Flashback. London, 20xx.
Aella menatap malas ketika hujan turun semakin deras. Menciptakan hawa dingin yang menusuk-nusuk. Ingin beranjak, tapi tak ada tempat lagi untuk berteduh. Ia sudah terjebak hampir satu jam di depan café yang sudah tutup itu. Birai ranumnya terus saja mengumpat, menyesal tidak melihat ramalan cuaca hari ini. Menyesal juga kenapa dirinya bebal karena memilih berjalan-jalan di tengah cuaca dingin.
Tangannya menengadah. Merasakan derasnya hujan yang mengguyur bumi. Aella yakin, hujan ini akan terus turun sampai nanti sore. Tubuhnya sudah sangat merindukan ranjang hangatnya. Ia ingin segera bergelung di balik selimut, melepaskan penat.
Pada akhirnya, Aella memilih untuk menerobos hujan. Ia sudah tak kuat lagi berdiri disana. Tak peduli dengan tubuh dan pakaian nya yang basah kuyup. Ia ingin segera pulang ke apartemennya. Kakinya terus melangkah, jarak dari café ke apartemennya tidak cukup jauh, hanya berjarak beberapa blok saja dari tempatnya berada. Namun tak lama kemudian, ia merasa bahwa hujan tak lagi membasahi tubuhnya. Ada sesuatu yang melindunginya dari derasnya air langit tersebut.
Maniknya membulat ketika melihat sosok bermata hazel yang tengah memayungi mereka berdua. Lelaki dengan aroma citrus tersebut hanya tersenyum lembut. "Aku hanya tidak tega melihat seorang gadis berlarian di tengah hujan deras seperti ini nona," Aella lagi lagi hanya terdiam saat lengan kanan lelaki itu menarik tubuhnya agar mendekat.
Ada yang tak beres dengan jantungnya.
Ini tidak benar.
Kemana sifat bar bar yang dimiliki Aella ketika didekati lelaki seperti ini?
Mereka terus berjalan berdampingan dibawah payung hitam. Si lelaki tak henti hentinya menatap Aella, khawatir jika gadis itu akan kedinginan nantinya. Padahal jika dilihat, tubuhnya sudah basah kuyup kan?
Setelah sampai di depan gedung apartemen, mereka berhenti. Aella melirik canggung lelaki yang mengantarnya tadi, mereka sudah di dalam loby. "E-em, terimakasih sudah mengantarku tuan ..?" ia menggantungkan kalimatnya di akhir. Gadis itu tak tahu siapa nama lelaki yang sedang sibuk menepuk nepuk bahunya yang basah.
"Ah, Hanish. Namaku Hanish"
Baiklah. Hanish, lelaki bermata hazel setajam elang yang memikat—tunggu apa tadi? Memikat? Sejak kapan Aella terpikat? Ini efek hujan. Ya ini efek dirinya terlalu lama berada di bawah guyuran hujan, jadi membuat otaknya sedikit terendam air—mungkin.
"Pakaianmu basah, bagaimana jika mampir dulu ke apartemenku?"
Hanish langsung terdiam dan menatap netra gadis tersebut. Ia tidak salah dengar kan? Kalau gadis di ini mengajaknya untuk mampir ke apartemen miliknya?
Menyadari raut bingung dari Hanish, cepat cepat Aella meralat perkataannya. "M-maksudku bukan begitu … hanya saja aku tak enak karena kau sudah mengantarku pulang. Dan bajumu basah, aku memiliki beberapa potong pakaian milik sepupu lelakiku. Kau bisa memakainya nanti" jelasnya panjang lebar.
Hanish terkekeh pelan, kenapa gadis di hadapannya ini sangat menggemaskan?
"Baiklah, karena kau yang meminta, maka aku menyetujuinya" putusnya di akhir. Aella lalu mengangguk dan membawa payung yang mereka pakai tadi. Melangkah masuk ke lift, menuju lantai 10 dimana kamarnya berada. Suasana di lift begitu canggung. Aella sesekali mengusap usap bahunya, mencoba menghilangkan rasa dingin yang menusuk. Hanish sesekali melirik Aella yang nampak menggigil. Tak lama mereka sampai di ruangan yang dituju.
Harum lemon dan vanilla langsung menyeruak menyapa hidung Hanish. Apartemen tersebut tidak terlalu besar, juga tidak terlalu kecil. Pas ukurannya untuk seorang gadis yang tinggal sendiri. Menatap ke sekeliling, tidak begitu banyak dekorasi disini. Semuanya terlihat sederhana dan minimalis, tapi mewah.
"Aku akan menyiapkan pakaianmu terlebih dahulu, kau bisa menunggu di kamar tamu" Hanish mengangguk lalu melangkahkan kakinya ke kamar yang ditunjuk Aella tadi. Sementara Aella kini tengah sibuk mengurusi degup jantungnya yang berdetak kencang. Ia menepuk pipinya pelan, kenapa mudah sekali membawa masuk seorang lelaki asing yang baru ditemuinya ke dalam apartemen?
Tak ingin membuat Hanish menunggu, Aella lantas berjalan ke walk in closet. Mengambil satu buah kaos besar dan celana training panjang milik Dareen—sepupu lelakinya yang kerap kali menginap disini jika sedang libur musim panas.
Ia mengetuk pelan kamar tersebut. Merasa tak mendengar satupun jawaban, ia memberanikan diri untuk masuk ke dalam. Kosong. Tak ada siapa siapa disana. Lalu ia mendengar suara gemercik air dari kamar mandi. Sepertinya Hanish sedang membersihkan diri. Ia pun menaruh pakaian tersebut diatas ranjang, lantas kembali keluar dari kamar.
Kini waktunya Aella membersihkan diri. Ia butuh berendam dengan air hangat sekarang. Setelah melucuti pakaiannya yang lembab, ia lantas segera berendam di bathup, merasakan sensasi menenangkan. Cukup lama gadis itu berendam, sekitar 15 menit. Ia pun mengambil sepasang baju tidur bergambar beruang untuk dipakainya hari ini.
Melihat ke sekeliling, ia belum menemukan presensi Hanish dimanapun. Mungkin lelaki tersebut masih berendam didalam sana. Ia pun memutuskan untuk memasak dua porsi mi instan dan menyeduh cokelat panas. Hujan masih turun diluar sana, sedangkan hari sudah mulai menggelap.
Duduk melamun di kursi pantry, hingga tersentak karena tepukan di bahunya. "A-ah maaf, aku sudah memanggilmu tapi kau tidak menjawab" Hanish muncul di hadapannya dengan rambut basah dan aroma lemon yang menguar kuat.
Sial. Kenapa Hanish terlihat sexy sekarang?
Astaga. Singkirkan pikiran binalmu Aella.
"Tak apa, salahku juga tadi melamun. Ah iya, aku hanya membuat mi instan dan cokelat panas. Kau tak apa?"
Hanish langsung duduk di kursi. Berhadapan dengan Aella yang kini mulai mengambil alat makannya. "Tak apa, aku berterimakasih kau sudah membuatkan aku makanan dan meminjamkan pakaian padaku. Padahal kita baru bertemu tadi sore," ia pun mengambil segelas cokelat panas dan semangkuk mi instan tersebut.
Hening. Mereka berdua sibuk dengan hidangan di depannya.
Setelah selesai, Aella membereskan meja pantry dan mencuci piring kotor. Sementara Hanish hanya memperhatikan gerak gerik Aella yang terlihat sangat menggemaskan di balik baju tidur beruangnya. Ia tersenyum kecil. Sebenarnya gadis itu umur berapa? Kenapa masih menggunakan baju tidur beruang?
"Jadi … sepertinya kita belum berkenalan dengan baik tuan Hanish" Aella memecahkan suasana canggung yang terasa.
"Benar, Perkenalkan namaku Hanish. Kim Hanish sebenarnya, tapi aku tak menyukai marga keluargaku. Jadi panggil saja Hanish"
"Kim? Bukankah itu marga orang Korea?"
"Memang, aku memiliki darah Korea dari ayahku. Ibuku orang London, jadi ya ... kau mengerti kan"
Aella terkekeh pelan. Pantas saja perawakan Hanish agak berbeda dari perawakan orang Eropa kebanyakan. Hanish bertubuh tegap dengan hidung mancung berkulit putih dengan mata yang tidak terlalu sipit—tapi tetap saja kecil.
"Giliranku. Namaku Aella. Hanya Aella saja"
"Oh? Singkat sekali namamu!"
"Memang. Ngomong-ngomong kau ini sudah bekerja atau masih kuliah?"
"Aku masih kuliah, jurusan bisnis. Kau tidak tahu jika kita sekelas?"
"Apa? T-tapi aku tak pernah melihatmu ..."
"Kau ini kan selalu duduk di depan, jelas tidak melihatku yang duduk di pojok belakang" kekehnya di akhir.
Aella sebenarnya tidak terlalu bisa bergaul dengan baik. Ia selalu menghindar jika teman teman satu kelasnya mengajak untuk makan malam atau berkaraoke melepas penat. Bukan tidak mau bergaul, hanya saja ia terlalu menutup dirinya. Temannya pun bisa dihitung dengan jari, tidak terlalu banyak. Hanya beberapa.
"A-ah maaf, aku memang tidak terlalu banyak mengenal orang di kelas" jujurnya.
Mereka terus berbincang hangat, sesekali tertawa karena guyonan yang dilontarkan. Tak terasa waktu semakin malam. Hujan sudah berhenti, menyisakan petrichor dan rintik kecil. Hingga akhirnya Aella memutuskan agar Hanish menginap saja di apartemennya, sempat ditolak oleh Hanish, tapi ketika mengingat bahwa ia tidak membawa kendaraan dan sudah larut malam, akhirnya ia setuju.
Dan malam itu, menjadi permulaan kisah rumit yang mereka jalani.