Normalnya, setiap sekolah tentu memiliki siswa atau siswi panutan tersendiri. Entah panutan secara hal baik atau panutan menurut sisi iblis. Banyak yang mengidolakan, walau biasanya mereka hanya orang bersumbu pendek yang cuma peduli penampilan dan tidak tahu apapun tentang apa yang mereka idolakan. Kurang lebih, itulah kenyataan di sekolahku.
Semua idola sekolah sudah seumpama kutu bagiku, mengganggu. Biar kutegaskan, Arisa termasuk. Paras cantik, pintar pula, meski pendek tapi itu justru menajdi poin pentingnya. Lalu, apa yang tak mereka ketahui? Ya, dia terlalu ramah san terlalu murah senyum bagiku. Hingga ia masih tetap tersenyum ramah saat melihat orang tewas jatuh dari tangga beberapa hari yang lalu. Kejiwaannya mungkin sedikit geser.
"Aduh-duh, kau tidak kesepian? "ini sudah kesekian kalinya dia bertanya itu. Mana mungkin kesepian ketika aku bersama satu kutu yang daya ganggunya seperti satu batalion kutu.
"Terserah kau, berapa kali pula aku harus menyuruhmu menjauh? Mati dadakan tahu rasa," itu sedikit sarkas, meski semua orang heran ketika Arisa yang selalu dekat denganku tak terkena kutukan. Apa dewi fortuna hanya memandang wajah saat memberi keberuntungan?
"Jangan bodoh, keganjilan ada karena kepercayaan. Aku tak percaya, jadi itu tak berdampak bagiku, selain itu sebenarnya aku ini—"
"Kalian! "seseorang memecah percakapan kami dan menyergah ucapan Arisa yang belum selesai. "Kenapa belum pulang?" sejatinya sekolah sudah sangat sepi. Hanya kami di kelas dan beberapa orang di luar sana.
"Kalian sendiri? "tanya Arisa sambil tersenyum setan seperti biasanya. Sementara aku hanya bodo amat.
"Sebagai ketua OSIS, aku memang punya tanggung jawab tersendiri. Memastikan tak ada yang berduaan di kelas seperti kalian!" Baiklah, nada nya sungguh sewot. Toh sejak tadi keenam teman SD ku ada di sini, mana mungkin berduaan.
"Tak ada tugas atau tanggung jawab seperti itu, kau sendiri yang terlalu rajin, "bantah gadis berekspresi dingin. Kalau tidak salah ia adalah sekretaris OSIS. "Bilang saja, kau merasa iri ketika melihat orang berduaan."
Arisa tertawa cukup kencang dengan wajah masam. "Aduh-duh, tenanglah. Kami tidak pacaran, mana ada berudaan di tengah kerumunan." Mata ketua OSIS itu nampak bingung. "Masalah berduaan, kalian sendiri selalu berdu—"
"Tidak, aku hanya menganggapnya sebagai angin lalu. Ada tidaknya ketua di sini aku tak menganggap," wajahnya tetap dingin walau sarkas, yakinlah aku jika ketua OSIS ini merasa tertusuk di dada.
Nama ketua itu, kalau aku lihat dari seragamnya—Hassan. Idola sekolah juga—kutu juga, sangat pintar walau kadang mudah tempramen. Meski semua orang merasa suka ketika ia sedang marah. Lalu, sekretarisnya adalah gadis campuran. Siti Clarissa Sasahara. Nama yang campur aduk, Siti karena memang ia lahir di Indonesia. Ayahnya orang Jepang, Ibunya blasteran Eropa—setidaknya itu yang kutahu karena ia terlampau populer.
"Sudahlah ketua, aku ingin pulang dan rebahan saja ketimbang menemanimu, "ia kemudian pergi begitu saja menginggalkan Hassan.
"Aku pulang," dengan malas aku juga melangkahkan kaki diikuti semua temanku ini. Arisa tersenyum dan pamit pada ketua itu lantas seperti biasa melompat ke luar jendela. Dia ditinggal sendirian, atau tepatnya bersama perempuan bergaun putih kusam yang mengelus punggungnya. Satu keterjutanku, mereka berdua berkomunikasi biasa. Sejatinya, ketua itu juga melihat semua temanku. Saling tersenyum, dan pergi.
Barulah kutahu, jika bergaun putih itu adalah kakaknya yang tewas saat hendak menikah. Arisa bilang karena penyakit jantung. Jiwa mereka seakan terikat. Tapi tunggu, rasanya ada yang kulupakan tadi.
***
Senja kala menyingsing dan terganti oleh malam sendu. Kupu-kupu malam mulai keluar mengobral diri dan tak sedikit pula peminatnya. Sementara rumah-rumah mulai ramai oleh keluarga yang berkumpul sehabis pupang kerja. Makan malam bersama, disinilah aku—menatap layar televisi bersama Ibu. Meski sudah berumur 42 tahun, wajah dan jiwanya seperti Ibu yang baru 30 tahunan.
Kulitnya masih putih segar, sorot matanya kadang masih menunjukkan kebodohan dan kekonyolan. Tipe Ibu penuh humor tak jelas, bisa dibilang Ibuku adalah janda yang sangat disukai kaum Adam. Tapi ia tak mau menikah lagi. "Kucinya adalah bahagia," itulah yang ia katakan setiap hari ketika kutanya kenapa tetap awet muda. "Kita bukan orang kaya, tak adalah perawatan wajah berjuta-juta pada wajah Ibu, tapi bahagia sudah cukup menjadi obat segalanya—perawatan segalanya bagi Ibu."
Ruang keluarga yang tak terlalu luas ini seakan ramai oleh suara televisi dan ramainya keluarga penghuni lama rumah ini. "Apa Ibu kesepian?" tanyaku menatapnya kalut. Tunggu, rasanya aku yang selalu ditanya begitu.
"Ibu punya kamu, "ada rasa senang tersendiri ketika kehadiranku seorang menghapus rasa sepinya. "Rekan kerja Ibu juga banyak, baik semua. Serulah jika bergosip ria bersama." Baiklah, ternyata sosokku hanya tambahan saja. Kami diam kembali, sesekali aku menatap layar ponsel yang penuh notifikasi dan pesan dari operator. Atau grup kelasku yang berisik, meski aku dibenci—setidaknya mereka masih baik menganggapku ada dan membiarkanku ada.
Sebagai tambahan, sesekali Arisa menghubungiku. Ia benar-benar layaknya kutu ketika menghubungiku hanya untuk curhat bahwa dirinya sedang membersihkan kotoran kucing—lantas mengirim fotonya padaku. Ketahuilah, itu terjadi beberapa kali setiap aku makan. Paling parah adalah ketika disekolah, ketika Ibu tiba-tiba menelpon. Arisa dengan jailnya mendesah ria bagai sedang melakukan adegan haram. "Pakai dulu celananya Grey," itu adalah kata-kata haramnya. Jika tidak hal mesum, ia dengan jahil mengatakan, "matikan rokoknya, lalu habiskan tuaknya," sungguh laknat.
Untungnya, Ibu kadang sedikit tuli dan otaknya hilang koneksi jadi dia tak sepenuhnya mendengar. Ketika Arisa mendesah, ia menyangka aku sedang menolong teman yang kecelakaan. Ketika disuruh pakai celana, Ibu khawatir jika kakiku terluka dan baru habis dibalut perban. Perilah rokok, ia menyangka aku sedang memeragakan merokok menggunakan makanan seperti anak kecil, tuak pun ia kadang mendengar kata "berak" sudahlah—ini semakin suram.
"Grey, kau ini mirip Ayahmu. Berhati keras, tapi lihat saja nanti. Seperti Ayahmu yang luluh oleh Ibu, kau pasti begitu," senyum terukir darinya. Kuharap yang meluluhkan hatiku tidak seaneh Arisa. Lagipula, peduli setan dengan itu, memangnya apa yang diharapkan dari anak SMP ini.
Kulihat foto Ayah, ia cukup mirip denganku. Kulit putih untuk ukuran laki-laki, bertubuh tinggi dan perbedaannya adalah ia orang yang keras kepala dan berisik dulunya. Sedang aku keras kepala dan sunyi. "Bu, apa Ayah meninggal karena aku lah—"
Tamparan keras mendarat di pipiku, membuat terkejut dan sunyi. Bahkan keluarga lain itu ikut menatap Ibu yang sorot matanya kosong. "Ah maaf, ada nyamuk besar tadi. Hehe," ia menjauhkan tangan dan kuelus wajahku. Padahal kutahu, dan keluarga itu tahu. Tak ada nyamuk di wajahku, ia hanya ingin menyuruhku tak membahas itu.
Kami diam, dan kini terdengar hanya suara kendaraan yang menabrak sesuatu—ricuh dari luar.