Sebuah kebetulan, rasa takut mereka padaku membuat toko buku seketika sepi. Mereka keluar, ada yang memang sudah selesai dan adapula yang merasa tak nyaman. Kini hanya aku dan Arisa. Maaf, aku melupakan kasir dan beberapa karyawan lainnya. Kami bungkam, atau tepatnya dipaksa bungkam secara psikologis. Toh mulut kami tak ditutup apapun, tapi fak ada yang berani bicara. Mungkin.
"Aduh-duh, ini kebetulan bukan? Mereka keluar, yang lain datang. Ini memudahkan polisi karena sandranya sedikit, "dengan santai dan kaki selonjoran Arisa berbicara seperti itu. Ia nampak tak peduli, lagipula jika niat mungkin akan ada kejutan hebat yang akan ditunjukkannya.
Salah satu pria dengan postur tinggi menatap tajam, ia mendekat dan menarik kasar rambut Arisa. "Kau tenang sekali ya, untungnya kau cantik. Jadi untung dua kali lipat," ketiga orang itu nampak memandang Arisa dengan tatapan mesum. Untung dua kali lipat, pertama bisa dapat uang dan kedua bisa mencabuli Arisa.
Beberapa bagian dariku berharap anugerah sialan itu aktif atau tepatnya dapat aktif sesuka hati. Ini sudah sore, waktu rebahanku terganggu. Bagian menyebalkan adalah mereka, menodongkan pistol dan mereka nampak sedang memasang sesuatu. Hanya dalam waktu beberapa menit polisi sudah tiba, tapi buruknya adalah status kami sebagai sandra. Satu langkah gegabah maka peluru menembus kepala kami.
"Jangan masuk! Kalian paham kan?! "bentak pria botak yang bermuka geram. Dia muntab kurasa. "Satu langkah maka tamat!" mata kami terbelalak, yang mereka pasang sejak tadi adalah bom. Pemicunya ada di tangan orang satunya.
"Tolong, jangan bunuh aku. Aku belum menikah! "ribtih salah satu pegawai toko. Namun ia langsung mendapat tendangan keras.
"Persetanlah dengan kau!" salah satu polisi terkejut melihat perlakuan kasar itu. Ia geram dan berlari.
"Hentikan!! "namun suara pelatuk terdengar nyaring setelahnya. Di ambang pintu toko buku polisi itu terduduk lesu menatap sandra yang mengaku belum menikah itu tengah sekarat. Peluru menembus jidatnya yang lebar.
"Tolong!!" teriak pegawai lain, perasaan berkecamuk padaku. Anugerah itu salah arah, yang mati bukan mereka. Ini salahku? Tidak, itu pasti karena kecerobohan polisi yang maju tak pikir panjang! Tapi, bukankah selama kematian itu kusaksikan maka itu dampak anugerahku?
Tangan lembut tiba-tiba memegangku, aku terperanjat ketika tanganku yang diikat ini tiba-tiba di genggam. Hangat, itulah tangan Arisa. Wajahnya masih tersenyum. "Dua keuntungan, kau tahu? Bom itu hanya penggertak. Tak akan meledak, mereka hanya ingin uang dan keuntungan tambahannya adalah aku. Logislah, buat apa susah-susah merampok tapi ujung-ujungnya meledak bersama saat akan ditangkap."
Aku menatap Arisa, mulutnya tak bergerak sedikitpun, wajahnya lurus kedepan. Hanya tangannya yang diikat di belakanglah yang menggenggamku. Suaranya langsung ke otak?
"Ini mudah, selama aku melakukan kontak fisik kita bisa bergosip ria—ah maaf maksudku berdiakusi. Mana ada yang bergosip saat nyawa terancam. "
Tiga pria itu nampak senang, tak ada lagi yang mendekat. Mereka menjamah mesin kasir bahkan mengambil dompet kami. Hingga pada Arisa, ia menyimpan dompet di saku dadanya. Mereka menatao mesum, Arisa hanya tersenyum seakan siap melayani. Namun gurat kemarahan nampak terlihat. "Aduh-duh, kalian ini penjahat kurang belaian ya?" tanya Arisa yang tersenyum. Ia berdiri dan barulah aku sadar, ikatan tangannya sidah lepas sejak tadi dan ia tetap berpose seakan diikat.
Senyumnya merekah dan mantao kami, sekan kode semua bungkam. Tapi sejak kapan? "Ini terpikir dadakan, atau aku baru ingat. Jika aku bisa menembus sesuatu yang beratnya kurang dari satu kg. Kebetulan tali itu ringan, lalu aku butuh jarum sekarang." Jarum? Toko buku mana jualan jarum? Tapi pasti ada pengganti jarum, setidaknya utu cukup menyakitkan. Toko buku, identik pada buku dan alat tulis. Alat tulis—pensil!
Tapi bagaimana cara memberinya? Hanya ada satu langkah rasional. Aku memberi kode pada orang di sisiku. Ia nampak ketakutan, aou berbisik dan kami saling merapatkan diri. Membuka ikatan walau tak melihatnya. Itu terjadi secara domino tanpa ada diantara mereka yang sadar. Aroma darah dari salah satu karyawan cukup membuat pikiran sulit berpikir.
"Tolong carikan pensil tajam, yang sudah diraut, "bisikku untuk disampaikan. Kasir ini mengerti dan menyampaikannya pada yang lain secara berbisik. Arisa terus mengobrol mengulur waktu, ia seperti wanita penggoda. Hingga tiga orang itu tak sadar jika kami merencanakan hal besar. Tangan kami lelusasa karena terlepas dari tali, dengan laga terikat pegawai yang paling dekat dengan rak alat tulis nampak mencari sesuatu. Namun nihil.
Tindakan kami disadari, "dasar sialan! Sedang aoa kalian?!" satu per satu kami dipukuli, bagiku waktu terasa terhenti. Polisi di luar sudah berkali-kali mengajak bicara, namun tiga orang sialan ini malah mengancam. "Bergerak lagi kepala kalian berlubang!" bentak salah satu dari mereka.
Emosi remajaku yang sebenarnya belum stabil rasanya mulai memanas. Meski aku bodo amat, tapi rasanya tak enak juga jika terus dilindungi perempuan.
"Aduh-duh, kalian mulai menyebalkan! "sarkas Arisa dengan senyumnya yang khas. Ia tak bersandiwara lagi, tangannya mengambil salah satu buku diary dan membukanya. "Ini pengalihan, terlihat bodoh dan memalukan." Bisikan Arisa yang sampai pada otak begitu jelas.
Suasana menjadi tegang, bahkan mayat yang tergeletak dengan mata melotot itu hanya menjadi sanksi bisu. "Aduh-duh, kaliam membangkitkan emosi." Arisa nampak menarik nafas, ia membuka buku diary itu. Apa ini bagian anugerahnya? "Langit fajar menyingsingi malam, kini ku menatap pendosa." Tunggu, kupikir dia akan menjadi kuntilanak berambut pendek, tapi penyihir? Dia gila?
"Sedang apa dia? "tanya salah satu dari tiga orang sialan itu, namun mereka malah menyimak sambil tertawa.
"Dunia atas pun dunia bawah hancur, ratapi kefanaan hidup. Mengarungi banyu yang kian keruh. Atas dosa besar, hukuman primodiral menanti." Sesaat aku malah bingung, anak ini semakin melantur, ia bergerak seakan sedang mengucapkan mantra dari buku diary kosong yang asal ia ambil. Didekapkan tangan kiri di dada, tangan kanan menjulur pada mereka. "Rasa sakit yang tak bisa ditafsirkan, berjuta hal yang tak bisa dijelaskan kata-kata. EVANESCEN!"
Saat masih tertawa, Arisa melempar satu set kartu remi yang terpecah menghalau. Kami yang peka itu pengalihan langsung berlari menyerbu, walau salah satunya terpeleset mayat dan justru teriak ketakutan. Dalam kecepatan aneh Arisa sudah tepat di belakang mereka, ia seakan ringan dan tubuh pendeknya seakan melayang. Seumpama hantu yang berbisik. "Aduh-duh, kalian terlalu bodoh!" dari belakang ia meremas wajah salah satu dari mereka.
Sementara aku melotot tepat depan matanya, berharap ada keajaiban. Benar saja, pria itu mematung menatap mata kelabuku. Kami sadar diluar ada polisi, mereka langsung masuk saat tiga orang ini perhatiannya sudah kacau. Tepatnya, mereka berani masuk saat melihat semua pistol milik kereka sudah ada dalam genggaman Arisa. Ia bergerak cepat dan merebutnya bagai trik sulap. Tidak, ia seperti penyihir.
Alat pemicu yang menurut Arisa palsu sudah kuamankan, entah hal hebat dan hal beruntung apa. Aku secara tiba-tiba bisa membuat orang besar ini mematung sesaat. Mereka semua berhasil diringkus, sesaat aku khawatir masih ada belati. Namun lihatlah, Arisa langsung melempar belati itu tepat menusuk suatu rak buku yang mana tusukan itu hanya beberapa centimeter dari wajah salah satu perampok tak jelas ini. Semua senjata dalam genggaman Arisa, bergerak sedikit maka akhir yang buruk.
Kami berurusan dengan polisi, untuk yang kesekian kalinya psikiater menanganiku. Ia masih bingung karena sejauh ini tak ada yang berpotensi buruk padaku sekalipun sudah melihat banyak sekali pembunuhan ataj kecelakaan. Hingga, salah satu polisi datang, tubuhnya besar dalam artian bukan perutnya saja. Tapi ia sangat tegap dengan badan tinggi besar. Wajahnya memang sudah cukup tua, terlihat daru kerutan dan uban yang mulai lebat. "Ini kesekian kalinya aku melihatmu saat menangani kasus atau kecelakaan."
Sebenarnya, ia adalah kepala kepolisian dan sebenarnya pula tak harus selalu ikut menangani kasus dengan datang ke lokasi. Tapi, jika berurusan denganku dia selalu ada. "Kau baik-baik saja?" tanyanya ramah tak sesuai dengan imagenya.
"Ya, "jawabku singkat. Sejatinya aku mulai bosan mejunggu Ibuku yang seharusnya datang sejak tadi. Tapi aku maklumi karena Ibu menelpon bahwa ia telat karena sempat kecopetan telepon genggamnya. Lalu, kenapa bisa menghubungiku? Ia mengejar sampai dapat, hanya berlari mengejar motor. Bermodalkan mangga jatuh ia melemparnya dan tepat pada kepala orang yang mencopet telepon genggamnya. Jatuh, dan Ibu meringkusnya. Sekian.
Kembali pada topik, suasana langit malam mulai buruk. Angin dingin terasa walau aku berada di kantor polisi. "Aduh-duh, dingin ya?" aku dan kepala kepolisian itu langsung terperanjat berdiri. Arisa muncul tiba-tiba di tengah kami yang tengah mengobrol. Ia nampak santai, "ah maaf. Kalian terkejut? Padahal aku sudah di sana sejak tadi."
Entah kami terlalu bodoh untuk menyadari keberadaannya. Atau karena efek anugerahnya, menghilangkan hawa keberadaan. "Aku Arisa," ia tersenyum pada Pak Mulya yang merupakan kepala kepolisian. "Kalian sudah kenal lama ya?"
Pak Mulya meng-iyakan tak mau memberi tahu jika aku selalu ada di sebagian besar kematian tragis di kota ini. Padahal Arisa sudah sangat tahu. "Kau tak apa?" tanya Pak Mulya. Kondisi psikologis Arisa memang paling dipertanyakan, bahkan psikiater merasa penasaran dan ingin rutin memeriksanya.
Biar kujelaskan, saat kasus perampokan tadi Arisa seperti tak takut sedikitpun. Berhadapan dengan kematian seperti bergosip ria dengan teman. Tadi juga memang ad satu korban jiwa, biasanya perempuan seumurannya akan teriak atau apa. Tapi tidak dengannya. "Tenanglah Pak, aku bukan berarti tak takut kok. Hanya saja aku sadar diri jika semua yang hidup pasti mati, menyenangkan bukan? Ya, walaupun kita tak boleh menentang takdir." Arisa kemudian tersenyum. Seorang pria paruh baya berjas hitam mengahampirinya, itu Ayahh Arisa?
Mereka pamit dan sesaat aku berpikir. Meski sudah terbiasa dengan sifat kesetan-setanan Arisa, tapi melihanya tiba-tiba muncul saat malam sungguh menyeramkan.