Pagi hariku kali ini terasa lebih berwarna dari sebelumnya, bukan karena aku berhasil memuaskan juniorku setelah menahan diri begitu lama. Bukan juga karena mama telah mengembalikkan semua kekayaan yang menjadi hakku. Tapi karena aku merasa hubunganku dengan Nina sudah mengalami peningkatan.
Aku senang, sangat senang. Aku harap dengan adanya kejadian tadi malam hubungan kami benar-benar telah membaik, dan akan mengalami perkembangan ke depannya. Aku tidak menyangkal bahwa aku sudah bisa menerima sosok Nina dalam kehidupanku. Aku mulai bisa menerima pernikahan ini.
"Rik, jadi kamu belum bilang ke Nina, kalau kamu sebenarnya normal, bukan pecinta sesama jenis?" Kata-kata Andre membuatku tertegun, aku memang lupa, tepatnya pura-pura lupa soal itu. Apa yang dipikirkan Nina tentangku jika tahu kalau aku telah membohonginya selama ini? Hubungan yang mulai membaik ini pasti akan kembali merenggang.
Aku memutuskan untuk memberitahukannya pada Nina nanti setelah dia benar-benar suka padaku. Hari ini klien yang datang tidak terlalu banyak, jadi aku bisa pulang lebih cepat dan beristirahat. Aku sudah tidak sabar untuk melihat wajah Nina lagi, aku merindukannya.
Satu pesan diterima
"Erik tolong bertemu denganku kali ini saja, aku ingin mengucapkan salam perpisahan. Aku akan kembali ke luar negeri." Hah dia lagi. Setelah kejadian seminggu lalu Celia memang tidak pernah menghubungiku. Tapi kalau dia ingin mengucapkan salam perpisahan, tidak ada salahnya jika aku menemuinya sekali saja.
Akhirnya setelah saling bertukar pesan, aku dan Celia memutuskan untuk bertemu di sebuah restoran, sekaligus untuk makan siang bersama. Dia masih cantik seperti biasa, hanya saja tubuhnya tampak kurus berbeda dengan seminggu yang lalu. Matanya juga terlihat cekung. Aku dapat memprediksi bahwa selama seminggu ini dia terus menangisiku.
"Jadi kau akan kembali ke tempat itu?"
"Iyah, kontrakku diperpanjang dan karena alasanku di sini sudah tidak ada lagi, aku memutuskan untuk kembali." Celia tersenyum, berusaha terlihat tegar di depanku. Tapi aku dapat menangkap kesedihan di matanya.
"Semoga berhasil." Aku tersenyum, setidaknya di saat terakhir aku tidak ingin bersikap dingin padanya.
"Dan selamat atas pernikahanmu, maaf kalau aku sudah bersikap bodoh seminggu lalu, semoga kau bahagia." Celia memberikan sebuah bingkisan, aku membukanya dan melihat sebuah kalung berlian yang cantik dengan hiasan yang tidak kalah cantiknya.
"Hadiah pernikahan dariku." Celia menjawab kata tanya yang terukir di wajahku.
"Terima kasih."
Makanan yang kami pesan akhirnya datang, kami menyantap makanan kami tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Aku melihat para pengunjung di sana dan mataku berhenti pada sosok yang terlihat tidak asing. Di sudut ruangan, aku melihat Nina tengah berpegangan tangan dengan seorang pria yang tidak kukenal.
Wajahnya bahkan memerah menahan malu, ekspresi yang tidak pernah dia tampilkan di hadapanku. Seperti ada tangan tak kasat mata yang meremas jantungku, dengan amarah yang sudah naik ke kepala, aku berjalan menghampiri keduanya dari arah belakang Nina. Tidak peduli dengan Celia yang berjalan mengikutiku dari belakang.
"Apa hak anda memegang tangan istri orang?"
Dengan sekali tarikan aku melepaskan pegangan tangan keduanya, menatap tajam pada pria yang memegang tangan Nina barusan. Pria itu tampak kebingungan, aku tersenyum penuh kemenangan karena aku tahu Nina pasti akan berpihak padaku. Tapi kenyataannya dia malah menarik tangan pria itu dan meninggalkanku di sana.
Shit kenapa ini terjadi di saat kupikir hubungan kami akan membaik?
* * *
"Nina."
Aku masuk ke apartemen dan mencari sosok istriku, namun nihil aku tak menemukannya di manapun. Apa dia masih bersama dengan pria itu dan belum pulang ke apartemen?
Klek
Pintu apartemen terbuka dan Nina muncul dari balik pintu dengan wajah kusut. Tanpa menunggu lagi aku langsung menghampirinya yang baru. "Nina siapa cowo tadi? Kenapa dia pegang-pegang tangan kamu dan kenapa kamu nggak mengakui kalau aku ini suami kamu?" kataku kasar, melempar begitu banyak pertanyaan yang ada di otakku.
"Aku pusing, kamu bisa diam nggak, aku mau istirahat."
Nina berjalan meninggalkanku tanpa melihat wajahku sedikitpun. Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah dia yang melakukan kesalahan kali ini. Kenapa di sini terlihat seolah-olah akulah yang bersalah?
"Hah Nina jangan gini, keluar jelasin semua sekarang!" Merasa tidak puas dengan perlakuan yang diberikan Nina, aku langsung mengikutinya menuju ke kamar, lalu mengetuk pintunya cepat. Berusaha agar Nina mau berbicara padaku dan menjelaskan apa yang terjadi tadi.
Klek
Setelah menunggu beberapa lama, Nina akhirnya mau membuka pintu dan bertatapan denganku. "Berisik banget sih, aku lagi mandi tadi." Nina bersandar di depan pintu kamarnya dengan pakaian yang berbeda dengan tadi. Kulitnya juga tampak lebih segar tidak kusam seperti tadi.
"Maaf."
Aku menatap matanya dalam agar dia tahu bahwa aku sedang bersungguh-sungguh sekarang. "Kamu selingkuh ya Nina sama laki-laki tadi?" Nina masih berdiri tempatnya dan menatapku tanpa ekspresi.
"Kalau iya kenapa, kamu juga kan punya cewe lain, kenapa harus disembunyiin sih?"
Cewe lain siapa? Aku memutar otak memikirkan siapa yang disebut cewe lain oleh Nina. Sial kenapa aku tidak menyadarinya, tadi aku tengah bersama dengan Celia, pasti Nina melihat dia dibelakangku, pantas saja Nina tidak mau mengakuiku sebagai suaminya. "Terus kenapa kamu harus minta maaf coba? Oh soal kejadian tadi nggak apa-apa kok udah aku maafin, udah nggak ada yang perlu dibicarain lagi kan?"
Setelah mengoceh tentang semua itu, Nina langsung berjalan meninggalkanku lalu menutup pintu kamar. Pintar sekali dia setelah berhasil merebut hatiku dia malah meakukan hal seperti ini. Kenapa sekarang aku merasa seperti seorang gadis yang baru saja diambil keperawanannya oleh sang kekasih lalu ditinggal begitu saja?
"Nina dengerin aku yah, aku udah nggak ada hubungan apa-apa sama Celia, tadi dia ngajak aku buat ketemuan karena mau ngucapin salam perpisahan. Dia mau pergi keluar negeri. Aku sebenarnya senang hubungan kita udah membaik kayak gini. Aku nggak mau kita bertengkar lagi Nina. Aku udah sayang sama kamu, pikirin kata-kata ini yah," kataku sebelum akhirnya pergi meninggalkan pintu kamar Nina.
* * *
Malam itu, aku tidak bisa tidur karena memikirkan pengakuan secara blak-blakkan tadi. Bodoh sekali, aku telah menjilat ludah yang kubuang sendiri. Aku masih ingat dengan jelas bahwa aku yang memintanya untuk tidak jatuh cinta padaku, malah aku sendiri yang jatuh cinta duluan padanya.
Kriet
Hampir saja mataku tertutup ketika aku mendengar suara pintu kamar dibuka oleh seseorang. Kulirik jam kecil di samping tempat tidur. Pukul 12 malam, siapa orang yang berani membuka pintu kamarku jam segini? Jantungku mulai berdebar tidak karuan, sebuah pikiran buruk muncul, jangan-jangan ada setan di sini?
Karena takut aku tidak berani melihatnya, terdiam kaku di tempat tidur berpura-pura telah tidur. Suara langkah kaki mulai terdengar beserta suara pintu yang kembali ditutup. Aku memejamkan mata semakin erat. Bayangan film horor yang selama ini kutonton mulai merasuk ke dalam pikiranku, membuat rasa takut semakin menguasai.
Sekarang aku malah merasakan selimutku diangkat, lalu orang itu naik ke tempat tidur dan tidur di sebelahku. Kupejamkan mataku semakin erat, takut kalau kubuka mata maka pemandangan mengerikan menanti.
"Udah tidur?"
"Suara ini ..."
Aku membuka mata dan melihat Nina tidur di sampingku, bukankah dia tadi masih sangat marah padaku?
"Hah Kamu Nin kupikir setan tadi." Aku berkata sambil menghela napas lega, ketika tahu bahwa sosok itu adalah Nina.
"Huh mana ada setan secantik ini." Nina meninju pelan lenganku.
"Kenapa kamu ada di sini?"
"Aku nggak bisa tidur Erik, mimpi buruk." Nina berkata sambil memeluk lenganku manja. What dia membalasku dengan sopan tidak seperti biasanya, apa aku sedang bermimpi?
"Nina aku minta maaf yah."
"Udah nggak usah dipikirin, aku udah maafin kamu kok, cowo yang tadi bersamaku itu hanya teman lama yang ingin bertemu denganku bukan selingkuhan, dan ..." Nina menghentikan kalimatnya lalu menatap mataku. "Aku juga berpikir untuk melanjutkan pernikahan kita ke hubungan yang lebih serius."
Sekarang aku benar-benar yakin kalau ini adalah mimpi, tidak mungkin jika Nina mau menerima semua ini dengan mudah dan menjadi semanis ini. "Oh iya Nina aku ingin jujur padamu." Karena ini mimpi sekalian saja aku katakan semuanya biar hatiku lega.
"Apa itu?"
"Aku sebenarnya bukan guy atau homo atau apalah itu, aku masih normal dan aku menyukai perempuan." Akhirnya bebanku berkurang. Ekspresi Nina berubah dia menatapku dengan pandangan yang tidak dapat kudefinisikan.
"Apa?!" Atau haruskah aku tidak pernah mengatakannya?
* * *