Genap sebulan semenjak Neil menghubunginya malam itu.
Dareen juga belum menampakkan batang hidungnya sedikitpun. Ketika dihubungi selalu saja beralasan sibuk. Menyebalkan. Sibuk apanya? Padahal ia yakin, kalau Dareen hanya sibuk dengan wanita-wanita nya.
Lalu .. mengenai hubungannya dengan Hanish, seminggu yang lalu mereka resmi menjadi sepasang kekasih. Hanish kembali menyatakan perasaannya ketika mereka makan malam di salah satu restoran mewah. Tanpa ragu, Aella mengiyakan permintaan Hanish menjadi kekasihnya. Aella harap, ia tak salah langkah kali ini. Semoga saja.
Gadis itu kini tengah berdiam diri menghadap jendela besar yang berada di kamarnya. Pemandangan kota London yang sibuk menjadi hiburannya tersendiri malam ini. Banyak yang memenuhi isi kepala gadis itu. Terutama permintaan Neil bulan lalu, tentang kepulangan dirinya atau Neil yang akan mengunjungi dirinya disini. Setelah berpikir lama .. bertemu Neil bukan ide yang buruk dibandingkan ia harus pergi ke tempat keluarga baru ayahnya berada. Ia tidak ingin melihat medusa licik itu.
Sejenak menimbang-menimbang kembali. Haruskah? Ponsel yang di genggam nya sejak tadi ia diamkan. Masih bimbang, apakah ia harus menghubungi Neil? Ah entahlah. Ia akan mencoba meruntuhkan sedikit ego-nya kali ini.
3 panggilan masih belum tersambung.
Panggilan ke-4 akhirnya Neil mengangkat panggilan tersebut.
" …"
"Darl, is that you?"
"Ya, Im here Neil"
Terdengar seruan senang di seberang sana. Mungkin Neil senang karena akhirnya putri kecilnya menghubungi setelah sekian lama ia menunggu.
"Soal permintaan mu .. aku memutuskan, aku tak ingin pulang"
"A-ah harusnya aku sadar bahwa sampai kapanpun kau tak ingin kembali darl .." terdengar nada kecewa disana.
"Tapi, bisakah kau saja yang mengunjungiku disini? Aku .. aku tak keberatan"
" …"
"Neil?"
"Y-ya? A-ah aku pikir aku salah dengar .. kau serius?"
"Tak ada lagi kesempatan Neil. Kau mendengarnya dengan jelas"
"Gosh Darl! Aku akan terbang ke London besok malam! Aku akan mengabarimu jika sudah sampai disana"
"Hm, kututup"
Panggilan pun diakhiri. Aella menghela nafasnya. Sekarang apa yang akan ia lakukan? Kira-kira apa reaksi Dareen jika mengetahui hal ini? Mengingat dia sering sekali menasihatinya agar memperbaiki hubungan dengan Neil juga Luna.
Bicara tentang Luna .. apa kabarnya? Ia sudah lama sekali tidak melihat keadaannya, atau sekedar berbincang di telepon untuk menanyakan kabar. Sebenarnya Aella rindu, teramat rindu dengan ibunya. Ia rindu pelukan hangat yang menunggunya di rumah tiap pulang sekolah. Rindu berceloteh di dapur mengganggu kegiatan memasak wanita itu.
Tapi lagi-lagi .. ia harus menelan rasa rindunya. Karena ego dan luka yang sedemikian dalam membuatnya seperti ini.
Tak lama kemudian, dering telepon membuatnya tersadar dari lamunan. Dareen. Ia yakin, Neil pasti menghubunginya. Apa yang harus ia katakan?
"Ya?"
"Astaga. Ya katamu? Hanya Ya? Tak ada yang ingin kau katakan padaku huh?"
"Memang ada apa?"
"Kau benar-benar. Paman Neil menghubungiku tadi, katanya besok ia akan terbang kemari. Apa benar?"
"Kau mendengar langsung darinya kan? Lalu kenapa kau bertanya lagi padaku?"
"Aku hanya memastikan .. lalu, apa yang akan kau lakukan?"
Aella terdiam sejenak,
"Benar Dareen, apa yang akan kulakukan jika bertemu nanti?"
"Aella, dengar. Bicaralah dengan Neil. Biarkan ia menjelaskan semuanya dengan baik, biarkan ia melepas rindunya padamu. Aku tahu ini sulit bagimu .. tapi, turunkan sejenak egomu hm?" suara Dareen terdengar melunak disana, berusaha membujuk.
"Aku .. tak tahu. Maukah kau menemaniku nanti? Aku tak yakin jika sendirian kesana. Setidaknya jika ada kau, tidak akan terjadi hal yang aneh"
Dareen mengerti. Ia mengerti apa yang dimaksud sepupunya itu.
"Akan kuusahakan, kabari aku jika ada sesuatu lagi"
"Hm, kau yang terbaik"
"Menjijikan"
Panggilan pun berakhir.
Meneguk dua gelas air mineral tak juga mengurangi rasa gugupnya. Ia bingung. Apa yang harus ia lakukan ketika mereka bertemu nanti? Menyapanya? Diam saja? Atau membiarkan Neil menyapanya duluan? Memeluknya? Astaga. Aella benar benar gugup.
Kira-kira, apa yang akan mereka bicarakan nanti? Apakah mereka akan membicarakan alasan Neil menikah dengan si medusa? Atau membicarakan tentang kehidupannya bersama keluarga kecil barunya? Atau membahas kenapa putrinya tidak pernah mau pulang?
Kepalanya sangat penuh dengan berbagai macam pertanyaan dan kemungkinan lainnya. Mendadak ia merasa pening di kepalanya. Ia mencari obat Pereda sakit kepala di nakas, tapi yang ada hanya bungkus kosong. Ia lupa membelinya di apotik.
Tak ada pilihan lain, ia menghubungi Hanish.
"Hanish? Bisakah kau membantuku?"
"Wait a minute, kenapa suaramu seperti itu? Kau sakit?"
"Hm, hanya sakit kepala. Bisakah kau membelikanku obat? Kepalaku rasanya mau pecah"
"Aku akan berada di tempatmu 15 menit lagi. Tunggu aku"
"Jangan lama, terimakasih"
Panggilan berakhir.
Ia merebahkan dirinya di atas ranjang. Memijat pelipisnya pelan. Selalu saja seperti ini jika sudah terlalu lama dan banyak pikiran. Ugh, kenapa ia jadi mual? Merepotkan. Ia benci ketika keadaan tubuhnya lemah seperti ini.
15 menit kemudian, Hanish datang dengan obat dan semangkuk bubur hangat. Ia membantu kekasihnya untuk bersandar di dashboard, menyelipkan satu bantal di belakang punggungnya agar tidak sakit saat bersandar.
Aella memperhatikan raut wajah Hanish yang sangat terlihat cemas. Ia yakin, sebentar lagi lelaki dihadapannya akan mengomel, menggerutu lalu merajuk. Selalu seperti itu jika Hanish mendapatinya sakit.
"Kau ini kenapa? Sudah kuperingatkan bukan? Agar tidak terlalu banyak beraktivitas dan berpikir terlalu banyak"
Benar saja, Hanish mengomel dengan menyendokan sesuap bubur untuk Aella. Sementara gadisnya hanya tersenyum kecil menanggapi tingakahnya yang menggemaskan.
"Kali ini ada apa? Terakhir kau sakit karena telat makan hingga asam lambungmu naik"
Suapan berikutnya datang lagi. Jika begini, Aella hanya kan diam membiarkan Hanish mengomel dan merajuk. Percuma jika ia bicara juga lelakinya tidak akan mendengarkan. Menyebalkan memang, tapi ia suka.
Setelah bubur tersebut habis dan obat sudah diminum, ia dan Aella tidur di atas ranjang. Membiarkan Aella memeluknya.
"Neil akan kemari besok"
Usapan pelan di rambutnya terhenti. Hanish mengerti. Ia lalu mengecup dahi gadisnya lembut. "Kenapa tidak memberi tahuku?" Aella hanya menggeleng di pelukan. Ia tak ingin membuat Hanish khawatir, mengingat bagaimana reaksinya ketika ia bercerita tentang keadaan keluarganya saat ini. Waktu itu Hanish langsung memeluk Aella erat, mengusap usap rambutnya sambil sesekali memberi kecupan ringan disana. Kentara sekali jika raut wajahnya khawatir.
"Baiklah, kita lupakan dulu. Sekarang tidur, aku akan menemanimu sampai kau terlelap"
"Kau akan pulang?"
"Kenapa? Kau ingin aku menginap?"
Aella mengangguk. Ia sedang butuh seseorang dan pelukan hangat malam ini.
"Baiklah, sekarang tidur"
"Selamat malam Hanish"
"Selamat malam El, aku mencintaimu"
Dan malam itu ditutup dengan nyanyian lullaby ala Hanish. Hingga kemudian keduanya terlelap. Melupakan sejenak beban dan masalah yang menggantung.