutuki kebodohan yang dilakukannya. Menangis pun tidak ada gunanya, semuanya hancur. Terlebih hatinya. Remuk tak berbentuk. Hanya menyisakan pahit yang mengkarat dalam.
Aella. Ia menyesal sekarang. Seharusnya saat hujan di musim gugur tahun lalu ia tak bertemu dengan pria bermata elang itu. Harusnya ia menolak payung hitam yang dibawanya. Harusnya. Harusnya. Dan harusnya. Sesak semakin menghimpit, tubuhnya sudah menggigil kedinginan. Meronta ronta minta di hangatkan. Tapi memang bebal, ia sudah memaku dirinya sendiri agar terguyur hujan, berharap tetesnya bisa membawa tiap pahit yang dirasa.
Sementara itu, lelaki dengan payung hitam menatap sendu punggung yang bergetar hebat. Tak berani mendekat, kakinya enggan melangkah untuk menghampiri. Hujan semakin deras mengguyur bumi, menyiratkan kesedihan yang dirasa gadis dihadapannya. Menghampiri pun percuma, tak ada guna.
Karna semua sudah usai. Tak ada lagi yang bisa diperbaiki, sedari awal harusnya mereka sadar bahwa semesta sedang bermain main dengan perasaan keduanya. Atau mungkin, maksud semesta bukan seperti itu- tapi keduanya memilih abai hingga terjebak dalam lingkaran rasa yang semu.
Saku mantel lelaki tersebut bergetar, ada panggilan masuk.
Itzel is calling …
"Kau dimana? Diluar sedang hujan deras, apa kau baik baik saja?"
Tersirat jelas kecemasan disana. Namun lelaki itu enggan menjawab, matanya masih terpaku pada gadis di depannya.
"Darl, are u ok?"
Lagi lagi tak ada jawaban.
"Cepatlah pulang, Xavier sudah mencari ayahnya sedari tadi. Hati-hati dijalan, aku mencintaimu"
Panggilan diputus. Tangannya kembali masuk kedalam mantel. Hanish menghela nafas berat setelah mendengar bahwa Xavier mencarinya. Ia harus segera kembali, tapi hatinya menolak. Mengusap wajah kasar, ia pun memberanikan diri menghampiri gadis tersebut. Menekadkan hati bahwa ini yang terakhir.
Aella berhenti menangis ketika merasa tidak ada lagi tetes hujan yang membasahi tubuhnya. Mendongak menatap manik hazel yang menatap balik sendu. Lelaki di depannya mengambil satu tangan Aella, lantas menggenggamkan payung tersebut erat pada salah satu telapak tanganya. Setelah memastikan jika payung tersebut tidak akan terjatuh, ia pamit undur diri. Berlari menerobos derasnya hujan, lalu pergi.
Payung hitam ini.
Aella kembali menangis tergugu. Hatinya kembali berdenyut sakit. Wangi citrus yang menyambangi hidungnya menambah rasa sesak gadis tersebut. Hingga tak terasa, pandangannya mulai menggelap dan tubuhnya secara perlahan ambruk ke tanah.