Chereads / Kita, Hujan dan kata / Chapter 20 - Messed Up

Chapter 20 - Messed Up

"Aella, ayo makan dulu hm?"

Neil masih berusaha membujuk putri cantiknya agar ia mau makan. Semenjak kejadian tadi, Aella terus berdiam diri di samping ibunya. Menatap wajah cantik tersebut, bertanya-tanya apakah ibunya makan dengan baik selama ini? Apakah ibunya baik-baik saja? Apakah ia masih suka menyulam pakaian hangat di sore hari? Apakah rasa sup ayam buatan ibu masih sama?

Jauh di lubuk hatinya ia merasa bersalah juga benci. Ia tak tahu harus bagaimana saat ini. Ingin rasanya marah, meluapkan segalanya .. tapi kepada siapa ia harus marah?

"Ayah, aku tidak lapar. Berhentilah membujukku, aku akan makan jika ingin. Lebih baik ayah pulang sekarang, istirahat dan bersihkan dirimu. Malam ini aku yang akan menjaga ibu,"

Neil hanya bisa menuruti permintaan putrinya, lagipula benar jika tubuhnya teramat lelah. "Baiklah, aku tidak akan memaksa. Jika ada apa-apa hubungi aku atau Dareen, mengerti?" yang ditanya mengangguk setuju, lalu Neil pergi meninggalkan Luna dan putrinya di ruang inap.

Ibunya cantik sekali.

Aella jadi ingat, ketika ia kecil Luna sering sekali mengepang rambutnya. Luna bilang, rambut Aella sangat indah dan harum. Kadang-kadang, Luna membelikan sebuah gaun cantik untuknya. Ah, ia jadi merindukan dekapan hangat Luna.

"Ibu, bagaimana kabarmu? Ah tidak, maskudku sebelum aku mengetahui jika ibu seperti ini. Ibu .. baik-baik saja bukan? Ibu, sebenarnya .. aku tidak marah pada ibu karena menolak membesarkanku dulu, aku .. aku hanya kecewa. Teramat kecewa atas apa yang terjadi. Jujur saja, aku seringkali menangis sendirian di malam hari, rindu nyanyian tidur ibu, rindu ibu yang mengomel karena kau tidak menghabiskan sarapan, rindu melihat ibu yang menyulam pakaian hangat di belakang rumah"

"Ibu, aku hanya sendiri. Tidak memiliki siapa-siapa, hanya Dareen yang berada di sisiku. Jujur saja, sering kali terpikirkan bagaimana—bagaimana jika aku menghilang saja? Bahkan aku beberapa kali mencoba menjatuhkan diri dari lantai yang tinggi, tapi tuhan tidak pernah mengizinkanku untuk pergi,"

Aella merasakan nafasnya mulai terasa sesak. Kenangan kelam itu kembali menghantui dirinya. Saat-saat dimana ia begitu patah, tidak memiliki alasan untuk hidup sedikitpun.

"T-tapi, kemudian aku sadar .. aku sadar jika aku tidak boleh seperti itu. Tapi aku kesepian bu, aku hanya bisa diam melihat teman-temanku yang bepergian dengan orang tua mereka. Itu menyakitkan bu. Aku tidak punya tempat untuk mengadu, hingga terbiasa menyimpan semua rasa sakit dan segala sesuatunya sendirian."

Gadis itu terisak pelan. Rindu sekali rasanya. Sakit ketika mengetahui keadaan sang ibu seperti ini. Ia butuh pelukan hangatnya. Ia butuh senyuman yang menenangkannya. Ia butuh Luna berada di sisinya.

"Aella?"

Yang dipanggil langsung mengahpus jejak air mata nya. Setelah dirasa tenang, ia lalu menoleh. Dan terlihat Dareen yang sedang berdiri di samping pintu.

"Ya? Ada apa?"

"Tidak, hanya saja .. malam ini aku tidak bisa iku menemani mu, perusahaan sedang tidak baik-baik saja .. jadi—"

Aella menghela nafas, ia tahu jika keadaan perusahaan Dareen sedang tidak begitu baik akhir-akhir ini, jadi ia mengerti betul apa maksud sepupu menyebalkannya itu.

"Aku mengerti, pergilah. Aku tidak akan kemana-mana, jika ada apa-apa aku akan menghubungimu" ucapnya menenangkan. Pasalnya ia tahu betul jika Dareen khawatir terjadi sesuatu dengannya.

Lelaki jangkung tersebut mengangguk singkat lalu kembali menutup pintu setelah memberi Aella senyuman hangat, kentara sekali dengan wajahnya yang terlihat lelah dan cemas.

Ah, ia jadi teringat ponselnya. Melihat benda itu membuatnya teringat pada Hanish. Ngomong-ngomong, bagaimana keadaannya sekarang? Mereka belum bertukar kabar sejak hari itu. Jujur saja, Aella masih ragu terhadap Hanish. Begitu banyak yang ia pikirkan.

Sudah beberapa hari ini juga ia memblokir seluruh akses masuk untuk Hanish. Sering ia menemukan sebuah nomor asing yang mengiriminya pesan, bahkan sampai meneleponnya beberapa kali. Ia tahu betul itu Hanish, mengirimkan rentetan pesan yang berisi penjelasan juga permintaan maaf. Tapi sampai saat ini, Aella belum juga membuka satupun pesan yang dikirim Hanish.

Saat benda kotak tersebut ditemukan, sejenak ia menimang. Haruskan ia memberikan kesempatan pada Hanish untuk menceritakan semuanya? Tentang Clarisa, juga foto yang ia dapat?

***

Di lain tempat,

Hanish saat ini sedang menahan amarahnya sekuat mungkin. Nara, kakak perempuan satu-satunya yang ia miliki kini begitu kacau. Ibu dari 2 anak itu sedari tadi menangis tergugu setelah menceritakan apa yang terjadi.

Axel, kakak ipar-nya sama sekali belum menunjukan batang hidungnya. Beruntung kedua anak Nara sedang tidur di kamar atas.

"Nara, tenang lah hm? Aku akan menghabisi lelaki brengsek itu untukmu, sekarang tenangkan dirimu dahulu" ucapnya berusaha menenangkan. Nara mengangguk setuju. Perlahan ia menarik nafas dalam-dalam, berusaha menghentikan tangisnya. Hanish bangkit sejenak untuk mengambil air hangat, lalu diberinya pada Nara.

Hening. Nara kini melamun, menatap kosong cangkir berisi air hangat tersebut. Hanish sendiri bingung harus bagaimana, di satu sisi ia ingin mencari dimana keberadaan lelaki brengsek yang menjadi suami kakak-nya, di sisi lain ia tidak ingin meninggalkan Nara sendirian.

"Hanish, apakah aku sudah tidak cantik lagi?"

Yang ditanya membulatkan matanya. Sial, ini pertanyaan menjebak khas wanita. Ia sempat menimang-nimang jawaban apa yang harus ia berikan.

"Nara dengar, kau selalu cantik dimana pun dan kapan pun. Percaya padaku,"

"Tapi jika aku cantik, kenapa Axel berselingkuh dariku? Apa karena tubuhku sudah tidak lagi bagus?"

Tepat dugaannya. Ini tidak akan berakhir dengan mudah. Hanish hanya bisa menghela nafas pelan.

Tak lama kemudian, terdengar suara mesin mobil, juga pintu yang dibuka dengan tergesa. Dan inilah dia, Axel datang dengan nafas yang memburu.

"Nara .. k-kau, astaga aku sudah panik ketika melihat rumah berantakan. Kamar kita .. kau tahu? Kenapa di lemari tidak ada satupun pakaianmu?" tanya nya tergesa. Axel langsung mengubah raut wajahnya ketika melihat jika Nara hanya memandangnya kosong dan Hanish yang memandangnya nyalang.

"Mau apa kau kemari?" suara Hanish sangat amat berbeda. Lelaki itu diliputi amarah. Axel hanya bisa tertegun, ia tak mengerti apa yang terjadi. Axel memilih abai,

"Tentu saja menemui Nara, anak-anak ada di kamar atas bukan? Aku ingin bertemu mereka, rindu sekali rasanya setelah 3 hari tidak bertemu," ucapnya sambil melangkahkan kaki ke tangga, langkahnya terhenti ketika Nara membuka suara,

"Kemana kau 3 hari ini?"

"Apa maksudmu? Tentu saja aku bekerja, bukankah aku sudah katakan? Jika aku ada proyek di luar kota,"

"Ah .. maksudmu proyek bercinta dengan wanita lain? Begitu?"

Axel membatu di tempatnya. Hanish memandang tak percaya pada Nara, ia kira kakak nya akan diam dan berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi.

Lelaki yang berstatus sebagai suami Nara tersebut memutar tubuh, menghadap Nara dan Hanish.

"Kau .. kau menuduhku berselingkuh?"

"Fakta,"

"Kau mempunyai bukti?"

Nara menyeringai, ia langsung membuka ponsel dan aplikasi chatnya. Menampilkan ruang obrolan dengan nomor tidak dikenal. Isinya berupa foto—yang diyakini Nara jika itu adalah suaminya yang sedang telanjang namun ditutupi selimut sampai batas pinggang—bersama wanita lain dengan jejak kemerahan yang mewarnai tubuhnya.

Axel membelalakan mata terkejut. Kenapa? Kenapa—ini astaga.

"Itu bukan aku,"

"Mau mengelak rupanya? kemari lihat lebih jelas,"

Axel ragu-ragu mendekat, ia mengambil ponsel istrinya. Seketika batinnya bergemuruh.

"Aku bersumpah jika aku tidak mengenal wanita ini Nara!"

"Lalu kenapa kalian bisa tidur bersama seperti ini? Bisa jelaskan?" Nara maju selangkah, menatap tepat manik lelaki yang sudah hidup bersamanya selama 8 tahun ini.

"Tapi aku tidak mengenal wanita ini!"

"Berarti kau mengakui perbuatanmu bukan?" itu suara Hanish. Dirinya sudah tidak tahan dengan keadaan ini. Axel kelimpungan. Ia memang melakukan hal itu, tapi tidak dengan wanita ini.

Nara menghembuskan nafas beratnya. Ia mengangkat pandangan dan menatap sendu Axel. Langkahnya terlihat sangat lemah, Nara sangat sakit.

"Axel .. katakan, apa aku tidak cantik lagi? Apa aku tidak lagi menarik di mata mu? Apa .. tubuhku tidak sebagus dulu?"

Lelaki itu menghela nafas, memijit pelipisnya pelan. "Benar. Aku bosan denganmu, makannya aku—"

PLAK!

"Cukup Nara, pergi ke kamar. Besok aku akan membawamu pergi dari bajingan tengik ini" kata Hanish dingin. Nara menurut, ia kembali melangkahkan kakinya ke atas dengan derai air mata tentunya.

"Sekalinya bajingan ya tetap bajingan,"

"Apa maksudmu hah?!"

"Santai bung, sudah berapa wanita yang kau tiduri?"

Axel merasa amarahnya sudah mencapai batas. Ia lantas pergi melangkahkan kaki dari rumah mendiang mertuanya ini, meninggalkan Hanish yang masih terbakar emosi di dalam sana.