Helia, wanita itu tengah menyesap minuman berwarna merah pekat dengan santai. Mengabaikan tatapan para lelaki yang menatapnya lapar, ia bergidik tidak peduli. Dirinya tengah menunggu seseorang, guna menjalankan rencana selanjutnya.
Bartender di bar tersebut sudah biasa dengan kehadiran Helia yang hampir setiap akhir pekan menghabiskan waktunya disana. Hanya minum, atau bertemu seseorang tapi tidak melakukan apapun.
"Ini sudah gelas ke-lima mu nona, jangan diteguk lagi. Ini aku beri minuman biasa, agar lambungmu tidak sakit,"
Helia hanya mendengus sebal karena botol wine nya di rampas sang bartender. Ia lalu menilik minuman di depannya. Tidak menarik.
"Aku sedang menunggu seseorang, kenapa dia lama sekali? Menyebalkan" Ia sudah mulai meracau. Kepalanya diletakkan di meja, ditutupi kedua lengan di atasnya.
Tak lama dari itu, datanglah seorang wanita yang terlihat pucat. Si bartender hanya menggidikan bahu kemudian pergi meninggalkan mereka di sudut meja bar. Tak ingin ikut campur.
"Nona, maaf aku terlambat—" wanita tersebut segera memundurkan langkahnya ke belakang tatkala Helia memberinya tatapan tajam, kelewat tajam.
"Kenapa kau lama sekali sialan?"
Wanita tersebut hanya bisa menundukkan wajah. Ia tidak berani melihat Helia, wanita tersebut terlalu menyeramkan jika marah.
"Lupakan, bagaimana hasil pekerjaanmu?" Helia memutar tubuhnya, menghadap si wanita yang kini takut-takut memandangnya.
"S-semua berjalan dengan baik nona, obat yang nona berikan pada tuan tersebut membuatnya tak sadar dengan siapa sebenarnya ia menghabiskan malam disana—"
"Bagaimana dengan jejak?"
"I-itu sudah di selesaikan oleh suruhanku, semuanya aman"
Helia tersenyum senang. Ia menepuk-nepuk pelan bahu dan kepala wanita tersebut bergantian. "Kerja bagus sayang, bayaranmu akan segera kukirim dan jangan lupa rencana sela—" pembicaraan tersebut terpotong karena dering yang berasal dari ponsel di atas mejanya.
"Well, well kau berhasil. Lihat? Dia sudah termakan umpanku. Kau pergilah, besok kuhubungi kembali" usirnya pelan. Si wanita mengerti lalu pamit undur diri.
Helia mengangkat panggilan tersebut. Ia tersenyum menang ketika tahu, jika salah satu dari rencananya terlaksanakan dengan baik.
"Ya? Ada apa menghubungiku?"
Terdengar helaan nafas berat di seberang sana. Helia semakin menyunggingkan senyumannya.
"Bisakah kita bertemu? Aku membutuhkanmu"
"Dengan senang hati, kita bertemu di tempat biasa?"
"Ya, cepatlah. Ku harap kau tidak lama darl"
Panggilan dimatikan. Helia lalu menghubungi seseorang,
"Tolong siapkan seperti yang terakhir kali, tambahkan dosisnya. Tunggu di tempat biasa, dan jangan lupa bawakan yang baru. Aku membutuhkannya,"
Helia segera merapihkan dirinya. Ia beranjak dari kursi setelah menyimpan beberapa tip untuk si bartender.
Lalu bersenandung ria, sambal sesekali tertawa senang.
"Axel .. kenapa kau begitu mudah untuk dibodohi?"
***
Nara tengah berdiam diri di balkon kamarnya. Memperhatikan kedua anaknya yang tengah bermain bersama Hanish di bawah sana.
Hatinya begitu tercubit ketika menyadari bahwa seharusnya yang berada di bawah sana bersama anaknya adalah Axel, suaminya. Bukan adiknya, yang bahkan ia tahu jika Hanish tengah memiliki masalah dengan kekasihnya. Tapi Hanish bersikukuh, jika saat ini Nara lebih membutuhkannya, masalah kekasihnya bisa ia pikirkan lain waktu.
"Ibu! Uncle Han tidak mau memberi bola nya kepadaku!" terdengar seruan dari bawah sana. Nara cepat-cepat menyadarkan diri dan melambai ke bawah sana. Terlihat jika anaknya tengah berlarian mengejar Hanish yang membawa kabur bola mainan mereka.
Nara tersenyum. Setidaknya ia masih memiliki 2 malaikat yang menemani hari-harinya. Ia sudah menyerah pada Axel. Lelaki itu tidak lagi pantas menerima afeksi cinta darinya. Tidak lagi pantas mendapat kehangatan dari keluarga kecilnya. Kali ini, ia akan membiarkan lelaki tersebut pergi, Nara akan melepasnya.
Lagipula ia masih memiliki Hanish, yang ia yakin adik lelaki nya itu pasti mau dibuat repot untuk menjaga kedua anaknya.
Dering ponsel di atas meja rias mengalihkan perhatiannya. Nara masuk ke dalam, melihat siapa gerangan yang menghubungi ponsel adiknya.
El 🤍 is calling …
Menggelikan, pikirnya. Nara jadi teringat ketika ia masih muda dulu, begitu senang rasanya ketika ia tahu jika adiknya memiliki tambatan hati.
Ponsel tersebut kembali berdering. Nara tergelitik untuk mengangkat panggilan tersebut. Menyapa calon adik iparnya tak masalah bukan?
"Halo,"
Hening disana. Nara terkikik pelan, mungkin kekasih adiknya terkejut karena yang mengangkat panggilan kekasihnya adalah seorang wanita.
"Hei, kau kekasihnya Hanish bukan?"
"A-ah iya, maaf .. aku berbicara dengan siapa?"
"Tebak aku siapa,"
"A-ah apa .. apa kau dekat dengan Hanish?"
Nara tertawa pelan. Ya ampun, manis sekali gadis ini.
"Aku bercanda, jangan tegang begitu. Aku Nara, kakak perempuan Hanish."
Di ujung sana, Aella merutuki dirinya pelan. Ia menggigit bibirnya, merasa malu.
"Tak apa, jangan merasa malu atau bersalah begitu. Jadi, siapa namamu?"
"Aku minta maaf, aku tidak tahu jika Hanish memiliki kakak perempuan. A-ah itu .. namaku .. sial, kenapa kau gugup astaga"
Nara lagi-lagi tertawa. Kenapa ia merasa gemas?
"Ah aku harus memanggilmu apa? Aku merasa sangat canggung. Maafkan aku tadi, namaku Aella"
"Nama yang cantik. Panggil saja aku kak Nara, atau mungkin kau mau memanggilku dengan eonni?"
Eonni ya? Aella merasa familiar dengan panggilan tersebut. Tapi ia akan memanggil perempuan tersebut dengan kakak saja.
"Baiklah kak Nara, emm .. apa aku boleh tahu Hanish ada dimana?"
Ah benar, Nara lupa memberitahu keberadaan adiknya tersebut.
"Ah, aku minta maaf karena mengganggu waktu kalian. Aku dengar kalian sedang bertengkar? Aku tidak bermaksud untuk ikut campur. Hanish sedang berada di halaman bersama kedua anak-anakku. Kemarin ada sesuatu yang terjadi, jadi Hanish pulang kerumah."
Aella terdiam mendengarnya. Ia sudah salah sangka. Memang, masalahnya belum selesai. Kemarin ia sempat berburuk sangka ketika panggilannya tidak diangkat oleh Hanish. Aella menghela nafas lega, setidaknya ia tahu mengapa kekasihnya tersebut tidak bisa dihubungi.
"Kak Nara, bisakah aku meminta tolong? Maaf jika aku terkesan tidak sopan padamu .. hanya saja ada yang ingin aku luruskan bersama Hanish, jika kau tidak keberatan tolong katakan padanya jika sudah selesai, ia bisa menghubungiku"
Nara mengangguk. Ia tidak merasa Aella merepotkan atau sejenisnya. Lagipula ia mengerti, "Baiklah, aku akan menyampaikannya nanti …"
Dan mereka berdua terus berbincang. Hingga Nara melupakan sejenak masalah yang tengah melanda dirinya.