Chereads / My Roommate is Homo / Chapter 10 - Chap 10 Nina POV

Chapter 10 - Chap 10 Nina POV

"Hm bagus mulai ada peningkatan, ternyata nikah ada manfaatnya juga buat kamu." Andre tersenyum puas melihat naskahku. Yatta aku memang tidak salah mengambil keputusan. "Eh ngomong-ngomong gimana malam pertama kalian? Pasti Erik aww Nina!" Sialan Andre membuatku mengingat malam pertama kami yang suram beberapa hari lalu.

"Nggak usah dibahas deh, udah cukup kami bertengkar kemarin gara-gara itu." Aku mencubit perut Andre agar dia tidak lagi menanyakan hal tabu itu.

"Loh bukannya kalau habis malam pertama kalian semakin mesra, kok malah berantem?" Andre mendekatkan wajahnya padaku. "Jangan-jangan kalian bertengkar karena kamu sudah nggak perawan."

"Huh."

Baru saja aku senang karena naskahku dipuji dan sekarang dia membuatku kesal dengan menanyakan hal ini. "Aku masih perawan bahkan sekarangpun masih." Akhirnya aku mengatakan yang sebenarnya.

"What!! Masa Erik belum nidurin kamu sama sekali?" Andre menatapku tidak percaya.

"Menaklukkan seorang homo itu susah, btw Erik marah sama aku karena udah nyakitin juniornya." Aku menepuk dada bangga dengan hasil kerjaku yang membuat suami sendiri kesal selama beberapa hari. Ingat Erik yang memulai ini semua, aku hanya melakukan pembelaan diri tidak lebih.

"Err Nina sebenarnya ..."

"Sebenarnya apa Andre? Sayang aku pulang cups." Erik tiba-tiba muncul dan mencium pipiku.

"Oh selamat datang homo-kun." Aku berbalik, tersenyum sambil membelai pipinya lembut.

"Uhuk pasangan baru katanya lagi bertengkar." Andre yang merasa terabaikan kini angkat suara.

"Udah nggak lagi kok, ini udah baikan, tinggal nunggu Nina siap aja." Aku menatap Erik yang sangat pintar bersandiwara di depan semua orang. Sebenarnya kami tidak pernah merencanakan untuk sengaja beradegan mesra di depan orang lain, hanya saja Erik selalu bisa membuat suasana di antara kami terlihat natural.

Sedikit penjelasan biar kalian mengerti situasi yang terjadi sekarang. Aku dan Andre mendiskusikan naskahku di apartemenku, dan Erik datang di saat yang kurang tepat. Sebenarnya aku penasaran dengan apa yang ingin disampaikan oleh Andre padaku tadi. "Ishh nakal yah." Aku mencubit pinggang Erik dan tertawa melihatnya meringis menahan sakit.

"Gimana naskahnya." Bukannya meninggalkan kami Erik malah duduk di sampingku sambil melihat tulisanku di laptop. "Udah bagus Rik ada perkembangan makasih ya bro berkat kamu tulisan dia makin bagus." Andre menganggukkan wajahnya layaknya seorang ayah yang bahagia melihat anaknya tumbuh besar.

"Homo-kun bukankah kamu cape yah, kenapa nggak mandi terus makan?" Aku melemparkan tatapan tajam pada Erik agar dia meninggalkan aku dan Andre.

"Nggak usahlah Nin masa suami sendiri diusir, aku udah selesai kok pergi dulu yah, ada janji sama orang." Andre mengangkat tasnya dan berjalan meninggalkan aku dan Erik.

"Oh ya aku tunggu kelanjutannya yang lebih seru lagi." Andre memberi pesan sebelum benar-benar keluar dari apartemen. Sepeninggal Andre, aku dan Erik bertatapan dalam diam. Aku dapat menangkap raut penuh tanda tanya yang tercetak jelas di wajah Erik. "Maksudnya apa?" Erik mengangkat sebelah alisnya menatapku penuh selidik.

"Hehe bukan apa-apa kok makasih yah ciumannya, Aku jadi dipuji sama Andre." Aku mencubit pipinya gemas, lalu menutup laptop dan berlari ke kamar, tak lupa mengunci pintunya dengan cepat.

"Nina kamu utang penjelasan sama aku."

"Mandi sana badan kamu bau."

* * *

Malamnya setelah makan malam, aku duduk di ruang tengah sambil menonton drama di laptop. Selain menyukai anime aku juga pecinta drama korea, sekalian nyari inspirasi untuk kelanjutan novelku. Aku menonton sebuah drama ringan yang mengisahkan tentang pernikahan tanpa cinta, hampir sama dengan kisah aku dan Erik.

"Lagi apa kamu?" Erik datang dan duduk disampingku sambil membawa beberapa cemilan.

"Nonton buat cari inpirasi." Dengan santai aku mengangkat cemilan Erik lalu memasukkannya ke dalam mulut. Erik tampak biasa saja dengan kelakuanku, tidak ada tanda-tanda ingin protes.

"Bener nih cinta sama pernikahan itu dua hal yang berbeda, sama kayak kita kan nikah tanpa cinta." Erik mengomentari adegan dalam drama. "Tapi nantinya juga cinta bakal tumbuh di antara mereka berdua, apa kita juga?" Tanpa sadar aku berbalik menatap Erik hingga mata kami saling menatap.

Deg

Kenapa jantungku berdebar di saat-saat seperti ini? Apa karena bibirku dapat merasakan napas Erik? Dan sejak kapan perutku terasa geli seperti ini setiap melihat Erik menatapku? "Nina jangan jatuh cinta sama aku." Erik menyentil dahiku keras. "Auhh sakit kamu kok jahat amat sama istri sendiri. Papa nggak bakal mama kasih jatah." Aku memegang dahi sambil mengerucutkan bibir.

"Dih sok-sokan papah mamah, juniorku ngilu tiap denger kamu bilang jatah." Tidak mau kalah Erik balas mengejekku. "Tapi Rik kalau suatu saat nanti novelku butuh itu gimana?" Ahh benar juga Erik harusnya tidak tahu kalau aku dan Andre berencana memasukkan adegan ranjang dalam novelku.

Aku seorang perawan yang masih belum tahu apa-apa soal seks, pasti akan meminta bantuan Erik untuk itu. Andre memintaku untuk merahasiakannya karena Erik pasti marah kalau mengetahuinya. "Memangnya kamu mau lakuin hal itu sama aku?" Erik balik bertanya, dia terlihat serius sekarang.

Glek

"Nggak aku takut."

"Yaudah nggak usah nanya." Erik berbalik dan lanjut menonton. Aku juga berbalik, tapi pikiranku tidak ada di drama melainkan pada apa yang akan kuminta pada Erik. Masih aku urungkan karena hal ini berhubungan dengan kesiapan batin. Aku tidak peduli dengan Erik karena dia pasti sudah melakukan hal itu puluhan kali.

Dengan tubuh dan wajah seperti itu pasti banyak wanita yang ingin tidur bersamanya. Aku menggeleng mengusir semua pikiran kotor yang muncul. Bukankah alasan aku menerima pernikahan ini adalah untuk menyelesaikan novel. Yang ada di pikiranku adalah jika yang menjadi bahan percobannya suami sendiri, tentu tidak akan menimbulkan masalah toh aku bermesraan dengan suami sendiri.

Tapi aku belum siap jadi permintaan ini akan kusimpan sementara waktu. "Erik." Aku memanggil nama Erik tanpa menoleh padanya. "Iyah?" Sial kenapa saat seperti ini suaranya terdengar lembut. "Aku nggak akan jatuh cinta sama kamu kok." Erik tersenyum dan aku pun begitu.

* * *

Minggu pagi yang cerah, seperti biasa aku dan Erik melakukan pembersihan apartemen secara menyeluruh. Setelah membuang sampah, yang harus kulakukan tinggal melipat semua pakaian yang telah kering. Duduk di ruang tengah sambil mendengarkan lagu dan melipat pakaian, aku melihat Erik keluar dari kamarnya dengan pakaian rapi.

"Mau kemana?"

Aku bertanya karena melihat penampilan Erik tidak seperti biasa. Lagipula ini hari minggu mungkin dia mau pergi bersama teman-temannya. "Ketemu seseorang." Erik tersenyum senang lalu berjalan meninggalkanku sendirian di apartemen. Aku ingin bertanya lebih lanjut karena penasaran, namun kuurungkan karena aku sadar akan posisiku.

Tring

"Halo Dewi."

"Keluar yuk Nin, kita makan bareng, panas nih boring aku di rumah mulu." Akhirnya aku punya kegiatan lain, sebenarnya aku bosan berada di rumah sendirian. Dewi memang pantas disebut sebagai dewi penyelamat di saat seperti ini. "Kamu memang penyelamat Wi, aku juga hampir mati kebosanan di sini." Aku menjawab dengan lebay.

"Ya udah cepet mandi, kita ketemu di kafe biasa. Nanti dari sana baru kita ke mall." Aku mengangguk antusias. Tidak lama kemudian aku meninggalkan pakaian yang baru setengah kulipat dan melipir ke kamar mandi.

Kafe tempat kami janjian berada tidak jauh dari apartemen, cukup jalan kaki selama 15 menit dan aku telah sampai di sana. Dewi telah menunggu di pojok kafe dengan dua mangkuk ice cream favoritku. Setiap kami berkunjung ke sana, kami pasti akan memesan makanan yang sama.

"Kamu nggak apa-apa keluar gini, udah ijin kan sama suami?" Dewi menyantap ice creamnya dengan tenang sambil menatapku yang baru datang. "Tenang aja dia juga lagi keluar kok Wi, dia bebasin aku buat ngelakuin apapun yang aku suka." Aku mengambil satu mangkuk Ice cream dan langsung menyantapnya.

Hari ini sangat panas hingga aku dan Dewi memilih untuk mendinginkan tubuh di kafe, sebelum akhirnya kami pergi ke mall untuk berbelanja. Sebenarnya hanya Dewi yang berbelanja dan aku menemaninya. Jika aku ingin membeli makanan, maka Dewi akan membelikannya secara sukarela.

Tepat pukul tujuh malam aku dan Dewi baru selesai berbelanja, sekarang saatnya pulang. Kami bergandengan sambil berjalan pelan keluar dari mall. "Nin itu suami kamu kan?" Dewi menghentikan langkahnya lalu menunjuk ke arah seseorang yang berada tidak jauh dari kami.

"Oh iya Erik." Aku memanggil nama Erik, bersamaan dengan itu seseorang juga memanggilnya dari belakangku. Erik menatapku terkejut dan tak lama kemudian seorang gadis berlari dari belakangku lalu memeluk Erik mesra. Dengan cepat aku berbalik dan menarik tangan Dewi.

"Kita pulang Wi itu bukan suamiku."

"Oh salah orang ya."

Entah kenapa hatiku terasa sakit melihat Erik dipeluk oleh wanita lain. Pernikahan kami tanpa didasari oleh cinta, bukankah ini berarti perempuan itu bukan urusanku, lagipula Erik homo.

* * *