Terdengar suara berseliweran yang tak mampu kumengerti jenisnya. Kepalaku bahkan terlalu pusing, paru-paruku rasanya penuh oleh asap—nyeri dan panas rasanya. Pandanganku tak begutu jelas dan penuh keburaman seakan aku ini kakek tua tanpa kaca matanya.
"Aduh-duh, kau nekat sekali ya," sesosok gadis bersurai pendek kini duduk dengan senyum khasnya. Kenapa hanya dia yang terlihat? "Ini mudah saja, toh keadaanmu antara sadar tak sadar. Aku bisa seenaknya menghantuimu—kalau kau ikut bicara paling banter orang-orang menyangka kau mengalami halusinasi. Wajar sih."
Entah jenis ekspresi apa yang ia tunjukkan. Ia nampak tersenyum ramah, tapi ada rasa khawatir yang entah untuk siapa—amarah juga terselip dalam wajahnya. "Kenapa kau bisa tahu?" tanyaku dengan suara cukup pelan.
"Siti tahu jawabannya, aku tahu dari dia dan bisa dibilang dia tidak langsung memberi tahu, "aku hanya menyimak. Apa Siti langsung dengan panik menghubungi ambulan, pemadam kebakaran, dan spontan menghubungi Arisa—jika iya untuk apa Arisa? "Matamu mengatakan, kau tak suka dijemput—kau mungkin memilih mati jika tak ada aku, kan?"
Pertanyaan yang tak bisa kujawab dengan pasti. Jila bisa, mati adalah yang ingin kupilih—ketimbang hidup dengan tunjangan nyawa orang. Di sisi lain, memilih mati hanya akan menyakiti Ibu. "Ya—mungkin tidak," jawabku sinis dan membuang muka. "Semua tewas?" tanyaku ragu sembari menggigit mulut. Semua memang tak jelas, aku hanya merasa seperti dibawa oleh tandu tapi tak ada hal jelas yang kulihat. Hanya Arisa yang terselubung memasuki otakku dan membuat dirinya terlihat.
"Keluarga itu? Ahh, semua mayat mungkin sudah dievakuasi. Tak lama lagi akan padam, bahkan sebelum pemadam kebakaran datang—Ibumu dan lainnya sudah cukup meredam api. " Arisa tersenyum kembali—meski terlihat namun tetap saja, sosoknya samar-samar. "Jika bisa bertahan, mungkin bayi itu selamat. Yah, untung saja kita sedang libur panjang. Kecuali kau koma atau mati—mungkin kau tak akan ketinggalan hari pertama. Aku pergi dulu, ini sudah batas, aku harus—" sosoknya pudar beserta kata terakhirnya. Semua benar-benar buram sekarang. Kukira mata kelabuku punya kelebihan aneh yang keren—ternyata sama saja.
Jika dipikir, mata ini hanya aneh bagi orang Asia. Orang Eropa mungkin merasa biasa saja.
***
Kudapati diriku terbangun. Dinding langit dan suasana yang kukenal—ini kamarku sendiri. Sesaat aku hanya mengira itu semua mimpi, namun rasa nyeri dari lecet masih ada. Rasa sesak sendiri masih ada—membayangkan asap mengambil alih paru-paruku. Namun, semua terhenyut oleh kehangatan lembut di sisi. Wanita yang usia dan penampilan tak sinkron—Ibuku terlelap sambil memeluk tanganku. Matanya tertidur sambil memeluk figura yang berisi foto pernikahannya.
Baru aku sadar jika orang dalam mimpi itu memang Ayahku. "Terima kasih," suara pelan terdengar olehku. Ibu berlirih tanpa mengubah posisinya—meski memejamkan mata air matanya perlahan menetes lagi. Ia terbangun. "Setidaknya kau—maksud Ibu sayangku, cintaku, my honey, dan hero-ku masih memilih bersama Ibu." Sesaat aku ingin tertawa mendengar tururannya. Tapi itu merisak situasi, kemudian Ibu benar-benar terbangun. Matanya masib sembab, ia langsung memelukku kencang dan berusaha menahan tangis.
Ada rasa bersalah juga membuatnya seperti ini, dalam lirih aku berminta maaf dan membalas pelukannya. Perlahan, aku merasakan sesosok orang yang ikut memeluk—kami bertiga dan kembali berdua. "Kau memang pahlawan—Ibu tak menyangka kaum rebahan yang kerjaannya tak jelas sepertimu akan menjadi sosok keren menembus kobaran api," baiklah—ini pujian yang terselubung hinaan dalamnya. "Tapi, jangan dibahas lagi. Tak pernah terjadi."
Ibu kemudian melepas pelukan, membantuku berdiri dan meski kakiku masih sakit oleh lecet. Aroma semerbak dari meja makan sudah membuatku berhalusinasi kembali. Aku melihat sosok Siti yang membawa bayi dipangkuan. Ia sudah seperti Ibu yang sibuk dengan rumah tannga.
"Kenapa? "tanya Siti menatapku sinis. Kepalaku yang masih pusing ini memberi halusinasi yang tampak nyata.
"Bu, mungkin aku berhalusnasi lagi. Siti jadi punya anak," Ibu terkekeh pelan membuatku bingung sendiri. Sementara aku menatap Siti yang memegang pisau dengan wajah dingin seperti pembunuh. Ia menghela nafas pelan dan mendekat—betapa nyatanya tante Siti ini.
"Jika kau memang berhalusinasi, "tamparan keras mendarat dan terasa panas di pipiku. Ku elus pipi dan semakin terlejut.
"Kau memang punya anak?!" satu tamparan mendarat lagi—sangat keras hingga kesadaranku rasanya kembali sepenuhnya. Wajahku terasa panas.
Hanya butuh satu kali penjelasan untuk membuatku mengerti. Poin pertama itu bukanlah halusinasi, kedua bayi itu nyata, dan ketiga itu bukan bayi Siti. Jika kujabarkan perpoin maka begini, kesadaranku sebenarnya sudah penuh dan nyaris dikatakan sehat—kebetulan baru bangun saja sehingga otakku sedikit ling-lung. Untuk poin kedua dan ketiga membuatku terhenyut senang dan penuh rasa bersyukur. Kenyataan berkata bahwa anugerahku tak selalu merenggut nyawa—setidaknya dari keluarga itu selamat satu orang tepatnya. Tapi itu lebih baik ketimbang semuanya tewas.
Bayi itu satu-satunya yang selamat, ia ditemukan berada dalam pelukanku yang sudah pingsan duluan. Dengan kata lain ini bukan bayi Siti hasil hamil diluar nikah—ini bayi tetanggaku. Sempat terjadi pertikaian selama aku tertidur pulas dua hari. Siapa nama bayi ini? Semua dokumen di rumah itu telah hangus, ia sebatang kara—selama ini pula tak ada kerabatnya yang datang. Semua menjadi membingungkan ketika keluarga mereka adalah tipe keluarga yang tidak membuka diri. Rumahnya selalu rapat, tak bercengkrama, tak ada informasi apapun yang didapat.
Maka, melalui proses panjang yang entah bagaimana hanya satu hari—bayi ini berpindah keluarga. Pertikaian adalah ketika bingung siapa yang akan mengadopsi. Tak ada yang ingin, tapi mereka tak ingin jika hidup bayi ini selalu di panti asuhan. Maka, Ibuku yang baru datang dalam rapat antar warga langsung menyacungkan tangan. Bersedia menanggung hidup bayi itu.
Kurang lebih, begutulah ceritanya. "Jadi, sekarang ia adikku?" tanyaku penuh harap. Ibu mengangguk dan Siti menyerahkan gendongan padaku. Mataku menatapa bayi ini—jiwaku meronta-ronta.
"Itu adikmu—bukan anak haramku, "ketus Siti dengan wajah dingin. Bodo amatlah dengan itu, aku langsung memeluknya lekat karena impian terbesar yang kumiliki adalah punya adik. Dalam catatan jarak umur kami memang lima belas tahun. Sempat terpikir olehku tentang usia pasti dan kapan lahirnya bayi ini—namun menurut informan terkenal komplek—Ibu-ibu penggosip kelas lambe turah di komplek ini memberi tahu.
Mereka pernah melihat keluarga itu sudah pulang dari suatu tempat. Terlihat wanita yang mengandung itu tengah kesakitan. Esoknya, kembali dan sudah ada bayi—mungkin itu adalah anak kedua mereka—mungkin. Tapi rasanya aku tidak peduli, walau notabenenya bukan adik kandung tapi rasanya menyenangkan. Jika di sekolah mungkin semua heran dengan sikapku yang biasanya dingin menjadi hangat—tapi di sini hanya ada Ibu dan Siti.
Ibu lebih senang aku ceria, Siti? Menurut ceritanya yang tak kuingat, saat kecil aku anak cerewet dan cukup bandel. Ia tidak masalah dan aneh dengan sikapku. "Itu adikmu, rawat sendiri, beri makan, bersihkan kotorannya, kalau ma—"
"Iya aku tahu—gaya bicaramu seakan aku ini anak kecil yang memelihara hewan saja, "ketusku pada Siti.
"Terserah, kalaupun anak itu tersiksa—nyawamu tanggungannya," kian hari Siti kian sarkas dan kali ini ia mengatakan itu sambil memegang pisau dapur dengan gaya pembunuh. Ibu hanya tertawa kecil, kemudian menambahkan, "sate manusia mungkin enak." Untung tak ada Arisa.
"Jangan bawa-bawa aku dipikiranmu! "suara ketus Arisa masuk langsung ke otak.
Hari libur pergantian tahun akan berakhir lusa nanti, hari ini tentunya aku selalu di rumah. Menjaga adik, rasanya aku sendiri bingung memanggilnya apa. Nama—Ibu tak ingin sembarangan memberi nama baru demi menghormati keluarganya yang telah tewas. Hingga, diantara puing-puing rumah ada warga yang menemukan papan gantung pintu dengan desain imut—pikirnya. Padahal itu desain klasik. Papan yang bertuliskan—sudah hangus. Tak jelas lagi.
Lalu, Ibu mulai mendapat gosip terpanas baru lagi dari tetangga. "Aduh Sis, kalau masalah nama—pakai saja yang asli," usul Bu Ina. Ia menutup mulutnya menggunakan kipas, bulu matanya berkelip-kelip sekali saat berkedip.
"Kalau tahu namanya, ya pasti pakai dong Sis, "timbal Ibu yang duduk dengan laga Ratu Cleopatra."Ada info tidak?" Ibuku seakan tidak waras jika sudah dipersatukan dengan Bu Ina. Kakinya dilipat satu ke kaki yang lain.
Bu Ina nampak mengingat semua artikel gosip yang ia buat di otaknya sendiri, lantas wajahnya sumringah. "Sis, tahu kan? Keluarga mereka itu tipe silent. Jarang sosialisasi—" kurasa mereka saja yang terlalu sosialita hidupnya. "Mereka itu, keluarganya blasteran semua, lho!"
"Serius? Ya ampun, rumahku serasa keliling dunia dong, "apa maksud Ibuku ini. Mengupingnya menggosip yang tidak to the point membuatku pening. Aku berusaha menutup telinga adikku ini, ia masih tertidur. Jika dipikir—ia sering tidur. Matanya jarang terbuka—mungkin ini berkaitan dengan peristiwa lalu.
"Ayahnya bule—cuma katanya kurang enak kalau di Indonesia. Jadi rambut pirangnya dicat—tapi matanya itu, "Ibu yang sudah tahu dan menebak langsung teriak girang sendiri. Berpikir jika mata biru itu turun ke anak yang kini keluargaku rawat. "Ibunya juga, turunan Jepang—"
Ibu yang kini meminum teh langsung tersedak karena tak menyangka. Bu Ina terkejut balik dan membantunya. Mereka terus menggosip—topik mengenai nama terlupakan oleh mereka. Kini sudah pukul empat sore, adikku tiba-tiba menangis kencang dan aku langsung kena bogeman ganas dari Ibu. Namun, kepribadian Ibu berubah seketika. Bagai bidadari yang datang, ia menimang bayi itu. Bernyanyi syahdu hingga Bu Ina merasa lupa akan seluruh gosip yang ia ingat.
Bayi itu kembali tenang, aku mendekatkan wajah intens. Walau aku ragu jika mata kelabu dinginku hanya akan membuatnya takut. Tapi ia tertawa kecil, kami merasa gemas. Perlahan, bayi ini membuka matanya—hanya terpaku melihat mata indahnya.
Saling tatap, dan mata kami—abu ke biru.
Rasanya—memang ada yang kami lupakan.