Chereads / EVANESCENT / Chapter 3 - 3. Lembar Berikutnya

Chapter 3 - 3. Lembar Berikutnya

Fajar tiba, terulur hingga siang. Berjalan hingga petang, sang senja kian menyingsing dan dipeluk malam. Setidanya itulah yang selalu terulang setiap harinya, menuju minggu, bulan, tahun dan sampai batas waktu—sebut saja kiamat. Sudahlah, toh ini bukan kisah rumit tentang hancurnya peradaban—jangan jauh-jauh ke peradaban, bahkan kisah tentang hancurnya kehidupan seorang saja sangat sulit diungkapkan oleh kata-kata.

Bangunan empat tingkat dengan berbagai jenis pepohonan rimbun di depannya sudah berada dihadapanku pagi ini, cuaca dingin dan memang sedang musim hujan pula. Sedikit berkabut, dengan waktu yang masih pukul enam pagi beberapa murid termasuk diriku yang cukup rajin datang cepat dihari pertama sekolah hanya duduk manis walau sebenarnya lebih masam dari cuka.

Ya, jika dipikir mungkin pemikiranku sudah seperti orang dewasa yang tengah dililit hutang, tapi aku sebenarnya masih atau baru menginjak pendidikan SMP. Kata "Ibuku" aku memiliki wajah cukup rapih untuk seukuran orang Asia yang kerjaannya rebahan. Dia lebih senang menyebut rapih ketimbang tampan—bahkan untuk anaknya sendiri. Cantik atau tampan itu relatif, jadi wajar saja Ibu berkata seperti itu.

Pagi ini, hanya aku sendiri atau mungkin berdua yang tidak didampingi orang tua saat hari pertama. Belum terlihat wajah yang kukenal, dan itu memang alasan utamaku memilih sekolah yang jauh, asal nilai ujian akhir tinggi—kuhempas belenggu sistem zonasi ini dan bisa memilih sekolah jauh.

"Pagi, "sapa singkat seorang gadis berambut pendek sebahu yang menatap lurus ke atas pohon. Kupikir dia menyapa seseorang di pohon, padahal sejatinya itu padaku yang disebelahnya. "Gray, kau senang sekolah disini."

Alis kananku terangkat, dari mana pula ia tahu namaku? "Maaf, apa kita pernah kenal?"

Dengan lembut tangannya menyentuh dadaku, ia menunjuk namaku yang terpampang jelas pada seragam SD yang kupakai. "Lagipula, kita pernah kenal. Atau aku saja ya?" barulah ia menatapku saat percakapan kami berakhir dan tanpa sadar sudah ramai sekali sekolah ini oleh anak kelas tujuh. Panitia OSIS yang bertugas untuk masa pengenalan sekolah langsung sibuk membariskan kami yang sejujurnya sangat bandel dan sulit diatur—kebiasaan SD.

Untuk apa pula aku menceritakan masa pengenalan sekolah itu, tak ada yang menarik seperti pada novel roman picisan. Bertemu senior dan menjalin cinta, adegan saling tatap saat sang perempuan terjungkal dan dipegangi pun tak ada. Adanya hanya adegan saat kami duduk manis di ruang aula demi mendengarkan sambutan yang lebih terdengar seperti jam pelajaran dari para guru.

"Lama nian ku menunggumu Gray, "gadis hari pertama sekolah itu menghampiriku. Tatapannya dingin namun sebenarnya mengarah pada sejuk. Senyumnya tipis namun sedikit menyeringai.

"Apa yang kau tunggu?" sampai saat ini sendiri aku tak tahu namanya. Seragam SDnya memiliki rompi dan tak tercamtum nama di sana. Seragam SMP sendiri masih polos hanya berisi logo OSIS karena memang belum ditekan untuk mengikuti semua aturan.

"Untuk nama yang kau pikirkan, namaku Arisa Terra—panggil saja Ari, Risa, Sasa, Teler, Ara, Rara, Era. Ah, entah berapa banyak nama panggilanku ini. Jadi terserah."

Malas berurusan, aku berusaha tersenyum dan berharap pamit saja. Entah kenapa banyak yang menatapaku di sekolah ini, mereka tersenyum tak jelas saat kutatap balik. Aku curiga mereka tahu banyak gosip tentangku saat SD. "Arisa, aku pergi dulu," dengan wajah memelas aku pergi, meski aku tak yakin tadi aku menyebutnya 'Arisa' karena sejauh ini perapalan abjad 'r' dengan 'l' seringkali tertukar.

Sepanjang perjalanan di lorong, banyak yang berbisik tentang mata kelabu. Entahlah, tapi perhatianku lebib terfokus pada hal-hal tak jelas dan menyebalkan lainnya. Misal gadis berambut panjng di toilet laki-laki, aku curiga dia mati saat melakukan hal buruk di sana. Ngomong-ngomong, penglihatanku tentang hal seperti itu seringkali aktif. Bahkan sekarang aku diikuti mereka yang menhelamatkan hidupku.

"Merasa nyaman disini? "tanyaku pada mereka. Tak ada respon, karena Sarah sedang berkutat degan rambut dan jidatnya yang berlumuran darah. Sementara yang lainnya mepayang tak jelas di kelasku. Sejauh ini, yang belum pernah menunjukan wujud asli atau bisa dibilang wujud saat tewas adalah Pim, dia menolak dan tidak ingin aku takut. Benarlah jika yang tewas paling mengenaska adalah dia.

"Grey, aku tak menyangka kau setinggi ini, "Pim cemberut dan membandingkan tingginya denganku. Lucy langsung menggela nafas dan merasa bodoh kala itu. "Kau saja yang mati terlalu cepat, jadi masih cebol."

Pendapat Lucy yang sarkas memang benar, untungnya Pim tak terganggu denga hal itu. "Sudahlah, jangan bertengkar. Seperti anak kecil saja." Secara fisik mereka memang masih anak-anak kecuali Sarah yang tewas saat kelas enam—tidak beda jauh dengan teman kelasku fisiknya. Tapi, pada dasarnya kami berumur sama dan mereka sendiri cukup menerima takdir—mungkin.

Percakapanku berakhir ketika Arisa yang entah sejak kapan sudah duduk manis di kursinya. Kedatangannya selalu tak terduga, jaranglah ada yang sadar. Boleh jadi dia sudah menganggapku gila karena melihatku bicara sendiri.

"Tak kusangka, Arisa tambah cantik. Padahal dulu biasa saja," malas memberi respon bicara aku memberi kode pada Beny yang seakan sudah kenal lama dengan Arisa. Sejak kapan dia tahu bahwa dulunya biasa saja? "Aku tewas saat kelas lima—semester akhir. Arisa sekelas dengan kita saat awal kelas lima, entah dia yang tidak mencolok atau kau saja yang tidak memperhatikan sekitar."

"Jika bisa, aku ingin memberi salam kangen padanya," tambah Sarah, maafkan kebodohanku ini yang tak sadar jika Arisa sudah sekelas denganku sejak SD. Jujur, alu merasa bersalah atas pernyataan Sarah yang ingin memberi salam kangen. Dia mati karenaku juga kan?

Saat aku tengah sibuk mendengar percakapan teman-temanku ini Arisa menoleh dan tersenyum padaku. "Tidak ikut mengobrol?" tanyanya yang lantas pergi begitu saja. Teman-temanku ini terpaku seketika. Logika kami diuji, pertama Arisa sendiri yang bukan berarti mengajakku mengobrol dengan kawannya. Lalu, yang tengah bercakap ria hanyalah mereka—para korban kutukanku.

"Semasa hidup dan mati, penglihatanku normal. Apa aku salah lihat? Arisa tersenyum bukan pada Grey saja. Tapi pada kita. " Ya, itulah kenyataannya. Tatapannya seperti iba dan sedih, tatapan saat melihat teman sekelasnya tewas.

***

Hari yang cerah atau terlampau cerah untuk olah raga, dan itulah jam pelajaranku sekarang. Pagi ini teman-teman hatuku entah kemana, atau bahkan aku menginginkan mereka cepat tenang dari dunia ini. Sejatinya mereka bingung dengan urusan apa yang belum mereka selesaikan. Kecuali Ardie yang ingat bahwa dia tewas saat hari ia belum mengumpulkan PR dari Bu Erna—memang hal itu bisa jadi alasan mati tak tenang?

Kelas sudah dimonopoli siswa laki-laki yang hendak ganti baju, perempuan tentunya mencari aman dan langsung ke toilet. Ricuh memang, walau aku beruntung mendapat teman sekelas yang pikirannya masih logis walau konyol. Mereka tidak urakan—setidaknya tidak terlalu. "Cara ganti bajumu seperti perempuan," Ren datang dengan telanjang dada.

"Kau pernah lihat perempuan ganti baju? Sampai tahu caranya, "skakmat, itu bukan tanggapanku tapi itu memang membelaku. Ren langsung membantah dengan wajah memerah macam kepiting rebus. "Tak ada larangan juga memang, kau mungkin belum terbiasa."

Ren yang kelulapaan menyimpan baju olahraganya diam sejenak. "Grey pasti malu," dia memang peka untuk hal tak penting. Sejauh ini aku memang masih introvert dan jarang berbicara, hanya Ren saja mungkin yang berisik walau tak dapat respon—orang tabah. "Kelas ini beragam, dari yang kulit hitam sampai putih sepertimu ada—kecuali glow in the dark." Apaan itu? "Dari yang gemuk ke sangat gemuk, kurus ke kurus kering saja ada." Bisa dibilang, yang memiliki proporsi tubuh ideal seperti tokoh film atau novel hanya ketua kelas kami—William.

Malas mendengar penjelasan panjang lebar, aku mengalah dan melepas seragam. Kulitku sangat putih untuk ukuran laki-laki—bukan cuma genetika, tapi karena aktivitasku sebagian besar rebahan. Komposisi tulangku tebal, dengan sedikit daging yang membuatku aman dari incaran singa lapar. "Puas?" tanyaku pada Ren.

Barangkali, olahraga terasa membosankan dan aku lebih memilih banyak diam saja. Bintangnya adalah Arisa, dalam hal basket ternyata ia hebat. Gerakan lembut namun lincah, bahka aku tak sadar jika ia sudah melakukan slam dunk—lompatannya sangat tinggi dan hukum gravitasi seakan kurang berlaku padanya.

Walau, sekilas mataku seakan melihat kepakan sayap ketika ia melompat. Bagai malaikat, namun ia manusia yang bahkan hatinya tak pernah menentu. Sungguh hari membosankan yang cukup berwarna, tapi kurasa sisi gelapnya baru akan dimulai.

Untum ketujuh kalinya, mungkin ini pebih buruk. Mirip seperti dulu, pandangan orang-orang berubah. Agaknya, hanya Arisa yang tahu dan paling paham akan fakta dan realitas.

Kala sore yang tentram, bola basket di tangan kami dipantulkan. Hanya kupu-kupu—makhluk hidup selain kami dan pepohonan yanh benar-benar mengetahui fakta. Walau mungkin, Arisa lah kupu-kupu itu.