Sekarang Aella persis seperti orang gila.
Pasalnya, sejak tadi ia tak berhenti tersenyum. Menatap langit-langit kamar, sambil sesekali bersenandung ria. Hari ini ia dan Hanish menghabiskan waktu bersama, dan lelaki itu benar benar memperlakukannya seperti putri kerajaan. Kenapa Aella baru sadar jika Hanish itu manis ya? Wajahnya terkesan dingin, tapi ketika sudah tersenyum—astaga. Itu sangat menawan bung!
Tak lama kemudian, ponselnya berdering keras. Gadis itu bangkit lalu mencari benda persegi tersebut.
Unknown number is calling …
Siapa?
Apakah ini Dareen? Tapi lelaki itu tak pernah mengganti nomor ponselnya.
Atau Hanish? Tidak.
Lalu siapa? Kontak di ponselnya hanya ada mereka berdua. Serius. Selama ini Aella tak pernah menyimpan nomor orang yang tidak begitu dekat dengannya. Alhasil di ponselnya hanya ada dua nama, Dareen dan Hanish. Seringkali ketika teman se-fakultas meneleponnya, ia kebingungan. Lalu berakhir dengan ocehan menyebalkan.
Dering ketiga membuat Aella memutuskan untuk menerima panggilan tersebut. Entah kenapa dadanya berdegup.
"H-halo?"
"Ah! Akhirnya!"
"Maaf, dengan siapa aku berbicara?"
"Appa! igeon eottae, eonnineun naleul mos al-a bwayo ~" ***
Aella mengerutkan keningnya. Ia tidak mengerti apa yang dibicarakan orang ini. Tapi yang jelas, nadanya terdengar merajuk.
"Maaf? Mungkin kau salah sambung"
"Aella? Itu kau kan?"
DEG.
Suara ini.
Neil. Ayahnya.
"Darl, kau disana? Bisa mendengar suaraku?"
Kini airmata Aella turun dengan kurang ajarnya. Ia rindu. Sangat rindu dengan suara ini. Ia rindu ketika Neil memanggilnya—Darl. Sudah berapa tahun ia tak mendengar suara ini?
"I-im here Neil"
Terdengar helaan nafas lega di seberang sana.
"Appa! I wanna talk to eonni too!"
"Wait a second Zel, aku ingin berbicara dulu dengan kakakmu"
Aella terdiam. Siapa tadi? Dan apa? Kakak?
"Darl, im sorry. Aku tahu kau terkejut."
"Apalagi ini Neil?"
"Aku masih ayahmu"
Gadis itu terkekeh pelan. Ayah? Sudah berapa lama ia tak mendengar kata 'Ayah'?
"Tidak sejak saat itu, Neil"
"….."
Hening disana. Hanya terdengar helaan nafas yang begitu berat.
"Dengar, aku tahu kau masih marah padaku. Tapi untuk kali ini saja—untuk kali ini, maukah kau pulang? Aku merindukanmu. Atau jika kau tidak ingin pulang, setidaknya biarkan aku yang mengunjungimu di London. Sungguh, aku merindukan putri kecilku"
Aella tak ingin munafik. Ia juga rindu ayahnya. Rindu keluarganya. Bertahun-tahun hidup sendiri tanpa kehangatan keluarga membuatnya hidup dengan rasa sepi. Semenjak ia pindah ke London, ia sudah bertekad untuk memutus kontak dengan keluarganya. Baginya Ayah, ibu dan kata keluarga sudah hilang ketika kejadian itu. Rasa sakit dan ego menutup rindunya. Ia kembali teringat. Kembali merasa sesak.
"Darimana kau tahu aku di London? Dan kenapa kau bisa mendapatkan nomor ini?"
"Dareen, aku memaksanya memberi tahu keberadaanmu"
Sial.
"Aella, aku mohon. Tolong kali ini saja, beri aku kesempatan untuk menemuimu."
Gadis itu menggigit bibirnya. Bimbang. Haruskah? Haruskah ia memberi kesempatan pada Neil untuk bertemu?
"Entah Neil. Akan kukabari lewat Dareen. Sekarang akan ku tutup panggilannya"
"Oh God! T-tunggu jangan dulu di tutu—"
Aella langsung melemparkan ponselnya asal. Ia benci. Benci dengan keadaan. Benci dengan permainan takdir dan semesta. Ia benci pada dirinya yang tak bisa berdamai dengan masa lalu. Benci juga mengakui bahwa saat ini ia butuh Neil. Butuh pelukan hangatnya. Butuh kecupan di dahinya untuk menenangkan diri. Ia butuh semua itu.
Kebetulan sekali, Hanish berkunjung. Sebenarnya ia sudah berada di dalam apartemen Aella sejak beberapa menit yang lalu. Tepatnya ketika telinganya tak sengaja mendengar percakapan Aella dengan entah siapa ia tak tahu.
Niatnya untuk mengambil hoodie hitam yang tertinggal ia urungkan. Tangannya membuka knop pintu kamar gadis manis tersebut. Gelap. Dan terdengar isakan kecil dibalik selimut tebalnya.
Ia melangkahkan kakinya ke ranjang. Menatap gadisnya yang bersembunyi di bawah gelungan selimut. Tangannya terjulur, mengelus lembut pucuk kepala yang tidak tertutupi selimut.
Aella lantas mendongakan kepalanya, melihat siapa yang masuk ke dalam kamarnya. Dan maniknya terkejut ketika melihat Hanish tersenyum manis. Menatapnya lembut. Tanpa ba-bi-bu ia langsung memeluk erat lelaki bermata hazel tersebut. Menangis tersedu-sedu di sana. Hanish hanya membiarkan. Sesekali mengelus lembut punggungnya, menenangkan. Juga mengecup pucuk kepalanya.
"Ssh, why are you crying princess?"
Pelukannya semakin mengerat. Aella menelungkupkan wajahnya di ceruk leher Hanish. Ia tak peduli lagi kalau bahu dan baju bagian depan lelaki ini basah.
"Hei, berhenti … kau tidak lelah hm? Nanti matamu sembab"
Hanish mencoba membujuk gadis di pelukannya agar berhenti menangis. Tapi tak berhasil. Aella masih saja menumpahkan air matanya. Ia menyerah. Membiarkan Aella mengeluarkan seluruh kesedihannya. Sampai 10 menit kemudian ia merasa kalau Aella tidak lagi bersuara, dan terdengar dengkuran halus.
Ia tersenyum, membetulkan posisi gadisnya agar nyaman. Aella tertidur di pelukan Hanish. Ia sempat mencoba untuk melepaskan pelukan ketika dirasa Aella sudah benar benar tidur, tapi gadis itu dengan cepat mengeratkan kembali pelukannya.
Baiklah. Hanish menyerah. Ia mengelus pelan rambut panjang dengan aroma strawberry tersebut. Bersenandung pelan, berusaha membuat gadisnya terlelap nyaman. Sampai tak terasa matanya ikut memberat, kemudian tertidur pulas dengan pelukan hangat.