Ini bukan hal baik. Entahlah, sejauh ini aku sendiri masih bingung dengan hidupku sendiri yang rasanya tidak diisi oleh hal baik. Ya wajar saja, tapi kurasa semua orang seperti itu. Seindah apapun hidup, pasti ada yang namanya bagian buruk. Benar kan? Kuharap ya, alasanku tetap hidup karena aku menganggap semua punya masalah, jika keyakinan itu goyah—barangkali namaku ada di batu nisan. Atau sekolah sudah menghapus namaku sebagai daftar muridnya.
Mungkin terdengar cepat, tapi ketahuilah jika hidup takkan terasa ketika kita menikmatinya. Lembaran baru kubuka, dengan tinta merah yang lalu. Takkan kulari lagi, toh hal buruk bisa melabrak langsung dalam pelarian.
Kini, tepat di hadapanku sebuah gedung sekolah menjulang—tidak, itu terlalu hebat. Sudah kubilang kan, waktu akan terasa cepat berlalu. Ujian Nasional sudah kulewati, seragam putih abu yang cukup selaras dengan mataku kini kupakai. Bagi yang belum tahu, mungkin mereka penasaran dan mulai mendekatiku. Pertanyaan dan kekaguman pada sorot mataku, berusahalah aku seramah mungkin.
Pada akhirnya, mereka tetap mati. Entah kenal atau tidak denganku, selama mereka berada di radius 'anugerah' pembunuh milikku. "Aduh-duh, aku senang bisa sekelas lagi denganmu. Sejak SD ya?" itu benar. Saking terbiasanya aku mentolelir keberadaan Arisa yang sudah seperti kuman. Dia naik pangkat—kutu menjadi kuman, faktanya manusia lebih menyadari dan menghapus keberadaan kutu ketimbang kuman kan?
"Ya, saking lamanya aku sampai bosan menatap wajahmu," tunggu, rasanya jawabanku salah.
"Aduh-duh, aku terharu dan senang jika kau selalu menatap wajahku. Akan lebih senang jika kau menyu—"aku menimpuk mulutnya, entah kenapa cintra introvertku selalu rusak bila dekat dengan manusia satu ini. Entah kenapa pula, selama tiga tahun berada di SMP yang sama membuat wajahku terasa panas bila dekat dengannya. "Dasar pemalu. Ngomong-ngomong, kita sekelas lagi dengan Hassan. Juga Siti yang sekretaris OSIS dulu, senangnya," dia berkata senang dengan senyuman indah tapi seperti biasa terlihat menyeramkan.
Demi memenuhi bayaran anugerahnya, Hassan benar-benar menjadi ketua kelas lagi. Ia kebablasan bergabung dengan OSIS juga, aku yakin tak lama lagi Hassan menjadi ketua OSIS. Lalu Siti, ia menjadi sekretaris di kelas. Tulisannya indah sekali, pendataan yang dilakukannya selalu akurat. Arisa? Tak tahulah isi pikirannya yang tiba-tiba mengajukan diri sebagai keamanan. Lalu aku, seperti biasa tak menjadi apapun. Gosip tentangku juga mulai menyebar, lihatlah sekarang—hanya tiga kuman itu yang mau dan berani mengobrol dengaku selain guru.
Guru belum percaya sampai saat ini, mereka belum kena.
Aku belum tahu juga jika guru bisa terkena dampak anugerah milikku, hingga fakta datang sendiri.
***
Hujan rintik sendu mengisi jam pelajaran matematika yang selalu memyebalkan bagi banyak orang. Di sebelahku, Arisa yang memang sengaja memaksa duduk sebagai teman sebangku nampak tersenyum seraya mencatat. "Aduh-duh, hanya dugaan yang aku jamin benar. Sekarang waktunya." Aku hanya diam karena tak tahu maksudnya.
Fokus kami sedikit terhambat ketika petir tiba-tiba menyambar, teringat seseorang yang mati di lapang. Kurasa, kalaupun ada kasus maka bukan karena petir.
"Kerjakan satu soal ini, yang sudah langsung tunjukkan, "tegas seorang guru matematika. Wajahnya entah kenapa selalu marah dan menyebalkan. Tapi dia tetaplah guru, hormatilah!
Tak butuh waktu lima menit, aku mengangkat tangan dan berdiri untuk mengumpulkan. Banyak yang nampak terkejut dan menunduk takut, sesekali aku jahili dengan melotot dingin bagai hantu pada mereka. Arisa yang tak jelas eksistensinya sebagai manusia dan hantu langsung tertawa kecil. Ngomong-ngomong, hari ini semua teman SD ku tengah di rumahku, di kamar merayakan ulang tahun Pim ke-16 dengan fisik anak kelas satu SD. Kamarku jadi tempat hantu berpesta.
Langkahku sedikit perlahan dan memberikannya pada guru. Wajahnya sedikit tersenyum walau aku tak yakin itu senyuman. Memeriksa setiap angka yang kutulis, "jawabanmu benar."
Aku duduk kembali ke habitat, banyak yang menghela nafas lega. Mereka pikir guru itu kan tiba-tiba bunuh diri dengan mengeluarkan pisau dan menusukkannya pada leher, atau penyakitnya tiba-tiba kambuh. Tapi kurasa bukan. Dalam lamunan pada papan tulis, aku melihat aura kehitaman di belakang guru itu. Darah gelap dan beberapa potong tubuh hancur berserakan dekatnya, hantu siapa itu? Sangat hancur. Sampai aku baru sadar, kepala menggelinding bersamaan dengan helm.
Mata Arisa melirikku, Hassan yang duduknya cukup dekat denganku melempar penghapus sebagai kode. Aku baru ingat, setelah lulus SD hantu pengendara itu memang jarang kulihat. Kemunculannya, mendatangkan firasat buruk padaku. Wajah kami sedikit tegang, namun suara kursi bergeser memecah semuanya.
Siti berdiri dan berjalan santai mengumpulkan tugas. Jika ia melihat, maka sejatinya ia akan jijik atau gemetar ketakutan berjalan diantara darah kotor itu. "Ini, silahkan periksa," tatapan Siti sangat dingin. Tapi entah kenapa aku merasa dia sedang gugup, mungkin kurang yakin dengan jawabannya. Terlihat kakinya yang banyak gerak maju mundur dan kadang seperti menggarukan kakinya pada meja guru.
"Jawabanmu juga benar, Bapa pergi dulu ke ruang guru ya. " Guru itu berdiri dengan genangan darah dan pecahan tubuh yang mengikuti. Di ambang pintu aku menahan nafas, Arisa berdiri dan mengatakan izin ke toilet. Angin sangat kencang dalam hujan ini, pohon besar seakan ingin lepas dari pijakannya. Banyaklah yang berterbangan karenanya. Aku sedikit mengintip, dan angin sangat besar menerpa seisi kelas membuat mata kami kelilipan.
"Arisa! "terdengar teriakan kuat yang membuat kami tersentak. Dengan cepat mengambil langkah seribu dan menuju selasar kelas. Mata kami terkejut, air hujan yang mulai banjir sudah terkontaminasi cairan merah. Ranting besar, dengan ujung yang cukup tajam akibat patahan terhempas tepat ke depan kelas yang mana Arisa dan guru itu berjalan.
Semua mata terbelalak, sisi tajam ranting itu mengoyak tubuh dan leher guru matematika kami. Darah menyebar, Arisa diam sedikit tersenyum sendu tak jelas. Ia duduk perlahan dan menempatkan kepala guru itu di paha mulusnya. "Aduh-duh, ini memang tiba-tiba. Pak, kalau kulihat dari sorot matamu ini—keinginan terkhirmu pasti hanya ingin kami lebih rajin matematika kan?"
Semua masih terbungkam kaki mereka terasa lemas pastinya. Tak mampu berteriak dan menjelaskan dengan kata-kata. Guru itu mengangguk dan batuk darah. Darah itu menyembur pada seragam dan wajah Arisa, ia hebat—bahkan aku yang sudah sering menyaksikannya tetap merasa lemas melihat darah sebanyak itu.
"Tolong bantu panggil guru lain, "Arisa menoleh pada kami dengan berlumuran darah. Tersenyum dengan tatapan lembut. "Jangan teriak ya."
Barulah detik itu hampir semua murid teriak, ada yang trauma dan langsung pingsan, ada yang sempoyongan memanggil guru. Hassan sebagai ketua kelas berusaha menjaga situasi agar tak kacau, Arisa mengelus rambut dari jasad guru itu. Aku sedikit membantunya mengelap wajah bersimbah darah itu dengan sapu tangan. Semua pasti belum terpikir dengan keberadaanku yang terkutuk.
Hingga, seorang gadis mengetuk pintu kelas yang terbuat dari kayu itu. "Semuanya, kumpulkan dulu tugas matematika tadi. Guru dan orang dewasa sudah datang." Semua tertegun dengan dinginnya sikap Siti. "Oh iya, aku lupa. Ini bukan urusan anak-anak macam kita, masuk cepat ketimbang menghambat."
Bahkan, guru lain yang baru datang terkejut atas sikapnya. Kelas kami, segera menjadi topik pembicaraan. Sampai masuk berita, untukku—semua semakin percaya bahwa aku penyebabnya. Tak apalah, biar begitu.
Pulangnya, berat badanku bertambah satu kilogram. Nyawa mereka adalah nutrisiku. Dalam diam pula, Arisa yang sengaja berkunjung ke rumahku bersama Hassan dan Siti habis-habisan mengganggu malam. Tunggu, aku tak ingat Siti ikut.