Hujan, normalnya hanyalah peristiwa air yang jatuh dari langit. Meski pada era ini hujan seakan suatu kata penuh makna yang entah kenapa mengarah pada patah hati, atau kesenduan itu sendiri. Setengah semester bersekolah di SMP ini sudah cukup untukku mendapatkan julukan tak jelas. Macam "lelaki hujan" yang mungkin diarahkan padaku karena wajahku terkesan muram. Hujan memang menenangkan, tapi lain lagi jika hujan badai—tak tenanglah diri untuk rebahan menikmati mie instan dan alunan lagu sendu.
Itulah aku, selalu tenang yang bahkan berkesan bodo amat. Meski sejatinya, hujan badai itu baru dimulai sekarang.
***
Tepatnya sekarang adalah hari kedua ujian tengah semester. Meski sedang hujan tapi seisi kelas seakan berasap dan mengeluarkan hawa panas dari kepala. Hari kedua, pelajaran matematika yang penuh kegelapan dalamnya. Walau sejatinya bagiku ini tidak terlalu memusingkan. Mengerjakan soal mudah terlebih dahulu, lantas soal sulit diakhir. Ajaibnya hampir semua soal mudah.
Jangankan ada yang menyontek, bisa dibilang seisi kelas tengah bingung dan jika kau menyontek nomor satu, niscaya temanmu juga tengah menyontek nomor satu itu—dalam hawa panas pun Arisa berdiri dan tersenyum ramah bagai malaikat. Guru pengawas mengerti dan mengambil lembar jawabannya.
"Gray, "bisik Gerald yang memberi kode angka melalui tangan. Nomor 30, untungnya aku tahu dan memberi kode abjad padanya. Wajahnya sumringah senang.
"Kau terlalu baik," suara halus dari makhluk halus bernama Sarah membuat tengkukku dingin seketika. Meski terbiasa, tapi rasanya tetap tak enak jika mereka tiba-tiba bicara di telinga. "Hari ini, aku merasa akan terjadi hal buruk."
"Aku juga merasa begitu, "sebagai jawaban, aku menulis kalimat itu di kertas berhitungku. Merasa jengah dengan suasana kelas, aku menyelsaika ulangan dan pergi keluar kelas. Di lorong, Arisa sudah ada dan menatap langit.
"Kurasa, mereka juga tak suka hujan," entah siapa yang Arisa maksud. Tapi sejauh ini, pandanganku cukup terganggu. Banyak yang berkeliaran di lorong ini, termasuk Sarah yang duduk di pojokan lorong—bersama Pim. Mereka terlihat seperti adik dan kakak. "Lihatlah," Arisa menunjuk kupu-kupu di luar. Terbang dengan susah payah, huja membuatnya kesulitan walau ia nampak tak menyerah.
Beberapa temanku yang sudah selesai keluar, sesaat terpikir tentang suasana hujan, dan tangga—mengingatkan pada adegan mencekam. Hanya kurang payung saja—jangan sampai terjadi. Dalam keheningan, Gerald keluar dan selebrasi ria karena merasa bebas. Kelasku berada di lantai satu ini, membuatnya mudah untjk berlari ke lapangan untuk bersorak dalam hujan badai.
"Hati-hati! "teriak Lia yang nampak khawatir. Aku menyusul dan baru selangkah mendekat kilatan cahaya langit membiyarkan pandangan. Silau, dan suaranya sungguh memekakkan telinga—dan sangat dekat. "Akhh!" teriak Lia dan banyak pula yang berteriak. Sesaat, tercium aroma daging masak yang membuatku curiga. Sebelum membuka mata, Lia berteriak ketakutan.
Mataku terbelalak melihat sesosok yang telah kaku dan hangus. Masih berdiri dan terjatuh begitu saja—aroma masaknya sunggu pekat dan membuat semua panik. Dalam jarak sepuluh meter dariku—Gerald hangus tersambar petir, kulit melepuh yang menunu hangus. Matanya terbuka lebar bersama mulutnya. Ia telah tewas, tepat di depanku—mata kelabuku terbelalak.
Detak jantung memburu, kematian di depan mata. Terulang lagi, dengan begini—pernytaan tentang angkatanku di SD yang terkutuk terhempaskan.
Sejauh apapun aku pergi, kematian seseorang sulalu kulihat. Bukan hanya setahun sekali, satu semester ini sudah terjadi beberapa kali. Entah itu teman sekelas, seangkatan, kakak kelas, bahkan pejalan kaki yang berada di dekatku tewas mengenaskan. Entah berapa kali pula seragamku terkena semburan darah. Mereka tewas, sebagian besar menghantui.
Aku memang terkutuk, bahkan semua menyalahkanku. "Malaikat maut kelabu" adalah sebutannya. Apa selanjutnya keluargaku sendiri? Tapi hebatnya, sejauh ini reaksi Arisa hanya bodo amat. "Mati hidup, urusan Tuhan. Mana ada manusia yang tahu. Dikata ini film!" ketusnya saat memaksa untuk menemani jam istirahatku.
"Siapa pula yang percaya, "aku sendiri bodo amat. Tentu jika sendiri aku sudah terbiasa—berteman dan dikeramaian pun sudah biasa. Tak ada bedanya bagiku ini.
Wajahnya tersenyum. Sebagai catatan saja, sedari tadi ia berbicara padaku dari atas pohon. Entah apa yang membuat anak ini selalu datang tiba-tiba, tak tahu arah tiba-tiba berbisik padaku. Wajahnya tersenyum tapi entah kenapa terkesan menyeramkan karena tatapannya yang seakan marah. Idola di sekolahku memang aneh. "Aduhh-duh, kamu tidak kesepian ya?"
"Kanan kiri ada malaikat, apalagi yang membuatku sepi? " ia menepuk jidat. Toh pada dasarnya aku selalu mengobrol dengan teman SDku yang umurnya semakin tertinggal jauh olehku.
Ia tersenyum kecil, dan tiba-tiba loncat dari atas pohon itu. "Bahaya!" namun ia loncat dengan lembut dan mendarat dengan anggun di sebelahku.
"Aduh-duh, walau dingin—kau cukup perhatian ternyata. " Wajahnya sangat dekat denganku, tersenyum seperti senang namun lebih mengarah pada senyum jahil. Meski tak peduli, tapi seakan ada dorongan pada dadaku—karena aku masih normal dan tentunya wajahku pasti memerah.
"Aku pergi dulu," balik kanan bubar jalan—di sekitar pohon lain aku melihat Pim yang terpingkal-pingkal bersama Sarah. Sudah kuduga.
"Hati-hati, sampai jumpa juga untuk yang lain. " Langkahku terhenti, tawa mereka terhenti pula. Untul sesaat aku sadar bahwa Arisa melihat yang lain. Balik kanan lagi, dan soaoknya sudah hilang dalam sunyi.
"Ia melompat—entah terbang kearah jendela lantai tiga," perlu menanjak pohon, lalu sampai ke jendela lantai dua dan melompat lagi—barulah sampai ke lantai tiga. "Terlalu cepat jika kusebut dia manusia."
***
Toilet laki-laki, tempat paling suram sepanjang sejarah hidupku. Selalu bau, pintu yang rusak padahal baru seminggu diganti dan perempuan yang keyakinan sudah mengintip lebih dari ribuan kali. Disinilah aku berada.
Jam pelajaran kosong, semua murid ribut di kelas. Pun di luar kelas. Tatapan mereka marah, benci, jijik kali ini. Dua pasang mata yang menatap sambil berkomat-kamit menghujat. Sesekali memukul, menendang dan menarik kerahku hingga kusut.
"Dasar sialan! Jangan lihat-lihat! " bodoh, sedari tadi mata mereka yang melotot padaku. Salah satu dari mereka mengambil air ke ember kecil. Seperti dugaan dua manusia ini mengguyurku dan melempar embernya ke kepalaku.
"Puas?"tanyaku yang menyeka dahi, darah sedikit mengucur dan tubuhku basah kuyup. Di sudut, perempuan itu seperti menonton drama atau sinetron. Sesekali ia tertawa, rupaku sudah kusut masai. Lebih baik mati memang.
"Setan kau, sudah membunuh banyak tingkah pula! Karena kau! Pacarku mati, " baiklah, perempuan itu tertasa puas sekarang.
Terpancing emosi, aku memukul balik wajahnya. "Peduli setan dengan pacarmu! Kemarin saja kau sudah punya pacar baru. Dasar munafik," mataku melotot dan menendang ulu hati salah satu dari mereka.
"Giliranku, "tiba-tiba perempuan toilet itu muncul dengan wajah semrawut dan tubuhnya penuh darah. Sorot matanya menyuruhku diam, dan justru aku tak bisa bergerak. Dalam diam penuh kesadaran kuduga perempuan itu menampakan diri.
" Setan! "mereka lari terbirit-birit hingga terpeleset. Salah satunya masih berlari sambil diikuti dan hitungan dua detik, terdengar teriakan dari banyak orang. Banyak guru yang datang. Meski sembunyi, tapi aku tahu dari perempuan itu. Egard terjatuh dari tangga karena takut, lehernya patah berikut matanya tertusuk ranting pohon kecil di sekitar tangga. Semua menganggap murni kecelakaan, karena aku tak ada di lokasi.
Arisa terdiam, hanya tersenyum, menyeka baju dan wajahnya yang terciprat darah—lantas pergi ke toilet untuk ganti baju. Sementara entah itu laki-laki atau perempuan nampak ketakutan sampai muntah. Ia nampak, terbiasa. "Aduh-duh, mati juga kau."