Hari, minggu, dan bulan-bulan berlalu cepat. Hingga sudah penghujung tahun dan aku bersyukur bahwa libur panjang telah tiba. Hari Sabtu ini adalah jari pertama kami libur, udara perkotaan yang biasanya tak enak sekarang sudah seperti parfum kelas dunia. Kasur yang sejak awal sangat nyaman menjadi lebih nyaman lagi. Ingin kuhabiskan sisa hidupku di sana.
Tapi, dewi fortuna seakan tak berpihak ketika beberapa kuman berkunjung dengan alasan bosan di rumah. "Aduh-duh, Grey tak suka kami datang?" sungguh Arisa, aku lebih senang jika yang datang itu teman Ibuku yang kecepatan gosipnya seperti kereta shinkasen. Ketimbang mereka yang daya gangginya setara sekumpulan monyet pencari pisang.
"Tentu tidak Arisa, Grey hanya pemalu, "gurau Ibu yang senang tak jelas. "Ibu senang kalian datang, rasanya anakku tidak kesepian." Bu, maaf saja. Kesenangan tentang anakmu ini yang berada dalam keramaian justru adalah penderitaan bagiku selaku anak.
"Sudahlah Grey. Ngomong-ngomong, Siti mana? "alis kananku langsung naik dan merasa bingung sendiri. Bukan hanya Siti, Arisa tiba-tiba menghilang.
"Kalian terlalu banyak melamun, lihat ke sana," Ibu menunjuk dapur. Dua gadis itu tengah melakukan kekacauan di sana. Siti dengan anggun seperti sedang memasak sesuatu. Pun Arisa dengan brutalnya memotong sayur-mayur. Cepat dan laganya seperti pembunuh. "Mereka ingin masak, lumayan kan? Biar Ibu tak begitu lelah."
Sesaat jakun kami naik turun saat meneguk air liur sendiri. Aku tak pernah tahu jika Siti bisa masak, entah racun macam apa nantinya yang ia buat. Lalu Arisa, dia lebih terlihat macam pembunuh ketimbang masak. "Diam dan perhatikan. Mata orang bodoh memang hanya menilai dalam satu pandangan," sarkas Siti yang seperti tahu isi pikiran kami. "Aduh-duh, biar laga begini juga aku sudah pandai menyembelih hewan," sambung Arisa yang membuatku dan Hassan semakin ngeri.
Ibu yang menunggu masakan langsung menyalakan televisi, jarinya dengan lihai mencari chanel yang menayangkan acara gosip arktris. "Jika sudah selesai beri tahu!"
Aku tak mengerti alasan mereka betah dirumahku. Padahal di sini ada enam hantu, walau aku tidak yakin jika Siti bisa melihatnya. Hassan menjelaskan, dia datang karena kebetulan rumahnya tak ada orang hingg beberapa hari kedepan. Ibu dan Ayahnya sedang di negeri tetangga—orang kaya, urusan perusahaan. Arisa? Ia sedang bosan dan mencari hiburan. Bahkan orang tuannya sempat protes ketika Arisa menghabiskan masa libur dengan memburu tikus di rumah.
Siti kerabatku, aku tahu pasti alasannya. Ia membawa ransel cukup besar karena akan menginap—pasksaan Ibu karena ingin teman memggosip di rumah. Siti hanya berbakat dalam hal sarkas, bukan pergosipan. Setengah jam berlalu sudah, dua gadis mencurigakan itu selesai masak. Hidangan tersaji, aku dan Hassan saling tatap. "Merah sekali," lirih Hassan menatap salah satu hidangan berkuah, "lihatlah cabai utuh ini," tambahku sambil menunjuk hidangan lain.
Ibu langsung mematikan televisi dan berlari, ia mengambil nasi dengan porsi tukang bangunan. Nasi hangat dengan segal lauk pauk mencurigakan. "Ini enak sekali! Tak kusangka kalian hebat dalam masak," Ibu semangat menyantapnya. Arisa dan Sarah ber-tos ria merasa puas. Ada tiga piring, yang kurasa aman adalah piring dengan isi sayur bayam. Itu aman kurasa. Dua piring lain tidak meyakinkan, yang satu berkuah merah panas berletup-letup. Satu lagi aku tak mengerti itu jenis daging apa. Kuharap bukan daging manusia—curigaku ini ketika tahu Arisa sengaja bawa daging dari rumahnya untuk masak.
Tapi kami salah menilai, setidaknya makanan itu jaub lebih enak dari masakan buatanku sendiri. Meski dalam artian rasa pedas itu membuat Hassan tak hentinya ke toilet.
***
Malam pergantian tahun, tentu malam indah dengan segala kenangan indahnya pula. Kembang api, bakar-bakaran rumah—maksudku jagung dan semacamnya. Juga menghabiskan tahun dengan keluarga secara lengkap. Lalu, apa itu bisa dinikmati semua orang? Jika memandang status sosial tentu bisa. Tak ada larangan jika orang yang tak mampu tidak boleh bahagia saat tahun baru.
Tapi, tak semua keluarga bisa menikmatinya. Bahkan bagi orang kaya yang hartanya mengalir tujuh turunan macam Hassan—ia tak mampu bahagia. Hanya sendiri menatap langit malam penuh kembang api barangkali orang tuanya terlalu sibuk bekerja. Rasanya, aku sendiri sudah sangat beruntung. Meski hanya berdua dengan Ibu, namun cerita dan kehangatan darinya membuat soaok Ayah terasa ada. Pun ia sendiri meneteskan air mata secara jujur. "Tapi Ibu bahagia," pengakuan itulah yang membuatnya selalu jadi motivasi hidupku.
Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam, masih ada satu jam sebelum tahun berganti. Cuaca sungguh mendukung dikala tak hujan. Suara terompet memekakan telinga—berbalas teriakan Pak Ucup yang tengah sakit gigi. "Grey, kita akan terjaga selama satu tahun. Hebat kan? Tak tidur selama itu." Humor Ibuku macam guru di sekolah. Satu tahun dalam artian kami melewati hari terakhir tahun tanpa tidur.
"Sudahlah, apa Ibu tak bosan bilang begitu setiap tahun baru? "selidikku yang menatapnya intens. Kemudian ia tertawa pecah tak jelas bagai kerasukan.
"Kau ini, sulit diajak bercanda. Tapi Ibu bersyukur, walau ounya anak yang wajahnya tak terlalu tampan seperti arktris terlibat skandal—" jadi dia ingin anaknya setampan arktris yang terlibat skandal? "tapi setidaknya Ibu menyukai matamu. Juga segala hal yang ada padamu, pengecualian sarkasnya."
Aku hanya tersenyum kecil, berharap malam ini baik-baik saja tanpa ada hal aneh yang mengganggu. Mata kelabuku menelisik langit dan mulutku sudah terisi jagung bakar hambar buatan Ibu. "Sebentar lagi."
Berdua menatap langit secara romantis yang sesekali terganggu oleh notifikasi dari Arisa juga pengganggu lainnya. Hampir juga aku melupakan Siti yang menginap dan tengah membalar jagung. "Buatan Tante rasanya seperti air kobokan," maka ia menggantikan Ibu membuat jagung bakar. Kemudian, datang membawa jagung bakar baru yang aromanya saja sudah memikat selera. Kini kami bertiga.
Penduduk komplek berada diluar rumah, mereka bersiap menyalakan kembang api. Lantas waktu semakin tak terasa. Semua menghitung mundur sepuluh detik terakhir. "Sepuluh! Sembilan! Delapan!" terus berhitung hingga. "Dua! Satu! Nol!"
Desingan banyaknya kembang api melintasi malam, sepersekian detik itu pula meledak. "Bumm!!" puluhan ledakan terdengar yang membuat telinga kami tuli sesaat beserta jantung berhenti sesaat.
"Ada ledakan lain! "teriak Siti panik.
"Hah?—" saat itu pula banyak yang menjerit terkejut dan berhimpun.
Ledakan kembang api yang indah, riaknya terus mengisi malam. Sayang oh sayang terlupakan, ledakan itu lebih memikat.
Satu rumah meledak hebat dan kobaran api menggila. Inikah yang sempat kupikirkan tadi? Bakar-bakaran rumah.
Nasib buruk kah? Yang kebetulan semata saja. Atau karena pikiranku sempat senewen hingga anugerah mengerikan itu aktif.
Dalam waktu satu menit kurang Ibu sudah dah berlari menarik selang terpanjang dan memasukan ujung keran air ke lubang selang. Ia berlari penuh kejut berusaha memadamkan api. "Euamhnya dekat rumah kita! Teriak Ibu yang khawatir api itu menjalar. Mataku hanya bisa menatap Ibu yang berada di depan kobaran api bersama para orang dewasa lainnya. Semua memadamkan api.
"Ada orang di dalam?!" tanya ketua RT—Pak Zuned. Semua mengangguk sigap sebagai jawaban.
"Ada! Satu keluarga! "dalam hati aku meneriaki betapa bodohnya keluarga itu yang memilih diam di rumah tak mau melihat kembang api. "Pemadam kebakaran! Panggil."
"Sudah," Siti berlari menghampiri mereka sambil memegang ponsel. Ia juga memanggil ambulan karena ada keluarga lain yang paling dekat rumahnya nampak jantungan hingga pingsan. Siti cekatan dalam sitausi bahaya.
Api berkobar semakin besar, banyak yang menangis karena rumahnya terkena rambatan api. "Sebelum datang, jangan menyerah!" teriak Ibu yang masih memegang selang.
"Semangat! "golongan muda hingga dewasa berbondong-bondong membawa ember berisi air dan menyiram sumber api. Kakiku lemas melihatnya, walau sekelibat aku mendengar jeritan dari dalam rumah.
"Bukan waktunya melamun!" suara anak kecil itu memecah lamunanku dan enam pasang tengan mendorong punggungku. "Selamatkan!" entah dprongan dan kebodohan apa yang datang. Dorongan itu membuat kakiku spontan berlari mwnuju lokasi.
"Jangan masuk! "teriak banyak orang yang baru sadar aku berada di ambang pintu. Namun tangan lembut meraih tangaku untuk masuk kedalam rumah keluarga yang selalu menutup diri ini. Teriakan Ibu memecah telinga dan perlahan redup ketika bagian depan rumah ini ambruk menutuo jalan.
Rasanya langkahku dituntun, bahkan aku memang melihat keenam temanku ini ikut masuk walau mereka tak bisa membantu apapun. Api berkobar panas dari dalam rumah, lemari kayu jatuh hampir menimpaku. Dinding langit runtuh pula yang sedikit melukai jidatku hingga berdarah. "Arghh, sialan. Kenapa aku masuk?!" sungguh bodoh baru menyadari hal itu.
"Bukan soal kenapa, tapi selamatkan satu nyawa sajalah! Kami mohon, "entah siara dari hantu temanku yang mana. Namun sorot mata mereka menunjukkan permohonan kuat. Kakiku yang lemas terasa ikut terbakar api, beberapa luka lepuh mulai muncul.
Jujur, aku sidah bosan menjadk penyebab kematian, mala satu nyawa saja sebagai permulaan. Untuk diriku yang mencintai kehidupan. Dengan langkah tertatih aku menelusri rumah dan kengerianku memuncak. Gadis yang mungkin seumuran denganku penub luka dan terkapar dalam timbunan langit dinding rumah. Bada sisi kirinya tertimbun. Matanya masih terbuka, senyum kecil mengembang. "Kumohon, satu nyawa saja." Ia menunjuk salah satu pintu. Tangisnya mengalir perlahan sebagai bukti pasrah, masih tersenyum hingga matanya tertutup rapat.
"Akan kupenuhi permohonanmu, "aku berdiri dan berusaha menahan halusinasi ketika asap kobaran api semakin memasuki paru-paru. Dengan langkah getir aku memasuki suatu ruangan, ruangan yang mulai terlahap api dengan segala perabotan hancur.
Dengan penuh terkejut lagi aku melihat dua orang dewasa yang sudah tak bernyawa tengah memeluk satu sama lain. Air mataku sesaat berlinang, "nyawa siapa yang bisa kuselamatkan?" namun pertanyaan itu terjawan sudah. Tangis bayi di balik sepasang mayat suami-istri itu. Saling melindungi sang bayi. Mayat mereka sudah kaku, dengan penuh tenaga dalam keraguan aku melepas pelukannya pada sang bayi.
"Maaf terlambat, "aku berusaha tersenyum. Namun perlahan, penglihatanku mengabur. Nafasku mulai sesak dan mataku terasa sangat panas. Sambil memeluk bayi itu, kesadaranku hilang.