Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

My Roommate is Homo

šŸ‡®šŸ‡©Eugene_Eurus_1862
17
Completed
--
NOT RATINGS
59.6k
Views
Synopsis
Nina seorang penulis novel yang cukup sukses, menyewakan sebuah kamar di apartemennya pada Erik, pengacara muda yang membutuhkan tempat tinggal. Dengan jaminan Erik adalah penyuka sesama jenis Berawal dari pertemuan yang cukup mengejutkan hingga Erik mengajaknya untuk menikah. Kehidupan pernikahan bersama pria homo itu akhirnya dimulai!
VIEW MORE

Chapter 1 - Chap 1 Nina Pov

"Umhh hoam." Aku membuka mata perlahan ketika mendengar alarm di ponsel berbunyi. Masih dengan kondisi yang belum sepenuhnya sadar dan mata yang belum terbuka, aku berusaha mencari kacamataku di antara timbunan bungkus makanan ringan di meja. Setelah mencari beberapa menit, akhirnya aku menemukan kacamata kesayanganku.

Berusaha menormalkan penglihatanku, aku mulai melihat jam yang tertera di ponsel. "What?!" Irisku melebar melihat angka yang ada di sana. Aku memasang alarm untuk membangunku pukul delapan, tapi bagaimana bisa dia berbunyi pada pukul sembilan? Mati kau Nina, aku mengacak rambutku frustasi lalu bergegas ke kamar untuk mengganti pakaian.

Lima belas menit kemudian aku sudah siap dengan daster kebesaran dan sepatu kets yang biasa kupakai. Apa kalian penasaran kenapa aku bisa menyiapkan diri secepat ini padahal aku seorang perempuan? Mudah kalian tinggal meminimalisir apa yang kalian butuhkan untuk penampilan yang bagus, tanpa harus melakukan hal yang tidak perlu.

Contohnya aku, hanya mengganti pakaian dan menyikat gigi urusan yang lain bisa kita urus nanti. Kalian tahu, bekerja sebagai penulis terkenal _uhuk_ itu butuh keterampilan dan sikap profesional. Karena terbiasa dengan deadline dan naskah yang bertumpuk, aku selalu melakukan hal ini setiap kali berada dalam keadaan yang mengharuskanku untuk bergerak cepat.

Tap tap tap

Sekarang aku berjalan menuju kafe dekat apartemenku. Hari ini editorku akan mengenalkanku pada orang yang akan menyewa kamarku. Yah kalian tahu apartemenku terlalu besar untuk diriku yang mungil. Karena aku juga membutuhkan uang tambahan, maka editorku menyarankan untuk menyewakan satu kamar untuk temannya.

Aku berlari memasuki kafe, namun tidak langsung mencari editorku dan temannya. Yang kubutuhkan sekarang adalah toilet agar aku dapat membenarkan penampilanku. Setelah sampai di dalam toilet, aku mengeluarkan alat make up yang selalu kutaruh dalam tas kecil. Untung saja kemampuan berdandanku setingkat dengan penata rias terkenal, haha hanya bercanda.

Setelah memoles bedak tipis dan membenarkan rambut, aku menyemprotkan parfum beraroma levender yang selalu menjadi ciri khasku. Aku masih sempat memejamkan mata dan menghirup aromanya yang tercium di udara. Ketika membuka mata, ada seorang pria tampan berdiri dihadapanku dan menatapku dengan bingung. Ini kan toilet wanita apa yang dia lakukan disini? Aku terdiam di tempat menatapnya kembali dengan bingung.

"Apakah mencium aroma toilet pria merupakan kebiasaanmu?" Dia mengangkat sebelah alisnya, bertanya dengan nada datar dan tegas. Masih dalam keadaan bingung aku menatap sekelilingku.

"Pria? Hei jangan salah ini toilet wanita," balasku tidak mau kalah dengannya.

"Apa kau tidak malu?" Kini pria itu menyeringai dan entah kenapa hal itu membuat tubuhku merinding.

"Untuk apa aku harus malu, bukankah kau yang salah masuk toilet?" Kenapa kami jadi berdebat soal toilet?

"Hem baiklah." Dia menghembuskan napas perlahan lalu berjalan mendekatiku.

"Apa yang kau lakukan?" Aku menyilangkan tangan di depan dada membentuk sebuah tameng.

"Ikut aku." Dalam sekali hentak dia menarikku keluar dari toilet dan meninggalkanku di depan toilet. Tak lama kemudian wajahku memerah, aku baru sadar kalau aku salah masuk toilet. Arghh Nina kenapa kau bodoh sekali, sudah salah malah bersikap seperti tadi padanya. Lupakan hal memalukan ini sebaiknya kita temui calon teman serumahmu.

Berusaha melupakan kejadian tadi, aku pergi ke dalam kafe untuk mencari editorku yang pasti akan memarahiku karena sudah sangat terlambat. Ahh itu dia, aku langsung menepuk kepala Andre _editorku_ ketika sampai di belakangnya. "Ouch, kamu kemana aja sih, kan sudah kubilang kita janji jam sembilan kenapa bisa telat, dia udah nunggu dari tadi."

Aku mengambil tempat duduk di sebelah Andre, sengaja menulikan telingaku agar tidak mendengar ocehannya yang pasti akan memakan waktu sangat lama. "Oke aku salah, aku minta maaf, sekarang di mana orang itu?" Aku balik bertanya pada Andre setelah pria itu selesai mengeluarkan semua ocehannya.

"Tunggu di sini, kamu terlalu lama jadi dia pergi ke toilet sebentar."

Aku memesan kopi pada pelayan lalu duduk tenang di tempat, menunggu calon penyewa datang. Tidak berapa lama kemudian kopi yang kupesan datang, dengan gembira aku langsung menyesap kopiku. Sementara itu, Andre bangun dari tempat duduknya lalu menyapa seorang pria yang datang ke meja kami.

"Nina ini dia orang yang ingin menyewa kamarmu." Aku meninggalkan kopiku lalu bangun untuk menyapa calon teman serumahku.

"Hn tidak kusangka kita akan bertemu lagi." Suara ini ... aku mengangkat wajahku dan mata kami bertemu.

DEG

Ayolah ini bukan adegan kacangan dalam sinetron di salah satu stasiun tv lokal. Jantungku berdetak kencang bukan karena aku jatuh cinta padanya, melainkan karena aku tahu bahwa dia adalah pria yang tadi menyeretku keluar dari toilet. Bisa kalian bayangkan betapa malunya aku sekarang? Rasanya aku ingin mengganti wajahku dengan topeng.

"Ahh hai calon penyewa." Berusaha tersenyum semanis mungkin, aku ingin menimbulkan kesan pertama yang baik, meski sebenarnya tadi itu merupakan kesan pertama yang paling buruk dalam hidupku.

"Pffttt, Andre aku terima tawaranmu, besok aku sudah bisa pindah kan?" Kata-katanya bagaikan petir di pagi hari _karena ini masih pagi_ yang menyambar indra pendengaranku.

"Jadi kamu ingin menyewa kamarku?"

Pria itu tersenyum dan aku membalasnya dengan senyuman. Sepertinya aku telah mengambil langkah awal yang salah.

Keesokkan harinya aku mendapat pesan dari Andre bahwa penyewa rumah akan datang hari ini. Aku diberi wejangan agar membersihkan rumah sebersih mungkin karena pria itu tidak menyukai sesuatu yang berantakkan, di akhir pesannya dia memberi ucapan kagum karena baru kali ini pria itu setuju untuk tinggal bersama seorang wanita.

Sebentar aku ingat namanya kalau tidak salah Erik, yah pria yang tampak tinggi dan mapan itu ternyata masih mencari tempat tinggal? Pasti tidak ada yang menduganya. Karena pesan dari Andre juga, aku menghabiskan waktu hari ini hanya untuk membereskan apartemenku yang sudah seperti tempat pembuangan sampah.

Kalian tahu kadang perempuan itu aslinya jorok sepertiku, beda dengan laki-laki. Jangan kaget jika kalian melihat penampilanku sekarang. Baju daster kebesaran sependek paha, rambut sebahu yang dikuncir asal-asalan dan tidak lupa dengan debu yang menempel di sekujur tubuh, aku tidak yakin apa ini terlihat seksi.

Menjelang tengah hari pekerjaanku selesai, langsung kubaringkan tubuhku di sofa ruang tengah saking lelahnya. Aku masih ingat perdebatan kami di kafe kemarin. "Andre dia cowok, kenapa aku harus berbagi tempat tinggal dengan makhluk seperti itu?" Aku mengeluarkan amarahku disusul dengan tatapan tajam pada Andre.

"Of course, aku tahu apa yang kamu takutkan, tapi kamu tau kan aku nggak mungkin membahayakan jiwa penulis kesayanganku?" Andre tersenyum aneh lalu menepuk bahuku pelan.

"Terus menurut kamu, aku aman kalau tinggal dengan orang kayak dia?" Aku masih menanyakan hal yang sama, kenapa Andre tega sama aku?

"Nina dia itu ..." Andre membisikkan sesuatu di telingaku dan dalam sekejap iris mataku melebar.

"Serius?! Wah hebat bukankah dia kelihatan seperti orang normal?" Aku menggelengkan kepala, tidak percaya dengan apa yang baru saja kudengar.

"Yah tentu saja ini rahasia, tapi aku rasa kamu harus tahu karena dia bakal tinggal sama kamu."

"Okey aku mau tinggal sama dia." Aku lalu beralih pada pria yang duduk berhadapan dengan kami. "Semoga kita bisa jadi teman rumah yang akrab." Aku mengulurkan tangan bermaksud agar kami berjabat tangan sebagai tanda kesepakatan. "Deal."

Tutt

Aku terlonjak kaget ketika mendengar suara bel apartemen berbunyi. Jam berapa ini, pasti itu si penyewa kamar. Aku bangun dan berjalan menuju pintu sambil merapikan rambut dan kacamataku. Pintu dibuka dan muncullah si penyewa kamar dengan dua koper besar di kedua sisinya.

"Err cuma ini bawaanmu?" Aku menaikkan sebelah alis. Bukankah para pria suka mengoleksi sesuatu, kurasa untuk tipe seperti dia pasti akan membawa banyak barang.

"Tidak ini belum semuanya masih ada beberapa kardus yang akan diantar kemari, aku harap kamarnya cukup untuk menampung semua ini." Dia tersenyum, tapi dimataku terlihat seperti sebuah seringaian yang mengerikan.

Aku mengajaknya masuk lalu menunjukkan kamarnya. Tak lama kemudian pengantar barang datang membawakan beberapa kardus barang yang entah isinya apa. Kuharap kamarnya dapat menampung semua itu.

"Meski kita tidak seumuran, aku harap kau tidak berbicara formal padaku." Tetap dengan nada yang ketus aku memulai pembicaraan.

"Jadi kamu bukan tipe gadis yang suka diperlakukan lembut?"

"Kalau iya kenapa?" Aku balik bertanya, seolah tidak mau kalah dengannya. Entah kenapa aku tidak suka dengan sikapnya. "Hn menarik aku suka itu." Dia kembali membereskan barang-barangnya.

"Suka? Bukannya kamu homo yah?" Aku menaikkan dua jariku lalu menekuknya dua kali dengan tujuan untuk mengejeknya. "Tsk meskipun aku homo bukan berarti aku tidak bisa berbuat sesuatu padamu kan? Seharusnya kau lebih berhati-hati." Hoo dia memberiku ancaman, aku tidak akan mempan dengan bualan seperti itu.

"Memangnya apa yang bisa dilakukan seorang homo pada perempuan lemah sepertiku?" Aku menyilangkan tanganku di depan dada kembali mengejeknya. "Oh ya aku pikir kau tahu sejak awal kita bertemu, tapi sepertinya aku harus mengajarimu lagi." Pria itu bangun dari duduknya lalu berjalan mendekatiku.

Sambil berjalan tangannya mulai melepas kacamata serta dua kancing teratasnya membuat dadanya yang berbentuk kotak terlihat jelas. Sepertinya aku melakukan kesalahan besar dengan memancing amarahnya, tapi aku tidak bisa mundur sekarang. "Kau akan menyesal nona mesum." Dan senyumannya membuat aku sadar bahwa aku sedang dalam bahaya.

* * *