Chereads / EVANESCENT / Chapter 9 - 9. Kerapatan yang Hampa

Chapter 9 - 9. Kerapatan yang Hampa

Jika manusia itu lahir untuk menyakiti, maka pasti ada alasan untuk mengasihi. Sudahlah, lupakan itu. Pada akhirnya aku sendiri hampir lupa bahwa kisahku ini masih tetap kisah sederhana. Ada berbagai kesalahan dalam kisahku, kesalahan yang terjadi tanpa disadari. Ada kemunafikan nantinya, yang jelas ini masih kisah sederhana. Takkan kubiarkan hidup orang lain menjadi rumit karenaku. Maka, kisahku tentu selalu sederhana.

Pagi ini, giliranku yang memasak untuk sarapan. Suara denting penggorengan dan aromanya mulai semerbak. Itulah pendapat Ibu yang sejak tadi di meja makan dan menunggu makanan. "Cepatlah, Ibu lapar."

Aku tersenyum, dan menatap lembut. Jika niat, mata kelabuku memang bisa membuat siapapun termasuk nenek-nenek merasa terpikat. Tapi jika itu anak kecil, mereka biasanya spontan menangis, meledekku pedophile. Tampan? Menurut Ibuku aku cukup tampan untuk ukuran anak yang selalu bodo amat. Menurut Ibuku memang, lagipula mana ada Ibu yang menghina anaknya jelek. "Tenanglah, sudah selesai kok."

Dengan laga chef handal, aku menghidangkan makanan yang hanya berupa nasi goreng dengan tambahan bakso, sosis, dan sedikit sayuran. Bukan makanan mewah, tapi Ibu mengajarkan bahwa makanan biasa bisa lebih enak jika dihidangkan dengan cinta. Tunggu, bukanakah sama saja jika kita tak tahu bumbunya? Sama-sama tak enak.

"Tak salah Ibu mendidikmu, walau hanya sendirian, "sorot matanya berubah kalut, dengan mulut yang masih penuh.

"Apa Ibu masih belum rela?" tanyaku sehalus mungkin dan menyamai caranya memandang.

"Ah tidak-tidak, tentu tidak. Ibu tak punya hak untuk bersedih, sekarang kau cepatlah sarapan juga. Lalu pergi ke sekolah, lagipula jika Ibu merindukannya, Ibu hanya perlu melihatmu. "Ia menyantap lagi nasi goreng itu, mengunyah cukup cepat hingga tak kusadar sudah habis. "Sosoknya, tergambar padamu. Walaupun dia itu sedikit berisik."

Aku mengangguk karena bingung menjawab apa. Sejatinya aku sendiri belum begitu tahu mengenai Ayah, Ibu hanya bercerita ia adalah orang yang keras kepala sepertiku. Bedanya aku tipe diam, dan dia tipe berisik. Ibu bilang, Ayah sudah pintar sejak kecilnya—menandakan jika mereka sudah kenal sejak masih masa kanak-kanak.

"Mungkin, Ayahmu melanggarnya dulu," Ibu berdiri dan menenteng tasnya, ia tersenyum lembut.

"Melanggar apa? "namun Ibu sudah berada di ambang pintu seakan tak mau banyak ditanya olehku ini. Ia pamit untuk kerja, padahal langit masih belum terang oleh fajar. "Sudahlah," lebih baik aku menghabiskan sarapan ini. Hingga pukul enam pagi, aku berangkat ke sekolah. Berjalan biasa saja. Meski pagi, aku sudah dihadapi hal menyebalkan.

Arisa tiba-tiba muncul di sebelahku, ia tersenyum sambil berjalan mundur seenaknya. "Aduh-duh, sejak dulu kau selalu muram. Padahal, aku akan lebih menyukaimu jika kau tak muram."

"Eh? "namun ia yang tak jelas ini langsung berlari mundur sambil melompat-lompat di tengah jalan. Caranya menyebrang sangat ekstrim.

"Hap-hap," ia melompat anggun ketika truk besar hampir menabraknya. Banyak yang merasa jantungan, karena biarpun anugerah Arisa membuatnya seperti setan tapi sisi manusianya lebih tinggi. Ia tak bisa menyamarkan sosoknya, apalagi menembus, paling mentok ia tiba-tiba muncul karena mampu menghilangkan hawa keberadaan. Ia bisa saja tewas.

Supir truk tadi sepertinya jantungan juga karena hampir menabrak seorang gadis. Sementara Arisa hanya tersenyum sambil melambai-lambai padaku. Aku menyebrang dan bersama kami melewati gerbang sekolah. Suasana belum terlalu ramai, ada beberapa pengurus OSIS berjaga.

"Kaus kaki, "mereka meminta kami menunjukkan kaus kaki. Lantas manggut-manggut karena kami tak melanggar apapun secara penampilan. Sorot mata mereka sangat jutek. Tepatnya mereka malas mendapat tugas berjaga, karena sesekali ada murid yang ngotot dah malah membuat keributan ketika hendak diberi sanksi atas pelanggaran. Lupakan mereka.

Saat kami masuk kelas, semua murid yang awalnya merumpi ria hening seketika. Bubar dan duduk di kursi masing-masing, semua tersenyum pada Arisa. Untukku? Hanya Hassan dan Siti yang menyapa. Walau Siti hanya mengangguk kecil. Semua semakin takut padaku, mungkin mereka tak menyangka jika guru bisa terkena kutukan itu.

Kelas tengah hening, bisikan apapun terdengar olehku. Rasanya aku menjadi buah bibir, banyak yang berharap aku mati. Mereka nampak menyusun rencana agar kedepannya aku tak betah dan pindah dari sekolah. Tapi, untuk apa aku pindah. Adanya, mereka dikeluarkan karena membully siswa. Terlebih, hati guru sudah dalam genggaman. Sekali lagi, suasana kelas nampak menyebalkan.

"Mohon perhatian! "semua terperanjat seketika saat bergosip ria. Semua terkejut, Siti sudah berdiri dan menatap tajam namun dingin ke seisi kelas. Tangannya menenteng kertas. "Tadi, aku diberi kertas tugas ini. Guru matematika pengganti belum ada, jadi guru lain memberi tugas." Semua hanya mengangguk, bahkan tak ada yang sadar jika Siti pergi keluar kelas untuk meminta tugas. Bahkan kami tak sadar jika bel masuk berbunyi beberapa menit setelah kedatanganku. Tangannya cekatan menulis soal di papan tulis, sangat rapih. Hingga tak ada tulisan yang tak terbaca, tubuh tinggi Siti membuatnya mudah menulis pada bagian atas papan tulis. Banyak anak laki-laki di kelas atau luar kelas yang takjub dan menyukainya.

"Ratu Es" adalah julukannya, rambut hitam dengan tatapan dingin. Tubuh tinggi semampai, dan sangat bertalenta. Tak malu aku punya kerabat macamnya, "Hassan, maaf lupa. Tadi, kau dipanggil Bu Hani. Mungkin seperti biasa." Siti lanjut menulis, sementara Hassan keluar kelas. Seperti biasa bukan berarti Hassan selalu dipanggil guru karena bermasalah, tepatnya ia adalah murid teladan andalan guru. Bu Hani selalu meminta tolong memeriksa nilai ulangan kelas lain. Imbalannya? Hassan mendapat bocoran soal ulangan. Tapi ia terlalu baik, semua bocoran soal selalu ditolak. Padahal itu hanya berupa gambaran soal. Bukan soal pasti apalagi contekan.

Hingga seisi kelas menjadi fokus, hanya terdengar suara gesekan antara pensil dan kertas. Biarpun tukang gosip, tapi sebenarnya kelasku adalah salah satu kelas unggulan. Bukan berarti isinya kutu buku dan orang-orang baik atau sebagainya. Setidaknya kelasku ini selalu rajin—lagipula kelas tanpa kehadiran si nakal pasti membosankan.

"Grey, boleh aku tanya sesuatu? "Arisa tersenyum padaku.

"Itu kau sudah bertanya tentang boleh tidaknya," aku kembali pada buku. Sementara Arisa tersenyum penuh emosi, tangannya mengepal. Lagipula rasanya tak mungkin Arisa bertanya tentang pelajaran. Ia sangat pintar.

"Aduh-duh, pulang nanti aku ingin kau mengantarku. Boleh kan? "sesaat aku mencerna kalimatnya. Intinya, ia meminta antar ke suatu tempat—tunggu! Minta antar?

"Kemana dan untuk apa?" tanyaku sinis. Ada rasa ingin menolak langsung, tapi hatiku yang lain ingin menerima ajakannya saja. Tapi, kenapa aku diajak?

"Hanya beli buku ke toko buku. Untuk apa aku mengajakmu, tentu karena aku senang berada dekatmu, "wajahku tiba-tiba panas dan rasanya sudah seperti kepiting rebus. Buru-buru kualihkan wajah ke buku, Arisa tertawa kecil dan mengumpulkan buku."Aduh-duh, kau mudah sekali ku goda."

Sesaat,aku terpikir cara untuk membalas dendam padanya. Hal mudah yang selalu tak ingin kupedulikan dan tak ingin kutunjukan. Ia pasti tergoda, atau setidaknya tersipu. Sudah kuduga, citra sebagai orang introvert dan bodo amat akan mudab rusak ketika berada dekat Arisa. Ah sudahlah.

Delapan jam sekolah cukup melelahkan, kini aku sudah tepat di depan suatu toko buku. Arisa menarik kerah leherku dan menyeret. "Lepaskan," tepisku. Namun ia bersikukuh, padahal rasanya tak enak dilihat. Ia pendek, tingginya kurang dari bahuku. Ketika menarik kerah seperti sedang meraih bintang langit. Terlalu jauh.

Suasana cukup ramai, banyak yang datang untuk beli dan adapula yang hanya lihat-lihat lantas membacanya di lantai. Pandangan mereka sedikit teralih pada kami. "Serasinya, tinggi dan rendah. Hihi," bisik salah satu pengunjung. " Tak sudi aku, menikah dengan Arisa sama saja merusak keturunan. Tak ingin aku jika punga anak yang sama cebol dan sinting sepertinya. Tunggu, sejak kapan aku bisa berpikir hal itu?

Sesaat memang biasa saja, namun semua menjadi hening. Beberapa langsung pergi menatapku ngeri. Aku baru sadar jika banyak pengunjung yang berasal dari sekolah yang sama denganku. Beberapa ada anak sekolah lain yang sepertinya pernah satu SMP dulu.

"Munafik, "gumam Arisa. Ia sudah mengambil beberapa buku. Hanya ada dua buku pelajaran, beberapa novel genre pembunuhan dan ada buku yang membahas kasus pembunuhan lampau. Suka sekali dia dengan hal itu. "Tenanglah, bukan berarti aku psychopat atau apa. Aku hanya suka hal berbau misteri." Sifat bawaan sejak dulu, selama itu misteri ia suka. Seperti misteri dibalik alasan temannya ditolak oleh Kakak kelas, bahkan misteri hilangnya pulpen yang ditinggal di meja.

Sesaat, aku merasa nyaman dan tersenyum kecil menatapnya. Hingga, ia berbalik menatapku. Tersenyum simpul, kualihkan pandangan dan barulah ku sadar jika di belakang kepala ada sebuah pistol ditodongkan.

"Diam, dan serahkan uang! " ya, kami menjadi sandra.