Ini sudah hari kedua semenjak Aella kembali mediaminya. Jujur saja Hanish kesal—karena diabaikan oleh kekasih tentunya. Hei! Lagipula siapa yang tidak kesal?
Lihatlah, gadisnya kini memilih makan siang di kantin sendirian daripada bersamanya. Jangan bilang Hanish tidak berusaha! Kalian salah, segencar apapun Hanish berusaha, akhirnya kalah juga karena sifat keras kepala Aella. Jadi untuk saat ini, ia pikir diam lebih baik.
"Apa-apaan dia? Hanya berdiri disana seperti orang dungu? Menyebalkan sekali! Harusnya jika dia memang berniat untuk berdamai denganku ya berusaha! Kenapa kekasihku tidak peka?" rutuknya pelan. Ia tak memperdulikan beberapa pasang mata yang menatapnya aneh.
Makanan di depannya tak berbentuk. Ya, Aella sedari tadi hanya sibuk mengacak-acak makanannya, ia sedang sangat tidak berselera untuk makan hari ini.
"Ck, kau ini sedari dulu tidak berubah. Mau sampai kapan kau mengaduk-aduk makananmu seperti itu huh?"
DEG.
Seketika Aella menghentikan gerakan absurd nya. Ia mencoba meyakinkan diri, bahwa suara yang ia dengar memang suara—tidak, tidak mungkin.
"Kau masih ingat padaku? Sampai kapan kau akan menunduk dan memukul pelan kepalamu seperti itu?"
Lelaki tersebut duduk di hadapan Aella. Mengambil lembut sendok yang digunakan gadis tersebut memukuli kepalanya pelan.
Aella memilih mengangkat pandangannya, dan ia terkejut ketika mata hijau tersebut menatapnya lembut.
"K-kau .. b-bagaimana bisa? T-tapi bukankah .." Lelaki di depannya hanya tersenyum lembut—sama seperti dulu.
"Ini aku, aku kembali"
***
Hanish masih memaku di tempatnya.
Ia dengan jelas melihat bagaimana raut terkejut gadisnya ketika seorang lelaki asing tiba-tiba duduk di hadapannya. Niatnya tadi ingin menghampiri Aella—guna meminta maaf, tapi sepertinya tidak sekarang.
Begini ya rasanya cemburu? Hanish kini mengerti bagaimana perasaan Aella saat beberapa hari yang lalu menemukan dirinya sedang berbincang dengan wanita lain. Cemburu, tapi ia sadar bahwa tidak tahu siapa lelaki itu—hei, bisa saja jika dia salah satu dari saudara nya bukan? Ayolah, mari berpikir positif untuk kali ini.
Ting!
Notif di handphone nya berbunyi. Pesan dari Clarisa.
"Hanish, bisakah kita bertemu siang ini di café biasa? Ada yang ingin aku diskusikan denganmu. Aku akan menunggu disana, kuharap kau bisa datang."
Menghela nafas pelan. Kini ia diliputi rasa bimbang. Menghampiri Clarisa? Atau menemui kekasihnya—yang sedang bersama lelaki lain di meja sana?
Tetapi sebentar kemudian sadar, jika bertemu Clarisa dirasa lebih baik. Lain kali, Hanish akan bertanya tentang hal ini kepada gadisnya.
Berbalik badan, Hanish pun meninggalkan kantin.
Perjalanan dari kampus ke café yang telah ditentukan memakan waktu sekitar 30 menit. Setelah memarkirkan mobilnya, Hanish masuk dan mengedarkan pandangan, mencari presensi Clarisa.
"Hanish! I'm here!"
Seruan itu membuatnya tersenyum. Lalu ia berjalan menghampiri Clarisa yang sudah duduk manis menunggunya.
"Maaf jika terlambat, kau tahu letak café ini lumayan jauh dari kampusku" Clarisa tersenyum maklum. Ia lalu segera menyodorkan beberapa kertas desain hasil karyanya. "Lihat, kemarin aku baru saja menyelesaikan beberapa desain baru. Kukira ini akan cocok untuk acara nanti" Hanish segera menyambut baik kertas desain tersebut. Lelaki itu tersenyum senang, benar kata Clarisa. Hanish menyukai beberapa desain yang ada, sangat cocok untuk acara nanti.
"Kau benar risa, aku menyukai beberapa diantaranya. Ah aku baru ingat, kapan kita akan membeli kalungnya?"
Yang ditanya menepuk jidat lupa.
Gadis tersebut segara mengeluarkan buku jurnal, guna melihat apakah masih ada waktu luang untuk dirinya bepergian. Setelah beberapa saat melihat jurnal dan memastikan bahwa hari ini jadwalnya kosong samapai 4 jam kedepan, Clarisa mengangguk. Bertanda bahwa hari ini mereka bisa membeli kalung bersama.
Lalu percakapan berlanjut hangat. Banyak topik yang dibicarakan. Hingga tanpa mereka sadari, sepasang mata mengawasi segala gerak-gerik dua sosok berbeda lawan jenis tersebut. Ah tidak, lebih tepatnya mengamati lelaki jangkung dengan hazel eye. Tersenyum miring, setelah mendapat apa yang ia mau. Pemilik sepasang mata tersebut keluar dari café dengan ribuan rencana picik di kepalanya.
***
Aella mengernyit pelan ketika handphone nya menerima notif pesan dari nomor tidak dikenal.
+02089xxxxx
[ Send a pict ]
"Bukankah itu kekasihmu? Mengapa dia terlihat sangat mesra dengan wanita lain?"
Aella sejenak terdiam ketika matanya mengenali betul siapa lelaki yang jika dilihat dari sudut pandang si pemotret, terlihat seperti sedang mengecup pipi kiri gadis yang terlihat menunduk malu.
Hanish.
Lelaki dalam foto tersebut Hanish.
Apa? Bagaimana bisa? Mengapa? Siapa? Dan sebagainya. Rentetan kata tanya tersebut terus berputar di kepalanya sekarang. Spekulasi-spekulasi lain bermunculan, sesekali ia menepis spekulasi buruk yang menghampiri.
Astaga. Apakah ini alasan mengapa Hanish tidak lagi mau berusaha membujuknya? Karena sudah ada wanita lain? Apakah Hanish lelah? Bosan?
Rasanya Aella ingin sekali menangis. Tapi ia menahan diri kuat-kuat, ia tidak boleh berburuk sangka pada kekasihnya. Baiklah, perlahan ia mengambil kembali handphone yang semapt dilemparnya ke ranjang tadi. Jarinya lincah menari di atas layar, mencari kontak yang beberapa bulan ini sering dihubunginya.
Panggilan pertama tidak diangkat.
Panggilan kedua masih tidak diangkat.
Aella bersumpah, ia tidak akan kembali menelepon Hanish jika panggilan ketiga masih tidak diangkat.
Ini sudah dering ketiga dan—
"Halo?"
Ah, Aella sejenak menjauhkan ponsel dari telinganya. Memastikan bahwa yang ia hubungi adalah Hanish, kekasihnya. Benar, ini memang nomor Hanish .. tapi mengapa yang ia dengar suara perempuan?
"Halo? Ah maaf, Hanish sedang pergi ke toilet. Ada yang bisa aku bantu?"
Suara di sebrang sana kembali terdengar. Aella berusah mentralkan degup jantungnya. Setelah dirasa agak tenang, ia mulai mengeluarkan suaranya.
"A-ah, kupikir aku salah sambung tadi. Apa Hanish masih lama?"
"Kurasa tidak, mungkin sebentar lagi—Oh!"
"Risa? Siapa yang menelopon?"
DEG.
Astaga. Astaga. Astaga.
Aella kini menggigiti kukunya cemas. Risa? Gadis yang ia temui beberapa waktu yang lalu? Benarkah?
"Ah ini .. El? Iya di kontaknya tertulis El,"
Di sebrang sana Hanish segera menyambar ponselnya. Degup jantungnya tak berarturan. Kencang sekali. Tidak terdengar apapun dari Aella. Padahal panggilan mereka masih tersambung.
"El? Halo? Ah sial. Aku harap kau tidak salah pah—"
Panggilan dimatikan.