Chereads / EVANESCENT / Chapter 13 - 13. Fajar pertama

Chapter 13 - 13. Fajar pertama

Cahaya lembut menggelitik mataku, angin sepoi-sepoi mengelus kulit. Mataku terbuka perlahan. Hati dan kelakuanku tak sinkron. Dalam hati, aku terkejut menatap pemandangan pagi di pantai yang sejuk ini. Deburan ombak menenangkan, rasanya aku jantungan. Tapi, wajahku justru datar-datar saja.

"Apa aku sudah mati? "lirihku bertanya menatap laut. Air mataku mulai menetes perlahan, bukan berarti cengeng sebagai laki-laki. Tapi, tidakkah kalian mengerti? bagaimana rasanya gagal menyelamatkan nyawa. Tidakkah kalian mengerti? rasanya meninggalkan Ibu duluan yang bahkan sudah ditinggal suaminya.

Rasanya hatiku semakin sesak, hingga seorang pria berumur kurang lebih tigapuluh tahun datang dan ikut duduk. Tubuhnya tinggi dengan sorot mata sejuk. Wajahnya seolah mengenalku dan begitu pula sebaliknya. Tapi entah siapa orang ini. "Nikmatilah sebentar pemandangannya."

Aku mengusap air mata, menatap bentangan laut dari bibir pantai ini. Cuaca kalbu mengisyaratkan suasana hatiku, "apa benar aku sudah mati?" tanyaku lagi. Namun kali ini pada pria itu.

"Entahlah, itu tergantung dirimu sendiri. Barangkali kau memang ingin mati saja, atau tetap berjuang melampaui takdir. " Ia mengambil segenggam pasir dan membuangnya lagi. "Boleh bercerita?" tanyanya lembut yang justru aku ingin tahu alasannya mengambil dan membuang segenggam pasir.

"Tentu, "mungkin ini cerita terakhir yang dapat kudengar. "Hitung-hitung penghilang bosan sebelum ajal."

"Dasar. Kau tahu, dulu ada seorang anak laki-laki yang sangat keras kepala. Ia juga sangat berisik tak mau diam, tentunya ia juga sangat jahil." Kurasa ini kisah inspiratif dimana anak itu taubat karena kena karma. "Tapi ia mempunyai seorang teman. Entahlah, mungkin anak itu lebih menganggapnya sebagai pengganggu ketimbang teman. Sejak kecil merela kenal, sejak kecil pula hanya temannya itu yang mampu menjadi pawang anak itu."

Deburan ombak dengan jahil menyentuh telapak kaki, kemudian ia bercerita kembali. "Mereka tumbuh bersama, tapi anak laki-laki itu baru sadar jika anak tetangganya itu perempuan tulen. Ia hanya sempat berpikir jika anak kecil pantas memakai baju laki-laki atau perempuan, gender mereka belum terlalu jelas. Temannya itu sangat senang mengganggu, hanya dia yang mampu dan berani mengusik ketenangan anak laki-laki itu. "

Aku terus mendengar ceritnya, yang jelas anak laki-laki itu masih keras kepala dan sulit diluluhkan. Bersama temannya mereka selalu bersama secara terpaksa. Kedua orang tua mereka dekat, temannya senang saja karena dia juga sangat jahil dan jenaka. Mereka saling menjahili, bahkan saat mereka sudah menginjak SMP. Sangat dekat, hingga dikira pacar. Tapi, mereka saling membantah. "Mana mungkin aku menjadi pacar perempuan sinting ini!" ketus anak laki-laki itu. Tapi, pria itu bercerita juga bahwa teman anak itu tak kalah sarkas. "Jika semua manusia tewas dan menyisakan kami berdua. Aku lebih suka jadi perawan tua dan membiarkan dia menikah dengan keledai."

Begitulah mereka semasa SMP, dua sejoli paling terkenal yang diharapkan segera bersatu namun gagal karena hidup mereka tidak bergenre romance.

"Kau tahu, anak itu sangat terkejut ketika lulus. Mereka berdua menonton band asal-asalan sekolah. Temannya berkata, 'aku pernah bilang lebih suka jadi perawan tua dan kau menikahi keledai saat dunia hanya menyisakan kita. Tapi, dalam perasaan yang jujur aku akan menjadi orang ketiga. Aku akan penjadi pelakor yang merebutmu dari keledai itu. Paham?' otak anak itu antara paham dan tidak. Wajah anak itu pula terasa panas dan merah tomat. Itu pengakuan? Tapi wajah temannya sangat santai penuh guyon seperti saat ia mengungkap kenyataan bahwa kepala sekolahnya botak. "

"Jadi? Mereka lulus SMP langsung menikah? Begitu?" tanyaku ragu dan bingung dengan candaan sisipan dalam ceritanya.

"Mana mungkin, yang jelas mereka terus bersama. Setiap minggu temannya mengaku suka bahkan cinta. Tapi anak laki-laki itu tetap tertawa karena menganggapnya bercanda. Toh temannya kadang bilang begitu sambil mengupil atau sambil makan dengan rakus. Hingga, saat kuliah. Hubungan mereka mulai samar, semua memberi tahu anak laki-laki itu jika temannya serius. Meminta anak itu segera membalas perasaan temannya. 'setidaknya dia mencintaimu dengan tulus,' itulah kata mereka. Kalau dipikir, saat mereka berumur empat tahun mereka pernah saling berjanji untuk menikah saat dewasa. Tapi itu kan anak-anak. Bahkan dulu mereka hanya tahu jika menikah itu selalu bersama saja. Jika dipikir, bagi mereka menikah tak jauh beda dengan sahabatan. Bahkan, saat umur empat tahun anak itu belum tahu temannya perempuan. "

Aku mulai mengerti intrik cerita, pada dasarnya aku cukup kesal dengam anak laki-laki itu. Harusnya ia bersyukur ada yang suka, padahal diceritakan mereka selalu menjomblo hingga kuliah. "Hingga saat wisuda. Gadis itu menatap lekat anak laki-laki yang sudah ia sukai sejak lama. Anak laki-laki itu berguyon dan menebak temannya akan menyatakan cinta lagi, dan ia sudah menyiapkan penolakan yang tak kalah lucu. 'Sebagau edisi spesial hari wisuda, kukatakan lagi bahwa aku menyukaimu. Bahkan mencintaimu jadi aku—' anak laki-laki itu tertawa keras karena sesuai dugaannya. "

"Kemudian berkata, 'ingat masalah keledai? Rasanya aku sudah membeli satu keledai untuk jadi pengantin, jadi maaf saja.' Ia tertawa keras, temannya tentu sangat malu ketika banyak yang menonton. Bahkan sampai memberi judul 'kandasnya cinta masa kanak' untuk kisah mereka. Namun, teman anak itu tersenyum kecil dan menarik anak itu. 'Lupa ya? Waktu SMP aku bilang akan jadi pelakor hubunganmu dengan keledai,' wajahnya semakin memerah dan berkaca-kaca. Anak laki-laki itu terdiam sesaat merasa bingung. "

"Bodohnya, aku tak ingin jadi seperti anak itu. Bahkan, jika Ayahku seperti itu kurasa aku akan membencinya karena menyakiti Ibu!" ketusku yang teringat bahwa aku dan Ibu mungkin sudah LDR-an alam.

"Ini menyedihkan, anak laki-laki itu baru sadar ketika temannya berkata, 'ini bukan perihal janji kita semasa bocah, kau tahu rasanya sakit hati karena setiap minggu ditolak? Setiap minggu perasaanku selalu disepelekan karena nampak tak serius? Terakhir, apa aku harus menangis darah dahulu agar perasaanku terjawab serius walau jabanmu itu tidak atau sama-sama menolak! Setidaknya, walaupun ditolak, aku ingin jawaban serius! ' semua teman gadis itu langsung memeluknya. Meminta bersabar sambil mencibir anak laki-laki itu. "

" Hebat bukan? Gadis itu memang frontal ketika bicara. Bukan berarti tak ada harga diri dengan mengucapkan cinta, tapi menurutku gadis itu memang selalu jujur dalam berucap—ia tak biasa berbohong. Wajahnya selalu aneh ketika berbohong, dan anak laki-laki itu tak menyadarinya—jika wajah temannya tak pernah aneh ketika mengutarakan cinta. "

"Ah maaf, aku terlalu panjang bercerita. Waktumu sudah habis, kau tidak mati! Hiduplah."

"Bagaimana akhirannya? Tanyaku yang terkejut ketika merasa memudar. Rasanya ini terlalu dadakan. Atau seperti aku menonton film dengan akhiran gantung.

"Luluh, bahkan jiwa keras kepala bagai batu akan luluh oleh tetesan air! Mereka bahagia, singkatnya menikah dan saat hari anaknya lahir—"

Tubuhku semakin pudar, rasanya aku terangkat ke atas meninggalkannya. "Dan apa?!"

"Tanyakan dirimu, atau Ibumu. Kau tahu, aku cukup sedih ketika kau bilang akan membenci Ayah yang seperti dalam ceritaku. Karena itu—"cahaya terang mejutupi pandangan. Hatiku terasa sesak sekali. "Aku!" suaranya yang lantang kini raib.

Perlahan, aku mulai sadar. Sadar dalam artian sadar terhadap ceritanya.

Jadi, cerita itu—anak laki-laki itu adalah Ayah? Orang yang bercerita itu Ayah? Kehabisan air mata, rasanya dadaku terjepit penyesalan. Aku belum sempat memeluknya, bahkan bercerita sebagai anaknya. Apa aku harus mati atau sekarat untuk bertemu dengannya dimimpi?

Kepalaku semakin pusing oleh cahaya terang, hingga kemudian meredup dan terasa ada tangan yang membantuku bangkit. Dua tangan, halusnya bagai tangan Ibu dan entah tangan siapa. Namun tegasnya aku yakin itu tangan Ayah. Punggungku serasa didorong oleh tangan-tangan kecil. Kemudian mereka berlari lantas tersenyum padaku. Samar aku melihat teman-temanku sedang main bersama dengan umur sama rata—kelas satu SD.

"Aduh-duh, cepatlah cepatlah. Menjemputmu itu melelahkan, "suara khas Arisa menggema dan baru aku sadar jika ia sudah menarikku menuju tempat yang amat terang. "Ayahmu juga Ibumu belum setuju kau mati muda atau koma lama. Jadi aku jemput."

Kami memasuki ruang cahaya itu, dan semua terasa samar. Seberkas senyum Arisa membuatky terpana—sebelum ia kembali pada senyum jahatnya. Tak kusangka, senyumnya bisa tulus juga.