Seminggu berlalu dan tidak ada jalan keluar dalam masalah ini. Aku sendiri bingung harus berbuat apa di saat situasi seperti ini. Sangat tidak nyaman jika kita tidak berkomunikasi dengan orang yang tinggal serumah dengan kita. Aku sudah berusaha semampuku, tapi Nina tampaknya tidak ingin berdamai.
Jalan terakhir yang kuambil adalah membiarkan hal ini terus berlanjut. Entah mau jadi apa hubungan kami kedepannya, aku serahkan pada yang di atas. Minggu pagi ini lagi-lagi Nina berulah, dia meninggalkan semua pekerjaan yang harusnya kami kerjaan berdua dan pergi entah ke mana.
Aku jadi teringat perkataan Nina seminggu lalu saat kami gagal melakukan hal itu. Aku menggeleng kepala berusaha mengusir pikiran kotor yang masuk ke dalam otakku. Tidak mungkin kan Nina mencari pria lain untuk melakukan hal tersebut? Ahh padahal aku sudah menahan diri selama ini, kalau sampai dia melakukannya harga diriku bisa jatuh.
Kenapa aku khawatir kalau dia bersama dengan pria lain? Apa ini yang dinamakan cemburu? Setelah membersihkan apartemen aku bersantai sambil membaca berita di ponsel. Jam telah menunjukkan pukul sebelas siang ketika Nina pulang ke apartemen. Seperti biasa aku akan berpura-pura tidak menyadari keberadaannya.
Nina duduk disampingku meski agak jauh lalu menghela napas berat. "Udah makan?" Aku tidak menjawab masih terus memperhatikan layar ponsel. "Tsk jawab kalau nggak aku nggak masak."
Aku langsung berbalik ketika mendengar ancaman Nina. "Iya laper Nin aku belum makan dari pagi."
"Yaudah." Nina tersenyum lalu berjalan ke dapur. Mengeluarkan beberapa bahan makanan dari kulkas lalu membuatkan makan siang untuk kami berdua. Kami makan dengan tenang, bahkan tidak saling menatap satu sama lain.
Ting
Bel pintu ditekan, tanpa disuruh Nina langsung bangun dari tempatnya untuk melihat siapa tamu yang datang di siang yang panas ini. "Siang sayang." Nasi yang kumakan hampir saja keluar ketika mendengar suara itu. Kenapa di saat hubungan kami tidak harmonis mama malah datang?
* * *
Kini aku, Nina, dan mama tengah duduk di sofa saling berhadapan, tepatnya aku dan Nina berhadapan dengan mamaku yang tengah bermuram durja. Saat datang tadi mama menangis dan tidak mau berkata apa-apa. Setelah menunggu setengah jam akhirnya tangisan mama berhenti dan dia mau bicara.
"Hiks papa kamu jahat Rik." Mama mengambil tisu dan membersihkan hidungnya yang memerah.
"Jahat kenapa mah?" Kenapa mamaku bisa selebay ini, untung saja aku tidak tertular sifatnya yang seperti ini.
"Papamu dia ..." Aku bisa mengetahui apa yang akan mama lakukan karena dia adalah orang yang terobsesi dengan drama.
"Mama kenapa?" Nina terlihat khawatir dengan mamaku.
"Papa pergi ke luar kota ninggalin mama sendirian di rumah, mama kan takut." Mama memasang wajah memelas, sedangkan aku dan Nina saling memandang dan menghela napas bosan.
"Boleh mama tidur di sini malam ini kan?" Aku dan Nina kembali saling berpandangan, berusaha melakukan telepati satu sama lain tapi gagal.
"Boleh kok mah mamah bisa tidur di kamar Nina." Nina berbalik dan tersenyum lembut pada mama.
"Kamar kamu, apa kalian pisah kamar?" Mama tampak terkejut dan memasang raut curiga.
"Nggak kok mah Nina kan penulis dan kebetulan apartemen ini punya dua kamar. Satu kamar dipakai sebagai kamar pribadi Nina untuk menyelesaikan naskahnya mah."
Nina mengangguk setuju dengan ucapanku, mama akhirnya tersenyum senang, sepertinya dia sudah tidak mencurigai kami lagi. "Maaf yah mama harus ganggu pengantin baru, tapi mama nggak mau sendirian di rumah." Kali ini mama memasang wajah memelas.
Akhirnya kami membiarkan mama menginap semalam. Mama tidak menyusahkan kami, kerjaannya hanya duduk dan tidur siang di kamar Nina. Untuk sementara semuanya berjalan lancar, hingga akhirnya malam tiba dan semuanya masuk ke kamar masing-masing.
Aku masuk ke kamar duluan dan langsung membaringkan tubuh di tempat tidur. Aku tidak langsung tidur karena ini belum waktunya. Kebiasaanku sebelum tidur adalah membaca novel. Kebanyakkan dari novel itu bergenre misteri dan horor.
Klek
Aku melihat ke arah pintu, dan melihat wajah Nina yang menyembul dari balik pintu. Menaikkan sebelah alis aku lalu bertanya padanya. "Ada masalah?" Dia hanya tersenyum malu-malu, berjalan masuk ke dalam kamar sambil membawa sebuah boneka besar.
Lalu dengan tidak tahu malunya gadis itu membanting tubuhnya di sampingku, bahkan menggeser tubuhku agar memberikan tempat untuknya. Beruntung tempat tidur ini cukup untuk menampung tubuh kami berdua. Meski masih bisa dibilang sempit untuk ukuran ranjang dua orang.
"Kamu mau apa sih Nin, kenapa nggak tidur sama mama di kamar?" Kembali aku bertanya karena merasa aneh dengan sikapnya yang terlihat lebih manja dari sebelumnya. Padahal sampai tadi pagi dia masih terlihat marah padaku, cewe memang makhluk yang tak bisa ditebak.
"Mama ngusir aku Rik katanya pengantin baru nggak boleh tidur terpisah." Nina menatap wajahku dengan mimik sedih yang sengaja dibuat-buat. Aku tahu apa yang ada di pikiran mama, tapi ada benarnya juga.
"Yaudah kamu tidur di sofa aja, nanti pas subuh aku bangunin biar mama nggak tahu akhhh sakit Nina."
Mendengar perkataanku yang seolah ingin mengusirnya dari kamar, membuat Nina menghadiahkan sebuah cubitan yang cukup keras di perutku. Sakit sekali terbuat dari apa sih tangannya?
"Masa kamu tega nyuruh istri tidur di luar." Aku menurunkan tubuhku lalu tidur menyamping menatap Nina.
"Kalau istrinya liar kayak kamu, aku rela kok!"
Dia mengerucutkan bibir kesal lalu berbalik memunggungiku. "Maaf." Apa aku tidak salah dengar? Nina baru saja mengucapkan kata maaf padaku.
"Maaf untuk apa?" Aku merubah posisi menyampingku jadi tertidur, menatap langit-langit apartemen yang kosong.
"Maaf karena udah cuek sama kamu belakangan ini."
Aku tersenyum, sepertinya Nina tidak selalu mementingkan egonya. "Memangnya apa alasan kamu ngelakuin hal?"
Nina berbalik dan menatapku lagi. "Aku nggak tau Rik, tiap liat kamu pasti aku ingat sama cewe yang meluk kamu waktu itu. Aku nggak suka." Aku ikut berbalik menghadapnya dan tersenyum.
Gadis ini, dia pura-pura polos atau memang benar-benar polos. "Kamu nggak sadar kalau lagi cemburu?" Aku menatap matanya dalam.
"Cemburu? Ahh nggak tau Rik, baru pertama kali aku ngerasain hal kayak gini dan rasanya nggak nyaman." Nina menepuk pelan dadanya.
"Haha dasar, aku juga minta maaf karena keterlaluan sama kamu."
"Soal apa ini?" Dia mengerutkan alis tidak mengerti dengan maksud perkataanku.
"Soal semuanya, udah buat kamu malu dengan nolak permintaan waktu itu. Padahal sebagai seorang suami harusnya aku nerima permintaan itu." Aku tersenyum lembut lalu menepuk puncak kepala Nina, membuat wajah gadis itu memerah.
"Aku maklum kok, pasti susah buat kamu karena kamu lebih suka sama cowo kan?" Nina balik tersenyum lalu memukul pundakku pelan. Hah setelah sekian lama istriku masih menganggapku menyukai sesama jenis, apa ini karma?
"Yaudah." Aku berbalik lalu menekan tombol lampu yang ada di samping tempat tidur hingga lampu yang ada di kamar ini mati.
Sekarang yang menjadi satu-satunya penerangan dalam kamar hanyalah lampu kecil yang ada di meja samping tempat tidur. Aku hanya bisa melihat wajah Nina samar-samar, perlahan namun pasti aku mengambil boneka besar yang ada di pelukan Nina dan membuangnya ke lantai.
Nina tampak ingin protes tapi aku langsung menutup mulutnya. "Nggak usah mikir yang aneh-aneh deh, tempat tidurnya sempit kalau ditambah boneka, gimana kita bisa tidur Nina?!" Aku menarik selimut untuk menutupi tubuh kami berdua.
"Jahat kamu Erik, aku nggak bisa tidur kalau nggak meluk boneka itu." Nina mengembungkan pipinya, hal yang selalu dia lakukan kalau kesal. Semakin lama aku semakin hapal kebiasaan Nina. Lucu sekali, kadang aku bertanya pada diriku sendiri, apa aku duluan yang jatuh cinta padanya?
"Rik." Aku memejamkan mata berusaha untuk tidur. Jika ini terus berlanjut aku takut akan bertindak di luar batas, tapi Nina kembali menarik lenganku dan meminta agar bonekanya dinaikkan.
"Nina boneka yang turun atau kamu yang turun?" Masih memejamkan mata, aku berusaha mengabaikan kelakuan Nina yang seperti anak kecil.
"Tapi Rik aku kan nggak bisa tidur kalau nggak meluk sesuatu." Nina kembali menarik lenganku, kali ini lebih keras dari yang tadi.
"Yaudah peluk aku aja." Bukankah di saat seperti ini si gadis akan merasa malu, tapi kenapa Nina bahkan seperti kehilangan urat malunya? Arghh dia memang tidak normal.
"Okey, yeay dapat bantal hidup." Dengan semangat Nina langsung memeluk tubuhku bahkan menaruh kepalanya di dadaku. Satu lagi, entah sengaja atau tidak kakinya ditaruh di atas kakiku, hampir menyentuh juniorku dan itu membuatku harus menelan ludah menahan sesuatu yang sejak tadi kutahan.
"Nin jangan kayak gini, kamu bisa dalam bahaya." Aku akhirnya membuka mata lalu kembali berbalik menatapnya yang tertawa di sebelahku.
"Bukan masalah kan suami sendiri." Ahh baiklah Nina menang aku sudah tidak bisa menahannya lagi. "Boleh Aku cium kamu?" Dia mengangguk memberikan ijin untukku melakukan hal lebih padanya.
Yah malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi kami.
* * *