Malam yang dingin menyelimuti kami, ya kami. Karena orang-orang kurang kerjaan ini memaksa ikut dan ingin main ke rumahku. Atas alasan tak jelas, kegiatan belajar mengajar untuk kelasku diliburkan sementara. Pihak sekolah khawatir ada gangguan mental pada kami setelah melihat seorang guru mati secara mengenaskan. Besok dan seterusnya, kami juga harus ikut di periksa.
Sejatinya, itu tak penting bagiku. Kira-kira sudah lebih dari lima belas kali aku melihat orang mati mengenaskan di hadapan. Sampai hantu-hantu mereka pun aku sudah melihatnya. Untuk yang lain, macam Arisa tak perlu di khawatirkan menurutku. Bahkan alu curiga dia sejak awal sudah sakit jiwa, ketika semua gadis pingsan atau teriak tak jelas—ia justru dengan santainya membaringkan jasad guru itu dan membiarkannya tidur di pahanya sendiri.
Hassan? Sekiranya ia juga selalu ada dekatku sejak SMP, maka sudah wajar ia melihat banyak kematian. Toh dia juga sudah terbiasa melihat hantu dengan rupa yang hancur. Tak ada alasan baginya untuk takut.
Rumah biasa berlantai dua sudah ada di hadapan. Rumahku yang selalu menyimpan rasa nyaman akan terkontaminasi oleh mereka. Biasanya, paling telat adalah pulang jam empat sore karena kebetulan tak ada ekstrakulikuler yang kutekuni. Namun peristiwa itu menghambat semuanya, pihak berwajib urusannya.
Sebelum aku membuka gerbang, insting Ibuku selalu bekerja dan tahu jika aku sudah pulang. Terdengar sampai luar jika ada langkah kaki cepat dari lantai dua yang menuruni tangga, menuju ruang keluarga dan terakhir sampailah di depan pintu. Hening sejenak, pintu terbuka perlahan menampilkan sesosok Ibu yang membuatku heran. Ia memakai jenis baju yang sangat anggun, rambutnya dikepang dan diikat pita merah. Sorot matanya anggun sambil mengipasi dirinya—padahal terlihat sekali ia kedinginan. Niat sekali dia tampil anggun.
"Sudah Ibu duga, insting Ibu memang tepat, "ya, dirinya pasti menduga aku pulang membawa teman—memangnya mereka temanku? Ia berjalan perlahan dan membuka gerbang dengan halus. Walau suara desingan gerbang usang merusak kesannya. "Ya ampun, tak kusangka anakku sudah besar. Ibu bersyukur kau punya teman. Masuklah."
Sesaat aku bingung membedakan antara pujian dan hinaan, kami masuk dan langsung berada di ruang keluarga. "Insting Ibumu sedikit tak wajar," bisik Arisa. Ya, aku hanya menjawab seadanya. Bahkan aku belum pernah tahu mengenai keluargaku sendiri. Tepatnya, apa anugerah ini turunan. "Namaku Arisa, aku teman sekelas Grey sejak SD, bukan dari kelas satu memang."
Ibu tersenyum dan menatap yang lain. "Siapa namamu?" rasanya aku ingin menutup muka melihat Ibu sendiri. Pemilihan kalimatnya sudah seperti dalam drama.
"Hassan, aku berteman dengan Grey sejak SMP. Senang bertemu denganmu," wibawa Hassan sebagai pemimpin tiba-tiba keluar dan menyilaukan mataku ini. Ibu sedikit tersenyum.
"Anak baik, kau juga tampan. Kuharap hidup dan matimu tidak suram, "apa Ibu sedang bercanda?"Kalau kau?" kami, tepatnya hanya aku dan Hassan sedikit terkejut. Tanpa kami sadari, Siti ternyata ikut. Tunggu, rasanya aku tak melihat dia.
"Siti, itu panggilanku," terlihat rambut panjangnya tergerai indah hingga panggul. Hitam legam, dan sorot matanya sangat dingin. Tunggu, sejak kapan ia ikut?!
Tak mau basa-basi, aku menyuruh atau teptanya memaksa mereka duduk. Insting Ibuku memang mengerikan, ia sudah memasak banyak makanan sejak sore. Meja makan penuh sekali, untungnya kalau masalah sayuran keluarga kami tak pernah beli. Maklum, tetangga kami yang mempunyai kebun di kampung selalu membawa oleh-oleh. Sayuran tepatnya.
Suasana terasa aneh bagiku, berhadapan dengan orang yang terasa bukan Ibu. Tapi, sebenarnya ia memang selalu begini setiap datang tamu. Arisa dan Hassan menjelaskan semua situasinya, Ibu sempat terkejut dan berduka. Kami baru sadar juga jika Arisa menyembunyikan baju berdarah menggunakan jaketnya. Ibu segera meminjamkan pakaiannya, sementara Siti menyimak seraya menyeruput teh.
"Grey, Ibumu memang selalu begitu? "bisik Hassan di telingaku.
"Tidak, ini hanya ketika ada tamu. Mohon maaf atas gangguannya." Faktanya, Hassan sendiri mengaku takjub. Ia bahkan dengan jujur mengatakan bahwa Ibuku mirip Ibu berusia 30 tahunan. Padahal usianya hampir setengah abad, ia menikah diumur 29 tahun, pada umur 30 tahunnya aku lahir. Hingga sekarang ia berumur 46 tahun. Aku sudah berumur sekitar 16 tahun, tunggu—siapa peduli dengan umurku, yang dibahas kan Ibu.
"Makanlah, "kami makan malam bersama, wajah Ibu nampak bahagia sekali. Kiranya, ia sudah seperti wajah orang yang memenangkan undian lotre sebesar miliaran. "Ibu senang, Grey punya teman. Ngomong-ngomong, apa Grey pendiam atau bagaimana?"
Hening seketika, semua saling tatap dan bingung untuk menjawab. Aku memang pendiam, tapi jika aku jujur dan mengatakan bahwa aku tak punya teman maka Ibu akan pindah ke mode khawatir. "Bagaimana ya? Bisa dibilang, Grey itu pendiam awalnya. Tapi, jika sudah kenal sangat menyenangkan. Bicaranya lembut, jarang sarkas. Iya kan?" Arisa menjelaskan sambil tersenyum pada Hassan untuk mengiyakan. Terdengar rintihan kecil dari Hassan ketika kakinya diinjak agar setuju dengan pendapatnya.
"Ah iya, tentu saja," dalam lubuk hati aku berterima kasih. Padahal Hassan adalah orang yang paling sering terkena hinaan sarkas dariku, tapi ia setuju-setuju saja. Walau penuh paksaan.
Siti masih diam, ia menyantap makanan dengan senyap. Matanya dingin dan terfokus pada satu titik. Walau sesekali aku melihat telinganya sedikit bergerak, ia sensitif pada suara. "Siti, rasanya Ibu tak asing denganmu. Apa benar?" Ibu memulai percakapan lagi setelah selesai makan.
Siti mengangguk kecil, "ya, secara kita memang kerabat. Aku adalah anak dari adik suami Ibu," Ibu manggut-manggut bersamaku. Tunggu, itu berarti?
"Kalian saudara?! "Hassan mendahuluiku dan Ibu untuk terkejut. Ia berdiri sambil mengebrak meja makan dengan keras. Kami diam menatap aneh pada Hassan. Ia langsung meminta maaf. Tapi, pandanganku masih tak percaya pada hal itu. Siti? Saudariku? Sejak kapan?
Barulah aku tahu setelah semua selesai makan, Siti adalah temanku dalam permainan saat kecil dan juga kerabat secara darah. Ia tersenyum kecil padaku, untuk pertama kalinya. "Maaf, aku hanya khawatir jika salah orang." Kemudian, pandangannya dingin kembali. Arisa tersenyum aneh seakan senang. Entahlah, dia selalu tersenyum kapanpun dan dimanapun.
Malam semakin larut, para kuman ini kemudian pamit untuk pulang. Ada perasaan takut jika salah satu dari mereka mati karena anugerah pembunuhku. Tapi, kurasa anugerah milikku tak bekerja pada sesama pemilik. Buktinya, Arisa selalu hidup walau sejatinya batasan antara hidup dan matinya sangatlah samar.
Dalam malam yang entah kenapa menjadi panas, aku hanya ingin merebahkan diri. Mematikan ponsel dan menikmati angin dari kipas. Kutanggalkan seluruh pakaian, rasanya pakaian dalam saja terasa panas. Memperhatikan tubuh telanjang yang selalu kurus, walau akhir-akhir ini memang cukup banyak yang kecelakaan saat aku pulang sekolah. Tinggiku 178 cm, ekstrakulikuler basket dan voli awalnya melirik, namun karena kutukan itu mereka langsung takut. Beratku hanya 57 kg, sekalipun aku memakan satu ton daging—aku belum mencobanya memang.
Lama-lama, rasa kantuk menguasai dan aku tertidur di kasur. Bodo amatlah dengan aku yang belum memakai baju sehelai pun. Mataku tiba-tiba berat, dan sekujur tubuhku lemas. Untungnya pintu kamar sudah kukunci, perlahan aku tertidur dan tenggelam dalam mimpi yang tak ingin kujelaskan.
Terbangun, dan terkejut. Lalu, alibi mengompol pun jadi, padahal aku sadar jika Ibu lebih tahu.