Neil kini melamun di kamar hotel yang disewanya.
Ini sudah hampir satu minggu semenjak ia menginjakan kaki di London. Pada mulanya, Neil kira semua akan berjalan lancar, baik baik saja, tak ada hambatan dan berakhir dengan pulangnya Aella ke rumah.
Tapi nyatanya?
Neil terlalu naif. Ia lupa dengan permainan semesta yang sedang berjalan mengitarinya. Hingga akhirnya, hanya penyesalan yang kembali datang menemani.
Seminggu ini pula kedua anaknya gelisah. Terus menanyakan kabar kapan ayahnya kembali ke rumah. Neil hanya bisa berkata bahwa ia paling lambat akan kembali minggu depan.
"Aku ini pengecut. Tak seharusnya aku berharap mendapatkan maaf dari putri kita kan Luna?" ia berbicara sendiri. Menatap bintang yang bertebaran di gelapnya malam. Memejamkan mata, merutuki semua kebodohannya.
Putri kecilnya benar.
Harusnya ia bisa mengambil keputusan tegas saat itu, bukannya malah tunduk pada ancaman yang taka da apa apanya. Harusnya ia yakin bahwa keluarga kecilnya akan baik baik saja.
Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah—harusnya, seharusnya, andai saja, jikalau.
Dareen juga belum memberi kabar apapun. Tapi satu yang bisa ia pastikan adalah, Aella membenci dirinya. Luka itu belum sempurna sembuh, dan kini Neil kembali menggali luka tersebut sehingga menjadi semakin dalam.
Bodoh bukan?
Oh biar saja, ia tak peduli jika saat ini dirinya terlihat seperti pemain drama, sangat melankolis. Karena memang begitu kenyataannya. Ia sedang menikmati rasa penyesalan yang semakin menggunung tinggi di kedua pundaknya.
Luna.
Apa kabarnya?
Dimana ia tinggal sekarang?
Bagaimana kehidupannya? Apakah berjalan dengan baik?
Lalu … apakah ia sudah memilki pengganti dirinya?
Banyak sekali hal yang ia lewatkan. Banyak juga yang dilupakan, atau terlupakan? Entahlah. Tidak ada yang tahu.
Kembali meneguk segelas anggur. Neil tidak peduli jika ia harus mabuk berat malam ini. Setidaknya, untuk malam ini biarkan dirinya larut dalam kesedihan. Biarkan dirinya tenggelam dalam rasa bersalah.
Mari kita beralih pada sosok lain, dan tinggalkan Neil sendiri disini beserta penyesalannya.
Aella kini sudah menjalani kegiatan sehari hari seperti biasanya. Pikirannya tidak lagi berlarut dalam kesedihan. Ia sudah bisa tersenyum manis, tertawa dan—memukuli Dareen seperti biasa tentunya.
Ah Dareen, lekai itu sampai saat ini belum mengetahui jika Aella memiliki kekasih. Entah kenapa Aella tidak ingin mengenalkan kekasihnya pada Dareen. Bukan apa-apa, ia hanya tidak percaya saja dengan sepupunya yang kelewat posesif jika sudah berurusan dengan makhluk yang bernama "Lelaki".
Hanish sendiri tidak mempermasalahkan hal tersebut. Ia membiarkan Aella hidup dengan pilihannya. Sedari awal, tujuan Hanish hanya satu—menjadi rumah kembali untuk Aella. Yang mana ia harus memberi rasa nyaman dan aman, yang mana juga ia tidak akan mengekekang gadisnya. Kecuali dalam hal-hal tertentu.
"El, bagaimana jika setelah selesai pelajaran terakhir kita pergi?"
Mereka kini sedang berjalan beriringan menuju kelas. Hanish dan Aella mulai berani menunjukan kedekatan mereka akhir-akhir ini. Hal tersebut tentu saja membuat seisi kelasnya heboh.
Bagaimana tidak? Selama ini Hanish dijuluki sebagai dewa tampan yang jatuh ke bumi. Berlebihan memang, tapi hal tersebut tak bisa di sangkal. Paras yang dimiliki Hanish memang tidak main-main, ditambah kepribadiannya yang hangat dan ramah, membuat kaum hawa semakin meleleh.
"Kemana? Aku sedang ingin ke taman bermain ngomong-ngomong,"
"Ide bagus! Kalau begitu setelah selesai, kita langsung menuju kesana! Sepakat?"
"Oke, sepakat!"
Selalu seperti ini. Hanish yang selalu menghibur Aella dengan segala macam tingkahnya yang luar biasa. Aella merasa beruntung memilki sosok Hanish di hidupnya.
Selama pelajaran berlangsung, Hanish tidak fokus. Materi didepannya sangat membosankan. Ia sudah hafal betul dengan materi ini. Mengulang membuatnya mengantuk.
Sesekali ia akan menggoda Aella yang duduk di depannya. Lelaki jangkung tersebut dengan jahil mencolek pinggang kecil Aella. Mencubitnya pelan, menendang nendang kakinya, atau memainkan rambut panjangnya.
Aella hanya mendengus pasrah ketika dirinya menjadi sasaran empuk kejahilan lelaki tersebut. Melawan atau mengelak tak ada gunanya sama sekali.
"El, kita keluar sekarang saja bagaimana?"
"Aku mengantuk!"
"El, ayolah"
Gadis didepannya berusaha menjadi orang tuli. Ia berusaha keras memusatkan fokusnya ke depan. Mengabaikan semua bisikan setan dibelakangnya.
Tahan.
15 menit lagi.
Ya, begitu.
Tahan amarahmu Aella.
Hanish masih gencar dibelakangnya. Ia tak peduli jika dosen didepan sana nanti menghukumnya.
15 menit berakhir sudah. Dosen tersebut keluar. Dan—
PLAK!
"Astaga! El, ini sakit! Kenapa kau memukul bahuku?"
"Pikir saja sendiri!"
Seisi kelas tertawa melihatnya. Di mata mereka Hanish sangat manis.
Manis apanya?
Makhluk menyebalkan seperti itu!
Cih, lihat saja nanti!