Layar televisi yang buram nampak menunjukkan berbagai berita pada salah satu chanelnya. Entah berita politik, kasus narkoba, korupsi, dan berbagai kasus yang melibatkan nyawa sangatlah banyak. Entah kapan pula dunia bisa damai dari merenggangnya nyawa seseorang secara tak alami atau bisa dibilang terbunuh.
Kalau tidak salah, aku menyadarinya waktu kelas satu SD. Pada hari cerah itu, tentu semuanya termasuk aku tengah semangatnya sekolah. Kebiasaan kami di TK masih terbawa, tapi bukan itu masalahnya. Kami masih polos dengan berjuta pertanyaan per hari, ataupun kami masih polos dengan cara bicara kami yang kadang melantur. Anak perempuan membahas hal feminimnya, entah itu barbie, atau hal lain yang sekiranya tidak berguna jika sudah besar. Kamipun sama, membahas robot pada film kesukaan, berebut siapa superhero kesukaan, dan hal konyol yang kadang menjadi pertengkaran.
Aku sangat senang, mungkin. Sejauh itu pikiranku masih dihantui oleh kecelakaan yang kulihat. Mimpi bersimbah darah, bisikan bahwa semua itu salahku, bahkan ajakan untuk ikut mati selalu menjadi buah tidurku. Jika bisa, aku ingin mati hari itu juga tanpa bunuh diri, ingin kuganti pula mimpi bersimbah darah itu menjadi mimpi benuh gelembung sabun dan bebek mandi. Tapi, entah kenapa aku yang masih kecil tak kunjung menepis rasa bersalah—apa itu kesalahanku?
Banyak yang mengatakan bahwa supir truk itu tengah menyapaku yang sedang menyebrang. Para sanksi mata lain juga mengatakan pengendara motor itu salah fokus padaku yang tengah mengupil. Lantas, mereka kecelakaan begitu saja. Tatapan menyalahkan, padahal sejatinya saat itu aku sedang diam melamun. Tak ada yang menyapa, atau adegan ku mengupil. Aku belum sadar jika pandangan semua orang berubah saat itu.
Terjadi lagi, dan ini sungguh merusak kehidupanku.
"Gray! Hari ini, pulang lewat mana? Tanya Pim dengan polosnya—namanya Maulana Pelita, entah kenapa menjadi Pim dipikiran kami.
"Lewat biasa, "jawabku yang sebenarnya bingung. Pim menyernyitkan dahi, seakan tidak mengerti.
"Ada tujuh jalur untuk kau pulang, setiap haru berbeda yang dipilih. Mana yang biasa?" baiklah, kurasa aku bodoh disini. Mengatakan seolah aku selalu menggunakan satu jalur padahal selalu berbeda tergantung keinginan. Pim sendiri cukup pintar untuk anak seusia kami, menyadari hal kecil dan berbicara tidak seperti anak-anak. Kala itu, aku hanya tersenyum menunjukkan deretam gigi yang salah satu jendelanya terbuka.
Semua teman sudah pulang, atau tepatnya mereka di lapangan untuk bermain bola sehabis pulang sekolah. Hanya aku dan Pim yang terlalu rajin untuk piket kelas. Hingga, kepalaku seakan bergoyang—tepatnya tubuhku juga. Perlahan tapi pasti hiasan gantung di kelas bergoyang seperti bandul. Aku dan Pim diam dan baru tersentak ketima melihat bingkai foto kelas kami terjatuh secara mendadak.
"Gempa! "teriakan itu terdengar berulang kali, bodohnya aku yang tak mengambil langkah seribu atau berlindung di balik meja. Aku hanya diam, menatap kosong dengan jantung yang berdegup tak karuan.
"Gray!" tangan Pim menarikku cepat dan justru kami terpeleset. "Gray, cepat lari!" Pim menangis saat itu pula. Kakinya terkilir, semua orang dewasa hanya fokus pada anaknya sendiri. Semua guru terfokus untuk menolong murid kelas masing-masing. Kami terlupakan, getaran semakin kuat pula. Aku berdiri dan menarik Pim, namun mataku terbelalak melihat sesosok orang yang menggunakan jaket dan celana serba hitam tengah berdadah ria bersimbah darah dan kepala di tangan kirinya.
Rasa mual dan ngeri langsung membuatku kaku saat itu juga, tubuhku lemas. Padahal hanya satu meter lagi ke pintu, "Gray! Jangan dilihat, cepat pergi saja!" Pim menyadari sosoknya, ia mendorongku kencang hingga keluar dari pintu. Sementara dirinya tersenyum dan mulai ditelan oleh dinding langit kelas. Semua terjadi begutu saja, dibalik runtuhan darah mulai mengalir keluar. Debu bertebaran, pandangan kabur dan kesadaran hilang.
***
Untuk kali ini, aku memang menyalahkan diri sendiri. Ya, itu kesalahanku sehingga Pim mati hanya demi satu nyawa yang kerjaannya melamun saat nyawa di ujung tanduk. Tak apalah disalahkan, semua gunjingan dan tatapan bahwa aku ini pembunuh sudah bisa kuterima. Sengaja bila aku tak memberi tahu Ibuku bahwa aku selalu jadi bahan bullyan. Toh itu memang pantas untukku, dan sebagaimana maksud pemberian namaku.
Pim mati karenaku, dia menyadari akan sosok yang kulihat. Tapi ia tidak lantas terbujur kaku dan justru menyelamatkanku. Senyumnya selalu terngiang, beruntunglah aku jika dia tak muncul dalam mimpi dan dendam padaku—seperti pengendara motor yang dianggap gagal fokus pada anak tukang upil. Hanya mimpi kecil, senyumannya yang selalu datang. Kadangkala bayang-bayang saat dia menyelamatkanku juga terbesit dalam benak.
Mimpi buruk barangkali datang, hanya sebentar sebelum tangan Pim datang mendorongku pada mimpi indah. Ya, dia melindungi tidurku. Bahkan, pengendara sialan itu kalah dewasa oleh anak kelas satu SD yang tidak dendam apapun. Keluarganya hanya pasrah, karena mereka berpikir jika Pim akan selalu hidup dalam hati mereka. Walau, sampai saat ini jiwanya seakan terikat padaku.
Hal buruk selalu terjadi, semua menganggapku anak terkutuk. Gray kini benar-benar menjadi anak kelabu. Anak yang semula ambivert menjadi introvert secara terpaksa. Tak ada yang mengajak bicara, pandangannya selalu dingin bagai es—cocok sekali untuk mata kelabu itu. Didukung oleh kematian siswa setiap tahunnya. Enam tahun di sekolah dasar, enam kali pula ada kasus kematian secara tragis. Semua seakan mengutukku, karena selalu ada aku saat kecelakaan itu.
"Akhirnya kita bisa lulus dari sekolah ini, "banyak bisikan yang mengarah padaku saat kelulusan. Wajar saja jika begitu, toh mereka memang ingin segera jauh dariku.
"Dengan begini, nyawa kita aman," ketahuilah, dengan jauh dari kalian kejiwaanku juga lebih aman. Persetanlah dengan mereka yang membenciku, toh pada dasarnya di SD aku cukup dihormati oleh adik kelas, dan disenangi oleh guru. Bukan aku yang terkutuk, tapi angkatanku saja yang terkutuk—itulah anggapan adik kelasku.
"Selamat, atas kelulusannya! "anak yang tingginya hanya sampai siku tanganku itu tersenyum lebar. Sesaat, aku seperti melihar Pim. "Carilah sekolah yang jauh, itu lebih menyenangkan." Kuterima sarannya, walau itu seakan menyuruhku untuk pergi jauh saja.
"Kau juga, jangan cuma senyum kalau hampir tak naik kelas. " Wajahnya yang tersenyum langsung suram, kemudian tersenyum lagi. Entahlah, barangkali aku tersenyum tapi mataku terlalu dingin—senyum hinaan kesannya. Setidaknya, aku cukup senang di sekolah ini. Banyak yang ingin kupelajari kedepannya, tapi rasanya aku sangat terikat oleh tempat ini.
Dengan langkah tercekat, aku mendatangi ruang kelas saat Pim meninggal ditelan langit-langit kelas. Perasaanku berkecamuk rasanya, sesaat aku merasa kesal karena itu bagian dari kesalahanku. Tak kuasa akannya, aku balik kanan dan menuju ruang kelas dua. Di sini, gadis riang bernama Lucy meninggal karena keracunan makanan—barangkali ia masih bisa ditolong namun saat itu aku hanya berdua di kelas.
Teringat kejadian tempo lalu dan terbujur kaku melihat seorang anak merenggang nyawa saat jam istirahat berakhir. Terlalu banyak yang terjadi, kelas tiga, sampai kelas enam aku selalu melihat orang meninggal. Selama itu pula aku selalu dibully dan dianggap sebagai pembawa sial. Dipukuli di pojokan kelas, diludahi, paling parah aku hampir dijatuhkan dari lantai tiga. Jika aku mati, entah terbunuh atau bunuh diri karena tersiksa—mungkin tidak akan ada yang mati lagi.
Namun, lagi-lagi saat langit kelabu. Sekolah tengah sepi karena sejatunya sudah jam pulang, terjadi ketika aku kelas enam atau baru beberapa bulan yang lalu dari waktu kelulusan ini. Aku dibawa ke lantai tiga dan diangkat kebalik pagar pembatas selasar kelas. Dua orang yang mengangkatku, tatapan mereka keji dan aku tahu itu bukan sepenuhnya mereka. Mataku menatap ngeri saat banyak makhluk yang berbisik jahat pada mereka.
Saat itu jantungku memburu dan tubuhku penuh keringat. Mengantung secara utuh dan kaki berpijak pada udara yang seakan hampa. "Kau pembawa sial!" ucap salah satu anak yang berwajah gelap. Tidakkah ia berpikir akan masa depan jika dirinya membunuh seorang anak? Tapi aku tak terpikir kesana. Toh nyawaku sangatlah berada di ujung tanduk. Semua terasa hampa, tak ada yang menyadari sosok kami. Semua guru sudah pulang, barangkali ada penjaga sekolah pun sedang berada di toilet.
Namun, tiba-tiba terdengar seseorang berlari diantara lorong. Teman sekelasku, atau tepatnya ketua kelasku berlari dengan roknya yang memburu. "Hentikan!" teriaknya seperti pada sinetron. Dua manusia yang tak manusiawi ini terkejut dan justru melepas tangaku. Aku terjatuh, meski saat menutup mata aku merasa seseorang mendorongku keatas.
Tangan lembut yang berkeringat mencengkram erat, mata kelabuku terkejut mendapati ketua kelasku yaitu Sarah menangis menahan tubuhku. Tangan kanannya menarikku, tangan kirinya menahan. Sorot matanya marah dan ketakutan—juga seakan menyuruhku tidak bicara. Ia menarikku kuat, katakanlah aku memang ringan untuk seukuran anak laki-laki bertubuh jangkung. Tapi ia tetaplah gadis yang biasanya tertawa ria atau menjalani tugas sebagai ketua kelas—bukan menarik teman yang hampir jatuh dari lantai tiga.
"Hitungan tiga, aku tarik kau! "ia menarik nafas, "satu, dua." Aku bersiap untul naik, "tiga!" ditariklah tubuhku dan saat itu pula ada lima sosok anak yang seakan menarikku ke atas. Semua teman sekelasku yang tewas, namun posisi berbalik. Aku tertarik, Sarah terjungkal ke depan dan jatuh bebas, ia tersenyum miris saat aku hendak meraihnya—saat itu pula aku mendengar suara kepala yang seakan pecah.
Langit benar-benar kelabu, menatap ke bawah sang ketua kelas yang tubunya terbujur kaku dihiasi darah. Hari yang kalut, barulah ada beberapa orang yang datang. Sesaat aku berpikir, apa orang dewasa hanya akan benar-benar peduli ketika hal buruk sudah terjadi? Jika iya, aku lebih baik mati muda ketimbang menjadi dewasa.
Langit senja tidaklah indah, tetap kelabu hingga hujan turun dengan kalut. Asa telah hancur, hanya sesosok pelita yang mengelus punggungku dalam gelap dan rintiknya malam. Sementara, lima lainnya tertunduk pasrah dan semakin terikat. Aku berterima kasih, dipikir-pikir memang mereka tewas saat menyelamatkanku. Pim saat gempa, Lucy yang sejatinya keracunan saat menyicip duluan jajanan yang kubeli, Ran yang kedapatan peluru nyasar kearahku, Sinta dengan beraninya mengambil kalajengking di punggungku, Yusuf yang tenggelam ketika membantuku mencari sandal di sungai. Hingga puncaknya, Sarah yang menolongku dari jatuh.
Aku memang dikutuk, pembawa sial. Sejak awal, aku tak perlu kenal dengan orang lain apalagi dekat—agar mereka tak mati sia-sia melindungiku. Mata kelabuku kian semu, bagai telah mati ditelan asa. Bunga opium menatap sendu, menggoda walau tak ada candu yang mengusir rasa semu.