Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

EVANESCENT

MuhamadIqbal408
--
chs / week
--
NOT RATINGS
29.9k
Views
Synopsis
Ini bukanlah kisah hebat tentang peradaban yang diambang kehancuran. Bukan pula kisah indah pada roman picisan, melainkan kisah sederhana tentang pertemuan, teman, perbedaan, dan hal sederhana lainnya yang diramu dengan taburan romansa. Sekali lagi, ini hanya kisah sederhana—tentang sesuatu yang sejatinya tak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Satu hal, mungkin ini kisah tentang kesalahan, dan keterikatan.
VIEW MORE

Chapter 1 - 1. Perkenalan Kelabu

Langit tak berbintang memang sejatinya sebuah pemandangan biasa di kota besar, hingar bingar kehidupan malam, wajah lelah para pekerja yang ingin segera bahagia dimasa pensiun, itu selalu menjadi aksen pengisi kota. Tak terhitung dan tak terhingga memang, jika banyak tawa, senyum, tangis yang keluar ditiap penjurunya. Tertawa dalam kesederhanaan, menangis dalam kehidupan hedonisme, hal yang terlihat rendah disyukuri, pun yang terlihat tinggi disesali. Ideologi kian semu kini.

Lupakan soal diatas, jangan terlalu berlebihan akannya—kisah sederhanaku akan dimulai. Kisah ketika sebuah perbedaan dianggap tabu, kisah ketika kepintaranku masih dilihat dari nilai matematika, namaku Gray—anak biasa yang kebetulan memiliki keunikan yang payau dimata orang. Tidak mampu menyesal akan takdir, terhinakan sepanjang hidup.

Ini aku, kisahku—sang kelabu yang diberi warna baru.

***

Ditahun saat tsunami Aceh terjadi—pada hari yang tengah berkabung penuh ketakutan itu, seorang anak lahir di kota besar. Bisa dibilang, kabar lahirnya tidak terlalu menyenangkan. Bayi sungsang yang memberi rasa sakit mendalam pada sang Ibu, sakit secara jasmani. Hingga datang kabar bahwa Ayah dari bayi itu ditemukan tewas saat terjadinya tsunami. Ya, itu sakit secara rohani.

Sang Ibu menangis sendu sampai hampir lupa dirinya masih merasakan sakit sehabis melahirkan. Bidan datang kembali, menggendong bayi dan diberikannya pada sang Ibu. Kelahirannya sungsang, tapi bersyukurlah ketika bayi itu normal tak terlalu banyak yang aneh padanya. Kulit yang masih merah, menangis dalam tangisan Ibunya. Dengan bahagia yang dipalsukan, sang Ibu mencium dan tersenyum lembut.

"Namanya? "tanya sang bidan yang sejujurnya turut prihatin saat tahu sang bayi menjadi yatim sejak lahir.

Sesaat, wajah sang Ibu melamun bodoh dan tersenyum bingung mencari nama. Ia meminta diambilkan sebuah buku catatan yang dibawanya. Habis sudah dilihat-lihat daftar nama anak laki-laki yang ia tulis dengan suaminya bulan lalu. Buku setebal telepon genggam jadul itu berisi banyak nama. Lebih dari seratus yang dideskripsikan artinya.

Namun, kala itu langit kelabu. Seakan berkabung akan hilangnya banyak nyawa di sana. "Kelabu terlalu suram untuknya—meski terdengar estetik untuk nama."

Bidan itu diam dan tersenyum simpul, "jikalau nama itu terdengar suram—gunakan saja yang lain." Saran dari bidan itu tentu dipertimbangkan. Jujur, bidan itu merasa tersayat hatinya, pun dirinya sedikit senang bisa melihat Ibu yang habis ditinggal suaminya ini mampu memasang wajah bodoh saat memilih nama.

"Gray, itu berarti kelabu. Tapi, setidaknya itu berarti anak ini memiliki hati yang teguh dan kuat walau dunia sudah kelabu. " Nama yang sederhana, walaupun terdengar ke barat-baratan. Namun ada hal yang ia lupakan.

"Nama panjangnya?" tanya bidan menyelidik. Dalam satu detik, Ibu itu kembali memasang aajah bodoh dari wajah sendu.

"Gray saja boleh? Itu supaya dia tidak terlalu lelah menghitamkan bulatan berhuruf saat mengisi nama untuk ujian di sekolahnya kelak. " Bidan itu tertawa, padahal dirinya berpikir nama yang pendek itu baik agar gurunya tidak kesusahan saat menulis nama siswanya di ijazah—atau agar cepat menulis namanya dipiagam penghargaan.

Ya, itu adalah kisah sederhana dan bodoh saat aku lahir. Ibu yang bercerita tentang itu, sampai sekarang bidan itu masih akrab dengan Ibuku. Aku senang karena ia selalu memberi permen yang sejatinya membuat gigiku berlubang.

Walau, beberapa hari setelah lahir—saat mataku benar-benar terbuka, semua sadar bahwa nama "Gray" memang paling cocok untukku.

Mata bayi itu sudah bisa terbuka, semua takjub sekaligus bertanya-tanya tentang warna matanya. Matanya kelabu, sebagaimana namanya. Nampak indah, dingin dan penuh pertanyaan. Pamanku sendiri yang notabenenya sebagai ahli mata menjelaskan, matanya berwarna abu bukan berarti ada kekuatan super atau hal seperti di film superhero kesukaan Ibuku—bukan pula itu adalah anak hasil dari benih lelaki lain selain almarhum suaminya.

Khayalan mereka terlalu tinggi, padahal sebenarnya itu karena kurangnya melanin di selaput mata. Juga karena rendahnya protein yang dimiliki stomata. Semua ber-oh ria mendengarnya, sebagian langsung mencari tahu tentang maksud dari kerabatnya itu. Bagaimanapun juga, Ibunya menganggap itu anugrah. Nama Gray dengan mata kelabunya, mulai dikenal satu RT, dan mentok sampai satu RW.

Itu aku, saat lahir dan menjadi bayi. Lalu, apakah kisah sederhanaku memang kelabu? Mungkin memang begitu yang kurasa saat menginjak umur enam tahun. Tepat ketika aku mulai bisa mengingat banyak hal.

Terjadi sebuah kecelakaan dekat TK tempatku sekolah. Truk pengangkut barang menabrak pengguna sepeda motor yang ngebut bagai pembalap handal. Saat itu langit kelabu, aku tengah dalam perjalanan pulang dari TK. Terjadi di depanku saat itu juga, dalam kecepatan mengerikan si pengendara motor terseret jauh oleh truk yang hampir terguling karena rem dadakan. Bagian depan truk dan keseluruhan motor rusak parah.

Tapi, bukan itu yang membuat semua orang menjerit ketakutan. Tubuh pengendara motor sudah tak karuan bentuknya—bersimbah darah terjepit ban besar. Mataku terbelalak dan tubuhku gemetar, langkah seribu kuambil sambil menutup mata. Saat itu aku belum sadar jika berlari tak karuan sanbil menutup mata adalah hal buruk. Bukannya menjauh aku justeru mendekat dan terpeleset oleh cairan yang membuat aspal licin. Banyak suara teriakan melihatku terjatuh.

Tubuhku terjatuh keras, membuka mata dan sadar bahwa tubuhku sudah penuh darah dari pengendara motor—mataku tak sanggup lagi. Tepat di depan wajahku, kepala yang terpisah dari tubuhnya itu menganga. Matanya terbuka lebar penuh kesakitan yang tak bisa dijelaskan kata-kata. Perutku mual, kesadaranku mulai pudar. Semua membawaku menjauh dan saat bangun kondisi kejiwaanku selalu diperiksa.

Matanya terngiang, aroma darah dan suara hancurnya tulang. Bisa diumpamakan, itu seperti saat truk besar ngebut diantara hujan, genangan airnya terpecah dan tercipratlah tubuh pejalan kaki. Jika genangan air, aku toleransi. Tapi itu darah, trauma menghantui setiap saat. Saat itu pula ada banyak hal yang kuketahui, sekiranya itulah pembuka dari kisah sederhanaku yang dipenuhi hal ganjil dan suram.

Masih masuk akal, namun keberadaanku yang membuatnya tak masuk akal. Duniaku seakan kelabu, tahun-tahun berlalu memberi banyak pengalaman suram. Setidaknya, aku selalu bersugesti jika kisah hidupku masih sederhana—tidaklah sesuram atau secerah orang diluar sana. Ada yang bahagia dengan kekayaannya, ada yang menangis lebih bahagia saat mereka akhirnya mendapat makanan setelah beberapa hari.

Pun, kisah hidupku bukan diisi oleh kehidupan hedonisme, bukan pula kisah tentang orang miskin yang mampu bangkit dan membuktikan bahwa dirinya bisa menjadi hebat dalam berbagai aspek, boleh jadi ini hanyalah kisah yang sebenarnya sulit kujelaskan dengan kata-kata.

Kisah sederhana, diisi warna kelabu dan ternoda merah yang bukan berkesan pemberani tapi berkesan kejam. Kisah yang berusaha diisi oleh warna lain selain kelabu dan merah darah, dengan aksen candaan juga serbuk romansa yang kuharapkan ada.