Hari ini Aella merasa dirinya sangat gugup. Entah sudah berapa kali ia membenarkan tatanan rambut dan make upnya, juga sesekali membenarkan pakaiannya yang dirasa lecek atau tidak pas.
Semalam, Neil menghubunginya. Ia sudah sampai di London, dan hari ini mereka akan bertemu. Demi apapun, hatinya berdebar kencang. Ia bingung harus bereaksi seperti apa nanti dihadapan Neil. Jangan tanya apakah gadis itu rindu atau tidak, karena jawabannya sudah sangat jelas. Ia sangat, sangat, sangat rindu. Teramat rindu. Siapa yang tidak merindukan ayah kandungnya? Ditambah ia sudah bertahun tahun tak pernah lagi melihat bagaimana rupa sang ayah, kabarnya dan sebagainya.
Dareen sejak tadi hanya menghela nafas melihat perilaku Aella yang kelewat gugup itu. Ia tahu ini momen yang sangat berarti bagi keduanya. Tapi gemas saja rasanya, melihat Aella yang sedari tadi tidak berhenti mondar-mandir sambil sesekali menggigiti kukunya. Ini sudah hampir 15 menit, dan masih saja sepupunya seperti itu.
Ah Hanish, Dareen belum tahu jika ia sudah memilki kekasih. Bisa gawat jika Dareen mengetahuinya. Pasalnya lelaki itu sangat amat protektif terhadapnya. Setiap lelaki yang ingin berdekatan dengan Aella harus berhadapan terlebih dahulu dengannya. Berlebihan memang, tapi itu salah satu cara melindungi Aella mengingat gadis itu telah menjadi tanggung jawabnya.
"Aella, bisakah kau tenang sedikit? Aku pusing melihatnya"
Aella hanya berdecak kesal, ia juga tak tahu kenapa harus bertingkah seperti ini. Kenapa juga ia harus segugup ini. Entah kenapa tiba-tiba ia berambisi ingin memukul wajah Dareen.
Astaga kenapa hari ini Aella berpikiran aneh?
Ini pasti karena keberadaan Dareen.
Apapun masalahnya, ia akan menyalahkan Dareen, pasti.
"Dareen, aku harus bagaimana nanti?"
"Tinggal tersenyum dan menyapa paman Neil apa susahnya sih?"
Gadis itu melotot mendengarnya. Apa tadi? Apa susahnya? Coba saja ia berada di posisi Aella! Rasakan bagaimana bingungnya ia sekarang. Huh, menyebalkan.
Ponsel Aella berdering. Panggilan masuk dari Neil.
Dareen hanya mengangguk, menyuruhnya untuk mengangkat panggilan tersebut.
"Y-ya?"
"Darl, 10 menit lagi aku sampai ditujuan. Kau dimana? Sudah bersiap?"
"S-sudah Neil, sebentar lagi aku akan berangkat … bersama Dareen"
" … Ah ya, kututup teleponnya, hati hati dijalan"
"Hm, kau juga"
Panggilan berakhir. Gadis itu meremat tali tas yang digunakannya pelan. Dareen hanya menggeleng ketika mendengar bagaimana sepupunya itu memanggil ayahnya hanya dengan nama.
"Ayo, Neil sudah dijalan"
"Ayah"
"Apa?" Aella mengernyit bingung ketika mendengar kalimat itu. Kenapa Dareen tiba-tiba berucap 'Ayah'?
"Ia masih ayahmu, setidaknya ketika bertemu nanti panggil dia dengan ayah. Jangan membantahku"
Dareen langsung keluar kamar setelah mengatakan itu. Ayah ya? Haruskah? Untuk hari ini saja kan? Ya, mari dicoba. Untuk hari ini saja, ia akan memanggil Neil dengan sebutan Ayah.
Di dalam mobil, suasana begitu hening. Hanya diisi lagu dari radio yang diputar Dareen. Mereka berdua tak ada yang berniat untuk membuka percakapan. Jalanan hari ini padat. Dan gadis itu mendengus kesal beberapa kali.
Hampir 20 menit mereka menghabiskan waktu dijalan. Baisanya dalam 10 atau 15 menit mereka sudah sampai. Ia menatap cemas kedalam café di hadapannya. Neil bilang, ia sudah memesan ruangan khusus di lantai 2.
Setelah masuk, Dareen menghampiri salah satu pelayan guna menanyakan reservasi atas nama Neil. Pelayan tersebut mengantar mereka ke ruangan yang dimaksud. Di depan pintu, baik Dareen maupun Aella terdiam. Gadis itu menatap ragu daun pintu.
"Dareen, bagaimana jika kita pulang saja?"
"Kau mau mati huh?"
Sial.
Uh serius, ia ingin pulang saja lalu memeluk Hanish semalaman.
Cklek.
Pintu tersebut dibuka oleh Dareen. Aella menahan nafasnya gugup. Lelaki tersebut lantas mendorong bahunya pelan. "Selamat datang paman, maaf kami terlambat. Anak gadismu sangat rewel di jalan, jadi harap maklumi" Aella melotot. Enak aja! Rewel darimananya? Padahal jalanan macet tapi kenapa ia disalahkan?
Neil hanya tersenyum. Ia lalu menatap putrinya yang hanya diam menunduk, terlihat sekali bahwa gadis itu gugup. Astaga Neil tak menyangka jika putrinya sudah sebesar dan tumbuh secantik ini. Maniknya lama kelamaan mengembun. Ia ingin menangis, memeluk putrinya erat. Tapi semua itu ditahan kuat kuat. Di perbolehkan bertemu seperti ini saja ia sudah bersyukur, sungguh. Jadi ia tak ingin bermacam-macam, mengerti bahwa Aella masih butuh waktu dan mungkin saja masih menyimpan amarahnya pada Neil.
"Paman, perutku sakit. Aku pamit ke belakang dulu sebentar," Dareen mengedipkan matanya, memberi kode bahwa ia sengaja keluar untuk memberi ruang lebih terhadap dua manusia itu. Neil tersenyum berterima kasih. Aella? Gadis itu sudah sibuk merutuki Dareen. Ia tahu Dareen sengaja.
"Jadi .. bagaimana kabarmu?"
"Y-ya? A-ah maaf .. aku baik baik saja, Dareen menjaga dan merawatku dengan baik disini." Jawabnya kikuk.
Neil merasa hati-nya tercubit ketika putrinya mengatakan bahwa Dareen merawat dan menjaganya dengan baik. Harusnya ia yang melakukan itu bukan? Harusnya ia yang menjaga putri manisnya.
"Bagaimana dengan kabarmu?"
Aella mencoba untuk memberanikan diri. Ia tak tahan dengan situasi canggung ini. Memberanikan diri juga untuk menatap manik ayahnya. Dan ia lihat jika Neil tersenyum hangat dengan sorot mata yang lembut.
"Seperti yang kau lihat, aku baik baik saja .. tapi mungkin .. tidak. Tidak setelah aku kehilanganmu dan Luna"
Gadis itu mengernyit tidak mengerti. "Kenapa? Bukankah seharusnya kau bahagia dengan keluargamu yang baru?"
Neil menggeleng pelan. Raut wajahnya tak bisa dibaca. "Seharusnya seperti itu. Tapi rasanya ada yang hilang dari hidupku saat aku tak lagi bisa melihat senyumu darl, aku kehilangan"
Maniknya sudah mengembun. Ia tak tahan lagi. Tapi dengan sekuat tenaga ia menekan hal tersebut, karena ego tentu saja. Ia ingin mendengarkan apa alasan lelaki dihadapannya ini. Alasan mengapa dulu ia diam dan menuruti saja semua perkataan si medusa tua itu.