Chereads / Kita, Hujan dan kata / Chapter 3 - The Past

Chapter 3 - The Past

Hanish sudah berpamitan beberapa saat yang lalu. Hari ini weekend. Jadi Aella memutuskan untuk menghabiskan waktunya dengan movie marathon. Meja dihadapannya penuh sesak oleh bermacam macam jenis makanan ringan dan satu mangkuk besar popcorn juga beberapa kaleng cola. Gadis ini benar benar berniat tentang menghabiskan waktunya di dalam apartemen.

Film pertama yang dipilih adalah 500 Day Of Summer (2004) besutan sutradara terkenal Marc Webb dan kawan-kawan. Film lawas ini menjadi kesukaannya. Aella tak pernah merasa bosan dengan alur cerita yang disajikan. Aella sesekali tertawa, menggeram kesal saat film ditayangkan. Begitu seterusnya sampai saat mencapai film ke 5, kegiatannya terhenti karena sepasang tangan besar menutupi pandangannya.

"Ayolah Dareen, kau benar benar payah. Enyahlah"

Namun itu tak membuat si pria mengehentikan kegiatannya mengganggu Aella. Tangganya malah semakin rapat dan keras—sengaja agar Aella tidak bisa menarik turun lengannya.

"ARGH! Kenapa kau menggigit lenganku huh?"

Aella hanya menggidikan bahu tak peduli lalu kembali menatap layar televisi. Dareen langsung berdecak kesal karena diabaikan. Kedua kakinya lalu melangkah, membawa tubuhnya agar duduk di sofa yang kosong di sebelah kanan.

"Ini Home Alone lagi? Yang benar saja! Kau sudah menontonnya berkali kali!" omel Dareen. Tangannya kini sibuk menggapai gapai makanan yang ada di meja kecil tanpa mengalihkan pandangannya dari televisi.

"Sesuka hatiku ingin menonton film apa! Lagipula apa yang kau lakukan disini tupai sinting? Musim panas masih lama, mengganggu saja" sungut Aella. Ia kesal ketika kegiatannya diganggu, apalagi oleh makhluk tak jelas macam Dareen.

Dareen hanya diam, memilih menulikan telinganya. Tak ingin mendengar ocehan gadis berambut pirang di sebelahnya. Tak akan ada habisnya. Tak akan selesai hingga kapanpun. Dareen memang sengaja datang kesini, biasanya ia datang menginap disini ketika liburan musim panas. Namun kali ini, entahlah. Dareen hanya ingin melepaskan penat dengan melarikan diri dari tugas kantornya yang menumpuk kesini.

Kemudian Suasana menjadi hening. Tak ada satupun diantara mereka yang berbicara. Tak ada juga yang berniat membuka pembicaraan. Akhirnya Dareen mengalah.

"Paman Neil kemarin malam menghubungiku. Menanyakan kabarmu, katanya kau tak pernah mengabari mereka beberapa tahun ini"

Aella masih diam, tak berminat membalas apapun.

"Kata bibi Luna, jaga kesehatanmu. Jangan terlalu sering memesan makanan dari luar, jangan banyak makan yang instan juga—"

"Mereka masih peduli? Lucu sekali"

Kali ini Dareen yang diam. Ia merasa bersalah karena tak seharusnya membicarakan tentang keluarga Neil yang terpecah. Kejadian ini sudah lama sebenarnya. Saat dimana Neil—ayah kandung Aella tiba tiba pulang membawa seorang wanita yang tengah mengandung. Neil bilang, ia dan wanita itu—namanya Helia sudah berhubungan sejak tahun lalu. Tentu saja hal itu membuat sang ibu—Luna murka. Hari itu juga, Luna memutuskan untuk pergi dari rumah itu. Ia tak sudi jika harus tinggal bersama wanita lain yang telah merebut suaminya.

Neil hanya diam membiarkan. Tak bertindak apapun. Ia juga marah, marah ketika Luna memaki Helia dengan sebutan jalang. Mereka bertengkar hebat didalam kamar. Terdengar beberapa suara benda pecah dari dalam sana. Sementara Helia, wanita ular itu hanya diam menunduk dengan sesekali mengelus perut besarnya. Tak tampak setitik pun rasa bersalah diwajahnya.

Aella saat itu sudah memasuki usia remaja, kalau tidak salah saat itu usianya menginjak 15 tahun. Ia menyaksikan semua itu di balik tembok dapur. Bersembunyi dalam pelukan Dareen.

Yang membuat Aella muak bukan hanya karna Neil yang membiarkan Luna dan lebih memilih Helia. Tapi karena kedua orangtuanya sama sama tak ada yang mau merawatnya. Ibunya menolak, bilang bahwa ia tak ingin mengurus lagi anak dari Neil. Sementara Neil menolak karena Helia tidak ingin tinggal di rumah ini, dan Neil tidak boleh membawa siapapun dirumah barunya nanti. Tak ada pilihan, karena Helia akan mengancam dengan membunuh janin dalam perutnya jika Neil tak mau mengikuti kemauannya.

Hingga akhirnya dirumah besar itu hanya tersisa Aella dan Dareen. Mematung menyaksikan bagaimana ayahnya membawa koper-koper besar kedalam mobil. Aella menahan tangisnya. Ia sudah terlanjur terluka. Air matanya mengering.

Neil meminta sedikit waktu agar ia bisa bicara sebentar dengan Aella. Helia hanya mengangguk membiarkan. Neil langsung memeluk erat buah hatinya seraya sesekali mencium pucuk kepalanya diselingi kata maaf. Aella tak membalas. Wajahnya datar. Tatapannya tajam. Tubuhnya bergetar menahan sesak yang sedari tadi dirasa.

"Pergilah. Aku tak butuh kau Neil. Kau bukan ayahku"

Hal tersebut sukses membuat Dareen dan Neil membulatkan matanya, terkejut. Tapi Neil mengerti, sangat mengerti bahwa saat ini putrinya sangat membeci keadaan. Sangan membenci presensinya. Membenci Helia. Membenci Luna. Membenci semuanya.

"Paman, A-aella akan bersamaku. Paman tidak usah khawatir" Dareen berusaha menenangkan Neil yang raut wajahnya masih terkejut. Aella lalu menarik lengan Dareen agar menjauh dari tempat tersebut. Meninggalkan Neil dan keluarganya yang telah hancur.

"Kau .. baik baik saja?"

Bayangan kejadian masa lalu itu menghilang begitu saja ketika Dareen mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Aella. Gadis itu mengerjapkan matanya pelan setelah sadar bahwa sedari tadi ia melamun. Mengingat kembali rentetan masa lalu yang membuatnya muak.

"Dareen … apakah aku salah jika sampai detik ini masih membenci mereka?"

Yang ditanya menghela nafas. Jujur saja jika Dareen juga bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa dan menjawab apa. "Entahlah, tapi tak ada salahnya untuk mencoba memaafkan bukan? Atau setidaknya .. cobalah untuk mengabari mereka sesekali. Paman dan bibi sudah tua, mereka juga menyesali keputusannya saat itu. Menyesali kenapa mereka dulu egois, tidak memikirkan perasaanmu"

Aella hanya diam mendengarkan. Topik ini sudah berungkali mereka bahas. Kalau dihitung, sudah 7 tahun ia melarikan diri dari rumah. Tak berniat kembali. Tak ingin bertemu dengan siapapun, entah itu ayahnya, adik tirinya, ibunya, ibu tirinya, kakak tirinya. Ia hanya memiliki Dareen sekarang.

"Mungkin lain kali akan kucoba."

Dareen tersenyum kecil mendengarnya.