Hanish.
Lelaki itu masih menatap ponsel yang digenggamnya erat. Ini sudah hari ke-lima dimana Aella memblokir nomor teleponnya. Pernah ia memaksakan diri mengunjungi apartemen kekasihnya, tentu saja hasilnya nihil. Tetangga di samping unit Aella memberi tahu jika gadis itu pergi bersama lelaki—yang ia yakini itu adalah Dareen atau mungkin lelaki yang menemui Aella beberapa hari yang lalu.
Entah bagaimana keadaannya sekarang. Hei! Ini tidak berlebihan. Wajar-wajar saja bukan jika keadaannya kali ini terbilang kacau? Sangat malah.
"Argh sial!"
Hanish masih terus mencoba menghubungi nomor milik kekasihnya. Sesekali mencoba lewat nomor baru yang sengaja ia beli, tapi tetap saja panggilan itu tidak pernah dijawab.
Sejenak, ia merebahkan diri. Memejamkan mata berharap segala rasa penat dan benang kusut yang bersangkar di dalam kepalanya menghilang sejenak.
Sesaat kemudian, dering panggilan membangunkan Hanish. Ia terburu mengambil ponselnya,
"Nara? Ada apa? Tumben sekali ia menghubungiku"
Jujur saja, ia sedikit kecewa saat melihat siapa yang menghubunginya. Berharap panggilan tersebut berasal dari sang kekasih, tapi ternyata yang menghubunginya adalah kakak perempuan yang amat menyebalkan.
"…."
"Nara? Ada apa?"
"H-hanish, aku harus bagaimana? K-kau?"
"H-hei, ada apa? Katakan pelan-pelan hm?"
"…." Tak terdengar apapun selain suara tangisan yang semakin keras.
"Nara, ayolah jangan membuatku semakin cemas! Dimana suami mu?"
"H-hanish, aku b-bertengkar dengannya .."
Hanish memilih diam mendengarkan.
"Dia .. dia berselingkuh, wanita simpanannya tadi pagi datang ke rumah, ia meminta pertanggung jawaban dari Axel, l-lalu—"
"H-hei, tenangkan dirimu. Kau ada dimana? Jangan bertindak bodoh, aku akan segera menemuimu!"
"Aku di rumah ibu, kemarilah. Aku membutuhkanmu"
Setelah panggilan dimatikan, Hanish langsung mengambil jaket dan pergi begitu saja, meninggalkan ponsel yang tak lama kemudian menampilkan dering panggilan dari Aella.
***
Neil duduk termenung. Ya, lelaki itu masih berada di London. Sempat pulang ke Korea beberapa hari untuk memberi kabar kepada anak-anaknya, berjanji bahwa ia akan mempertemukan mereka dengan Aella juga Luna.
Lelaki itu enggan menyerah untuk kembali bertemu dan meminta maaf kepada kedua wanita yang begitu ia cintai hingga detik ini. Ia berusaha mencari jejak Luna, bertanya kesana kemari tapi nihil. Aella? Gadis itu beberapa kali ia temui, mereka tidak berbincang banyak, hanya saling menyapa lalu Aella akan menarik Dareen pergi.
Hingga akhirnya, ia mendapatkan kabar bahwa Luna ditemukan. Naas keadaan tidak berpihak baik. Saat dirinya melihat Luna di seberang jalan hendak menyebrang—semuanya terjadi begitu saja. Begitu cepat, hingga Neil hanya bisa diam tak berkutik melihat Luna yang sudah bersimbah dengan darah.
Dan disinilah ia sekarang, duduk diam menatap wajah pucat yang masih enggan membuka manik madunya tersebut. Sesekali ia akan berbisik, berharap Luna mendengar lalu sudi untuk membuka kedua matanya.
"Luna, aku tahu jika ini sudah sangat terlambat bukan?"
Neil tersenyum, kedua tangannya menggengggam erat jemari pucat tersebut.
Rindu. Rindu sekali.
"Tapi .. bisakah? Bisakah kau membuka matamu?"
Sesak. Sakit, sangat sakit.
Perlahan air mata mendesak keluar, menuntutnya untuk segera berkeluh kesah. Tidak lagi menahan diri.
"Kau tahu? Selama ini aku tidak baik-baik saja. Semenjak aku pergi dari rumah itu, aku tahu jika bagian dari diriku ada yang tertinggal disana Luna. Aku merasa hampa, kosong. Tak ada lagi tawa Aella yang menyambutku ketika aku pulang. Tak ada lagi suara omelan di pagi hari karena aku bebal untuk bangun … haa—astaga, aku ini benar-benar tidak tahu diri bukan?"
"Wanita itu tidak sebaik dirimu. Aku bersumpah Luna, hanya kau yang ada di hatiku selama ini. Tolong bangun, banyak yang ingin aku ungkapkan, banyak yang ingin aku bicarakan, banyak yang ingin aku lakukan .. Luna .. aku—aku sangat menyesal. Aku kehilangan. Aku kehilangan duniaku, aku kehilangan mentari-ku, aku kehilangan cahaya bulan-ku Luna."
Terdengar isak tangis di ruangan itu. Neil semakin mengeratkan genggamannya. Ia mengecupi punggung tangan pucat itu beberapa kali.
"Ak-aku sudah bertemu dengannya, dia cantik. Sangat cantik, persis seperti ibunya. Dareen merawatnya dengan baik. Kau tentu tahu, pertemuan kami tidak berlangsung dengan baik. Sangat jelas bahwa ia kecewa padaku Luna, ia bahkan mengataiku bodoh. Tapi tak apa, setidaknya aku lega karena mengetahui ia tumbuh dengan baik di bawah awasan Dareen. Kau harus tahu, jika hari itu ia banyak sekali menangis, aku khawatir jika mata indahnya menjadi sembab, aku yakin jika kau melihatnya kau pasti akan memukuliku tanpa henti. Karena dia anak kita satu-satunya, putri kesayangan kita"
"Kau juga harus tahu, .." helaan nafas berat keluar dari birai Neil. "Aku kini bukan ayah dari seorang putri cantik lagi, aku—aku memiliki dua orang putri cantik lainnya. Aku sudah berjanji akan mempertemukan kalian semua .. aku—aku, Luna bangun, kumohon"
Tangis di ruangan itu pecah. Neil menumpahkan semuanya saat ini. Ia mengeluarkan segala beban di hatinya. Masih menggenggam jemari pucat tersebut, Neil menelungkupkan wajahnya di samping lengan Luna. Menangis keras, membuat siapapun yang mendengarnya merasa iba. Tanpa ia sadar, Luna ikut meneteskan air matanya dalam diam.
***
Aella masih setia berdiri di depan pintu itu. Lidahnya terasa kelu, hatinya terasa remuk. Maniknya mengembun, sekuat tenaga ia tahan agar air mata itu tidak keluar.
"Kau tahu? Selama ini aku tidak baik-baik saja. Semenjak aku pergi dari rumah itu, aku tahu jika bagian dari diriku ada yang tertinggal disana Luna. Aku merasa hampa, kosong. Tak ada lagi tawa Aella yang menyambutku ketika aku pulang. Tak ada lagi suara omelan di pagi hari karena aku bebal untuk bangun … haa—astaga, aku ini benar-benar tidak tahu diri bukan?"
Apa? Apakah Neil benar-benar merasa seperti itu?
"Wanita itu tidak sebaik dirimu. Aku bersumpah Luna, hanya kau yang ada di hatiku selama ini. Tolong bangun, banyak yang ingin aku ungkapkan, banyak yang ingin aku bicarakan, banyak yang ingin aku lakukan .. Luna .. aku—aku sangat menyesal. Aku kehilangan. Aku kehilangan duniaku, aku kehilangan mentari-ku, aku kehilangan cahaya bulan-ku Luna."
Jatuh. Air mata tersebut perlahan lahan mulai terjatuh. Ia menahan isak tangisnya. Genggaman pada knop pintu menguat. Ia mendengar semuanya. Ia mendengar tangis ayahnya, ia mendengar semua isi hati pria yang hampir beberapa tahun ini ia benci.
Saat siang tadi, dirinya tak sengaja membaca pesan yang masuk ke ponsel milik Dareen. Beberapa hari ini, Aella sengaja mengungsi sejenak ke apartemen Dareen, guna menghindari Hanish tentunya.
Dalam pesan tersebut, Neil hanya menyebutkan jika terjadi sesuatu dengan Luna beserta alamat rumah sakit serta nomor ruangan. Mendadak Aella termenung. Setelah sadar ia langsung pergi begitu saja, melupakan Dareen yang berteriak memanggilnya.
Saat sampai di alamat yang dimaksud, ia segera menuju ruangan dimana Luna di rawat. Ibunya menjadi korban tabrak lari kemarin, si pelaku langsung melarikan diri begitu saja. Keadaannnya sangat buruk, Luna terpental cukup jauh dan kehilangan cukup banyak darah. Ia koma.
Di depan pintu ruangan Luna, Aella dapat melihat bagaimana punggung kokoh yang dulu selalu menggendongnya kini terlihat sangat rapuh, sesekali bergetar menahan tangis. Ingin ia berlari memeluk ayah dan ibunya di dalam sana, tapi ia rasa ini bukan saat yang cukup tepat. Jadi yang ia lakukan sedari tadi hanyalah diam, menunduk membiarkan tetesan air mata membasahi celana jins nya.
Dareen datang tak lama kemudian, ia melihat Aella yang tampak lesu sedang menangis, lalu ia melihat ke dalam ruangan—dimana Neil masih menangis tergugu disana.
"Aella, hei .. look at me" lelaki itu berjongkok di depan Aella, menyingkirkan beberapa helai rambut yang menempel menghalangi karena tangis juga keringat.
"D-dareen, aku harus bagaimana? I-ibu di-dia .." Aella langsung menubruk keras tubuh Dareen, hingga lelaki tersebut hampir saja terpental ke belakang. "Hei, ssh .. tenangkan dirimu. Bibi tidak akan suka melihat anaknya menangis seperti ini, mari kita mendoakan yang terbaik untuk bibi, Aella"
Tangis kembali terdengar di koridor rumah sakit. Neil yang mendengar suara tangis tersebut keluar dari ruangan, terlihat penampilannya sangat kacau. Mata sembab juga memerah, rambut yang acak-acakan, pundak yang lesu.
Dareen dan Aella sontak melepaskan pelukan mereka. Neil terdiam dengan tatapan tak percaya ketika melihat presensi Aella di hadapannya.
"Ayah!"
Setelah itu tangis kembali pecah. Aella langsung memeluk erat tubuh Neil. Gadis itu membenamkan wajahnya di dada bidang sang ayah. Sedangkan Neil? Tentu saja dia tak percaya, akhirnya ia bisa kembali merengkuh tubuh putrinya, akhirnya ia bisa kembali bertemu putrinya.
Dareen memalingkan wajahnya. Kedua maniknya mengembun. Ia tidak tahan.
"Aella, tenangkan dirimu hm? Ibu pasti bangun, dia wanita kuat sayang. Jangan menangis lagi, tidak ada yang boleh membuat putriku menangis" tepukan halus di punggung serta kecupan di pelipis semakin membuatnya menangis keras.
Ya tuhan, kapan terakhir kali ia berpelukan dengan Neil?
Kapan terakhir kali ia merasakan kehangatan dan kenyamanan ini?
"ibu—ibu, ayah .. aku merindukan kalian, sangat merindukan kalian semua .."
Neil kembali menumpahkan air matanya.