Sungguh, aku merasa bingung sendiri sekarang. Namaku, dan tentunya Arisa terpampang jelas di koran. Bukan kasus atau yang kuharapkan ada di koran karena prestasi, tepatnya berhasil meringkus perampok di toko buku. Ibuku yang imajinasi fantasinya kuat berkhayal tak jelas sambil teriak-teriak bahwa aku pahlawan super.
Lantas, apa itu memperbaiki semua? Tentu tidak. Kalian melupakan satu karyawan yang kepalanya berlubang oleh peluru, lalu mereka tak serta merta menyalahkanku.
"Dasar rendahan, kau pasti membiarkan orang itu tertembakkan? "pertanyaan itu selalu datang. Sejatinya mereka menganggapku rendahan juga karena menurut fakta yang sudah beredar. Semua tahu bahwa Arisa yang berani duluan untuk melawan, Arisa tak disalahkan atas penembakan. Dia hanya gadis, tugas laki-laki seharusnya yang tidak membiarkan ada satupun korban.
Sudahlah, lupakan. Toh semua sama saja. Aku berakhir di belakang sekolah sambil dipukuli atau dinistai. Lalu Ibu, ia hanya mengobati lukaku. Tersenyum tak mau bertanya, barangkali aku melihatnya menangis merasa gagal sebagai Ibu di kamarnya. Lagipula, aku tak ingin melibatkan banyak orang. Sebuah kisah yang sengaja kuharapkan sederhana. Tanpa intrik perseturuan yang jelas.
Mungkin konflik hidupku seakan berlalu tak jelas, tapi itu karena aku sendiri menganggapnya tak jelas. Hal biasa, lumrah dan tak penting, dan aku berani bertaruh juga—kisahku akan lebih mendebarkan ketika dialami orang lain.
"Grey, apa kau pernah menyukai orang lain? "pertanyaan Hassan sukses membiat wajahku berkedut ria. Sejak kapan orang ambisius untuk menjadi pemimpin mempunyai topik bahasan itu.
"Lima belas tahun hidup aku hanya menyukai dan mencintai beberapa hal. Satu diriku, dua keluargaku dan ketiga hari libur. Sekian, "Hassan menghela nafas seakan tak puas.
Ia mengacak rambutnya sendiri dan merapikannya lagi."Lawan jenis maksudku!"
"Percintaan SMP itu lebih konyol dari film kartun anak kecil. Juga, seperti gosip musiman, selalu terlupakan dan muncul yang baru lagi," sejauh ini itulah pendapatku yang berusaha tak menyukai siapapun agar tak menjadi masalah. Jujur, kalau dikata pernah menyukai lawan jenis maka aku menyukai Sarah. Hantu yang tewas saat menyelamatkan nyawaku semasa kelas enam SD. Bahkan, aku baru menyadari rasa sukaku ketika aku sering mengobrol dengannya. Sebagai manusia untukku, dan hantu untuknya.
Tapi, aku tak mengutarakan rasa suka padanya, masa iya aku suka pada hantu, dan itu hanya akan membuatnya semakin tertambat di dunia seperti Kakak perempuannya Hassan. Ia tertambat begini karena gagal menikah. Ah maaf, kini dia menatapku tak suka.
"Kalau aku, entahlah. Mungkin satu-satunya perempuan yang kusukai dan kucintai adalah Ibu dan Kakakku. Untul Ibu sudah pasti, tapi rasanya berbeda ketika dengan Kakakku. " Aku menepuk jidat segera, alasan Kakaknya tertambat bukan karena gagal nikah. Tapi adiknya yang sialan ini tak merelakannya, bahkan ia terlibat Sister Complex.
Pembahasan kami berakhir ketika guru masuk. Guru IPA ini manatap kami intens, dan aku mencium aroma ulangan mendadak. "Anak-anak, siapkan kertas selembar dan masukan semua bukunya." Kalimat pembukaan legendaris sebelum ulangan harian.
Arisa memberi kertas selembar padaku, aku tak meminta. Tapi lumayan juga kan? Aku tersenyum kecil dan saat tanganku meraihnya, lengan dingin Arisa memberi acungan jempol.
Ulangan harian dimulai, kuakhiri dengan elegan. Tentu nilainya sesuai dengan usaha yang kulakukan malam tadi. Seratus, nilai yang kudapat karena memang memprediksi ulangan harian saat malam tadi.
***
Cuaca dingin saat hujan merusak citra tengah hari yang selalu panas. Burung yang sebelumnya berkicau kini saling berteduh kedinginan, kucing yang biasanya tengah mencari makanan kini berpojok ria mencari penghangatan. Seisi lorong yang sepi oleh manusia kini ramai oleh yang lain. Sangat berisik bagiku, bercak darah menodai lantai dan menghilang beberapa detik kemudian secara halus.
Kuharap, hantu teman SD ku sedang bermain saja di loteng rumah agar tak mengganggu. Hujan seperti ini membuat kelasku lebih hening sambil berpanjat do'a dalam hati. Bukan mereka religius dan berterima kasih atas berkah hujan, mereka hanya takut hal buruk menimpa. Hal buruk yang bersumber dariku. Berharao tak ada petir yang menyambar keras ke kelas dan menghancurkan atap. Berharap tak ada bencana alam lainnya.
Bahkan, pergerakan mereka sangat hati-hati. Hanya untuk mengambil pensil jatuh saja mereka nampak ketakutan sambil dibantu teman sebagai pengaman. Guru yang tengah mengajar itu pasti senang karena kelas tak ribut—terlihat dari ekspresinya. Semasa belajar sangat hening, semua ilmu terasa menerap ke otakku yang kecil ini.
Hingga pelajaran berakhir, bel surga berbunyi melengking ke penjuru sekolah. Semua wajah nampak malas dan mereka juga buru-buru pulang meninggalkan petugas piket hari Rabu ini.
Total ada tujuh petugas piket per hari, sebagian sering kabur. Jadwal piket ini memang sudah dimanipulasi Siti selaku sekretaris. Terpampang jelas, Grey, Arisa, Hassan, Siti, Silvia, Ardan, Rezka. Namun dua orang terakhir yang dicantumpakn dijadwal sudah kabur. Suasana tidak terlalu canggung karena aku kenal dan cukup dekat dengan mereka. Pengecualian Silvia.
Aku yakin dirinya merasa sial, Siti sendiri tipe orang bodo amat yang tidak takut akan mitos atau hal aneh lainnya. Kadang ia trrlalu misterius bagiku. "Hassan, kenapa udaranya dingin sekali? Hujan sudah reda kan?" tanya Silvia pada Hassan.
"Mana aku tahu, aku Ketua Kelas bukan pawang cuaca! "ketus Hassan yang tengah membersihkan papan tulis.
" Aduh-duh, dasar kalian. "Arisa tersenyum seperti biasa, kemudian membuka semua jendela."Walau dingin, tapi ini menyegarkan."
Silvia nampak protes dengan dibukanya jendela, namun tak penting juga. Aku hanya menyapu sambil sesekali memunguti sampah. Entah kenapa hatiku tengah baik dan merasa semua baik-baik saja. Toh aku sudah melihat kecelakaan kemarin, hari ini pasti aman—mungkin.
"Silvia, hati-hati dekat jendela, "saran Siti pada silvia yang berdiri dekat jendela sambil menggibas rok pendeknya. "Silvia, anginnya—" angin kencang tiba-tiba berhembus melalui jendela dengan dramatis. Kelopak bunga dan dedaunan kering terbang melewatinya pula. Kertas-kertas yang ditumpuk Siti ikut berhamburan terbang, begitu pula dengan satu hal yang ikut tergibas bebas.
Mataku dan Hassan terbelalak dengan tangan yang berusaha menghalalu. Angin biadab itu menghempas rok Silvia hingga terangkat bebas. "Jangan lihat!" ia menarik ke bawah roknya dengan wajah merah tomat. "Sialan!" dengan sigap menutup pintu dan mendekat ke arah Hassan. "Kau lihat?! Matamu itu!" dengan penuh bara ia melempar buku dan memukul Hassan berulang kali. Mulutnya terus mengumpat.
Aku merasa lega sekarang, ia fokus pada Hassan dan mungkin tak berani menyerangku. Takut kena karma. Arisa tertawa terus sambil mendukung Silvia, sementara wajah Siti penuh kemarahan dan menatap kesal Arisa yang sudah membuka jendela. "Susah-susah aku menyusun," ya, semua kertas yang sudah dirapihkan olehnya langsung terbang bebas.
Aku yang merasa bebas langsung kembali menyapu dan membantu Siti. Sebenarnya aku tak peduli pada yang kulihat. Melihatnya tak membuat nafsu, toh aku bukan orang mesum. Kasihan pada Hassan, wajahnya kusut dan masih dibentak Silvia. Hantu Kakak perempuannya ikut tertawa di sisi Arisa. Mereka kompak dalam melihat yang tersiksa.
"Lalu kau! "tunjuk Silvia padaku.ia menunjuk bukan memakai jari telunjuk, melainkan cutter dengam tampang pembunuh. Aku yang bingung langsung memberi kode dengan menunjuk diri sendiri." Ya kau! Perempuan tak masalah, tapi kau—"suaranya tercekat sambil memegang roknya. Berjaga-jaga bila ada angin lagi.
"Silvia, sudah cukup, aku sudah jadi pelampiasan kan? "tanya lembit Hassan yang memegang bahuku. Silvia menghela nafas, melempar sembarang cutter dan cutter itu sukses menjebol papan tulis.
"Ya, aku sudah banyak marah. Untukmu hanya sekali." Perlahan aku mundur untuk mengambil langkah seribu.
"Lari! "tarik Hassan. Namun Silvia kala itu juga menendang ke atas dan tendangannya tepat pada daguku. Sangat keras hingga terbanting.
Namun, mataku tiba-tiba gelap—tepatnya ada yang menutup. "Aduh-duh, jangan dulu lihat." Suara Arisa, tangannya dingin. "Ia lupa diri sampai menendang seperti itu. Kakinya terangkat dan roknya juga," bisik Arisa. Kalau mataku ditutup Arisa. Hassan? Saat itu pula aku mendengar suara bantingan sangat keras.
Membuka mata mendapati Hassan sudah terkapar dengan tangan terkunci.
Silvia Hanna Terra—wakil ketua kelas yang menyandang sabuk hitam dalam bela diri karate.
Silvia Hanna Terra, gadis ceroboh yang kadang lupa memakai celana pendek di balik roknya.
Silvia Hanna Terra—hanya ia yang tanpa pikir panjang menyerangku. "Konsep mitos! Atau kutukan! Tak berlaku dalam amarahku!" singkatnya adalah ketika ia marah maka ia tak takut apapun. Kuharap, kutukan itu tak jatuh padanya.
***
Esoknya Hasaan tak masuk karena alasan cedera. Tak banyak yang tahu alasan dari cederanya. Hanya aku, Arisa, Siti, dan tentu sumber cederanya yang tahu. Silvia sok polos, meski kadang pendiam tiba-tiba. Ia masih menggunakan rok pendek, hanya sekarang ada celana olahraga dibaliknya. Arisa masih sama, sesekali ia menghukum pelanggar aturan di kelas. Mereka semua senang ketika dihukum Arisa.
Aku bersyukur Silvia tak kecelakaan atau mati dadakan karena trrlibat padaku. Ia hanya mengatakan jika konsep kutukan tak berlaku lagi ketkka ia marah, lantas apa sekarang ia marah?
"Aku sudah terlanjur terlibat denganmu! Kau harus tanggung jawab. " Ia menunjuk padaku dan bangku kosong Hassan. Seakan kami menghamilinya dan dia meminta pertanggung jawaban. Padahal, itu kecerobohannya. Untuk apa pula memakai rok pendek? Siti roknya selalu panjang. Arisa biasanya selutut, dia? Kenapa di atas lutut.
Barulah aku tahu alasannya dari Arisa. Alasan kejam dan tidak manusiawi dibaliknya. "Dia pernah bilang, itu karena memudahkannya untuk menendang orang saat menggunakan seragam. Hanya kemarin dia cerobih saja tak pakai celana lagi."
Dengan dalih menendang, ia berpakian begitu. Setiap manusia, memang memiliki pedangnya masing-masing.