Mataku terpejam, entah untuk berapa lamanya kedepan. Merasakan tekanan air dan menahan nafas. Sesaat, nyawa serasa berada di ubun-ubun dan hendak menerobos keluar ketika memaksakan diri untuk berkutat pada aktivitas tak jelas ini. Dalam tekanan, riak air rasanya tak terdengar namun begitu tajam. Sedikit saja membuat diri tak kuat, serasa akan terombang-ambing ombak di Samudera Atlantik.
Kini tubuhku mengambang sempurna di permukaan air—tak jauh seperti katak atau mungkin dedaunan yang jatuh dari pohonnya. Mengambang dan tetap tenang. Air kolam terasa dingin, dengan pemandangan awan putih cerah dan langit biru sempurna.
"Tidak lelah? "suara yang sedikit kukenal bertanya. Diamlah sebagai jawaban simpang siur antara ya dan tidak. Hari ini adalah hari Sabtu, sebetulnya sekolah libur. Hanya kadang kaum rebahan sepertiku tiba-tiba ingin berenang dan menumpang di kolam sekolah. "Aku ikut," orang itu menanggalkam pakaiannya dan menyisakan celana pendek. Lantas melompat kencang, air tenangku menjadi ricuh.
"Ada apa? "tanyaku singkat. Sungguh malas berurusan dengan Hassan. Hampir setiap bertemu ia mengajakku menjadi pengurus OSIS, mana mungkin aku mau. Dengan hanya rebahan di kolam sekolah saja sudah cukup membuktikan bahwa aku pemalas.
"Tidak, aku hanya ingin ikut," sorot matanya menunjukkan ekspresi yang sulit dimengerti. Entah emosi apa yang tengah ia rasakan kini. "Aku ingin bertanya, apa aku aneh?"
Pertanyaan yang paling kubenci, mengenai penilaian terhadap manusia. "Mungkin tidak terlalu, secara fisik kau memenuhi standar. Wajah tidak buruk mungkin, dengan kulit sawo matang cerah, tatapan cukup tegas, dan—" entahlah. Aku menjelaskan jika secara fisik ia sangat normal, tidak kurang satupun anggota tubuh. Tubuh tegap, tinggi berisi. "Kurang lebih begitu."
Kepalanya menggeleng pelan, "bukan secara fisik saja."
"Dalam beberapa aspek kau aneh, "sekiranya itu adalah pendapat salah satu teman kecilku—aku menyalin ucapannya. "Apa kau senang, terikat dengannya?" tanyaku sambil melirik ke sudut kolam tempat gadis bergaun putih kumal yang tengah bermain air. Kulit pucatnya sangat kontras dengan air.
Terlihat Hassan menghela nafas dan naik ke permukaan lantas berbaring asal menatap langit. "Ketahuan ya. Entahlah, tapi dalam satu sisi ini seakan akulah yang menyebabkannya mati." Sorot matanya sendu, kata "mati" memang kurang baik untuk manusia. "Kau sendiri, bermain dengan mereka. Apa kau mengekang jiwa mereka?"
Tentu tidak mungkin, sejarahnya saja saat kutanya satu persatu alasan mereka selalu sama. "Kami ingin melihat kau," entah melihat apanya. Melihatku sedang mandi? Bahkan Sarah sering muncul tiba-tiba di toilet. Mereka tak terganggu denganku yang sudah mulai meninggalkan mereka secara fisik. Lalu, apa mereka ingin tahu bagaimana aku mati?
"Mungkin, mulai sekarang aku menyebutnya kutukan ya. Aku, bisa dibilang membuat jiwa orang terdekat menjadi terkekang saat mati. Sekalipun kami sudah ikhlas, tapi mereka masih tertambat. Tanpa alasan, dan sulit jauh dariku. Ya, itu bukan hanya Kakak perempuanku saja. "
Untuk ukuran ketua OSIS panutan yang biasanya selalu rasional, aku merasa itu sedikit lucu walau benar. Barangkali kutukanku adalah membuat orang yang berada di sekitarku tewas tak wajar. Kalau begitu, aku tak perlu menyangkal atau merasa tidak enak ketika disebut anak terkutuk. "Kalau aku?"
"Kau? Entahlah. Aku merasa kau bukan aneh, tapi hanya berbeda. Mata kelabumu, sudah cukup menjadi simbolis bahwa kau orang yang unik. " Hassan duduk kembali di tepi kolam, matanya menatap Kakak perempuannya yang bergaun kumal. "Kau dingin kurasa, tapi itu pasti kau lakukan karena kau takut ada yang mati."
Meski hanya pendapat, tapi itu memang benar. Jika aku menjadi orang yang senang membaur dan seperti Hassan—boleh jadi kami satu sekolah setiap harinya harus berdo'a bersama atas kematian seseorang. "Mungkin."
Angin sepoi-sepoi mengelus kulit yang membuatku cukuo dingin. Dedaunan pohon berterbangan dan menghalang pandangan. Sesaat, kami menutup mata hingga angin berhentu. "Aduh-duh, berenangnya pasti menyenangkan?" suara ini. Untukku yang terbiasa tidak terlalu terkejut dengan kemunculannya yang tiba-tiba. Sementara, Hassan menampakkan raut wajah kaget. Arisa duduk di atas pohon sambil tersenyum. Rambut pendek sebahunya bermain dengan angin.
Apa ada kuntilanak berambut pendek macamnya? "Ah, ternyata kau ya. Sejak kapan?" tanya Hassan memastikan. Aku ragu dengan jawaban Arisa.
"Kapan ya? "ia tersenyum sambil memiringkan kepala. "Baru saja, ya sekitar beberapa menit lalu." Inilah yang kupertanyakan, Arisa itu spesies apa? Ia datang dan pergi tiba-tiba. Melalui tempat tak logis. Sangat cepat, lembut, dan tiba-tiba saja. "Pembicaraan kalian cukup menarik, aku turun dulu," Hassan dan aku langsung terperanjat karena menyangka Arisa akan turun langsung ke kolam dengan baju kasualnya. Ya, itu benar. Tapi tidak sepenuhnya.
"Hap-hap! " konsep gravitasi seakan dirusak. Ia melompat tepat ke kolam—cepat namun seakan perlahan. Ujung kakinya menapak langsung ke daun yang mengambang. Dengan kecepatan aneh ia memijaki daun mengambang dan langsung melompat ke luar area kolam. "Aduh-duh, kalian pasti berpikir aku ikut berenang dengan baju ini."
Senyum anehnya mengembang, angin bertiup dan dedaunan terhempas menambahkan kesan dramatis. Sorot matanya lembut sekali. "Bahkan, gadis gagal menikah itu menatapku heran ya?" sesaat Hassan merasa geram. Namun kami sadar, jika Arisa bahkan lebih aneh. "Grey, kau saja tak peka. Padahal, sejak awal aku melihat semua temanmu—temanmu juga tak peka ya?"
"Ketimbang kutukan, kenapa tak disebut anugerah? " menurut Arisa ini anugerah karena langka dan tak jelas. "Jika Tuhan ingin, mungkin dunia sudah bisa seperti film fantasi kan? Tapi, dengam begini, dunia menjadi seimbang. Yah, kebetulan saja kita dan orang-orang di luar sana yang memilikinya."
***
Kamarku terasa pengap, memikirkan kalimat Arisa. Bahkan, ia sudah tahu banyak hal sejak kecil. Kutukan—anugerah yang ia miliki, mengurangi batasan antara eksistensinya sebagai manusia dan hantu. Pantas, ia selalu muncul tiba-tiba di tempat tak masuk akal dan hal aneh lainnya.
Hassan, mampu mengikat jiwa orang yang mati. Dengan syarat, orang itu harus orang dekatnya. Aku tak ingin terlalu berurusan atau menjadi sahabat karibnya kalau begitu. Bisa-bisa aku selalu tertambat dengannya setelah mati. Parahnya, Hassan tak tahu cara melepasnya. Ia hanya bisa memaksa jiwa-jiwa itu merasukinya sesaat. Aneh dasar.
Lalu aku, menurut pengamatan Arisa sejak SD. Ini mirip seperti rumor tentangku, menyebabkan kematian pada orang sekitar. Jika orang tersebut tak punya penyakit, maka kecelakaan akan membunuhnya. Paling suram, tak ada keuntungan dalamnya. Lalu mata kelabu ini, mampu melihat hal lain—setidaknya itulah tebakan Arisa. Entah apa hal lain yang bisa kulihat. Belum pernah aku melihat benda mikoskopik dengan mata secara langsung tanpa bantuan mikroskop atau melihat fotonya.
Tapi, seingatku semua itu ada bayarannya. Arisa bilang bayaran miliknya adalah harus membunuh hewan setiap minggunya. Entah dari mana ia tahu itu, ia tak mau bilang. Hassan, ia mengaku sendiri jika tak jadi pemimpin maka ia akan sakit-sakitan. Minimal, ia jadi ketua kelas. Namun, karena kebiasaan maka ia kebablasan jadi ketua OSIS.
Diantara mereka, aku juga tak logis. Sangat. Bayaran yang kudapat adalah tidak bertambah gemuk, atau berat badanku tak bertambah. Sebanyak apapun makan, beratku tentu bisa bertambah dengan syarat menjadi sanksi kematian. Satu kematian per kg. Dengan kata lain, nyawa mereka bagaikan nutrisi. Itu kejam.
Kebetulan, rentang kematian itu cukup lama. Meski tak menentu. Dengan tubuh terlalu tinggi untuk anak SMP kurasa—170 cm dan berat hanya 50 kg, membuatku termasuk kategori kurus, mungkin sangat. Lupakan hal itu. Lebih baik aku berkutat dengan buku pelajaran. Waktu tak akan terasa, serasa dalam hitungan detik aku akan SMA.
Boleh jadi, nanti aku akan menemukan hal tak logis lainnya.