Aku memang perempuan yang mudah tegoda dengan godaan duniawi, terlebih dengan makhluk yang bersama denganku sekarang. Tapi aku masih sangat waras dan sadar diri bahwa aku adalah istri seseorang. Alasan aku mengatakan hal tadi adalah karena hatiku kembali sakit ketika melihat perempuan itu bersama Erik.
Setelah mengajak Rendy pergi dari kafe, aku langsung menjelaskan semuanya padanya. Untung saja dia orang yang pengertian, jadi bisa menerima penjelasanku yang tidak jelas. Lalu kami berpisah setelah melanjutkan makan siang yang sempat tertunda.
Setelah berpisah dengan Rendy, aku berjalan menuju kantor Dewi untuk menceritakan apa yang terjadi padaku. Hari sudah sore, jadi aku tidak menungu lama untuk bertemu dengan Dewi. Setelah sampai di apartemennya aku menceritakan semua yang terjadi padaku dan Erik, tentunya minus soal perjanjian kami.
"Kayaknya kamu harus belajar buat dengar penjelasan dari dia deh Nina, jangan asal nething dulu," kata Dewi setelah mendengar ceritaku.
"Jadi aku harus percaya sama dia?" Dewi menganguk sambil memukul pundakku.
"Dalam hubungan itu yang paling diperlukan adalah kepercayaan Nina."
"Kamu sayang kan sama dia?" Aku terdiam mendengar pertanyaan dari Dewi.
"Aku nggak yakin Wi," kataku menatap Dewi lalu melemparkan senyum padanya.
"Hmm serius Nin ini suami kamu sendiri loh, coba bilang apa yang kamu rasain tiap deket sama dia?" Akhirnya dengan malu-malu aku menceritakan semua perasaan aneh yang selalu muncul dalam dadaku setiap Erik berada di dekatku.
"Nina itu artinya kamu cinta sama dia. Astaga kukira karena udah nikah sikap polosmu bisa ilang ternyata masih aja ada." Hmphh Dewi sudah keterlaluan, kenapa dia mengejekku seperti ini sih.
"Cinta yah?!"
* * *
Mengikuti saran Dewi, aku pulang ke apartemen. Kali ini aku akan mencoba mempercayai Erik. Aku terkejut melihat sikapnya yang berbeda, dia tampak seperti orang yang kehilangan akal sehat. Awalnya aku mencoba untuk tidak mempedulikannya karena hatiku yang masih sakit, tapi melihat kegigihannya membuatku luluh. Apalagi dengan pernyataan cintanya yang mendadak membuat jantungku berdegup kencang.
Malam itu aku tidak bisa tidur karena memikirkan pernyataan cinta Erik dan perasaanku yang sebenarnya. Selama aku hidup, baru kali ini aku merasakan perasaan semacam ini, jadi ini berarti aku telah jatuh cinta dengan Erik. Film itu ternyata benar, untung saja perasaanku berbalas.
Diam-diam aku masuk ke kamar Erik dan tidur di sebelahnya, ternyata dia belum tidur. Aku bersyukur hubungan kami bisa membaik tapi ...
"Apa?!" ucapku menatap Erik tidak percaya dengan pengakuannya, jadi selama ini dia berbohong padaku?
"Maafkan aku Nina, aku sengaja berbohong agar kau menerimaku tinggal di rumah ini." Jadi selama ini dia melakukan semua itu hanya demi tempat tinggal.
Ekspresiku yang tadinya terlihat bahagia kini berubah menjadi suram, bahkan kurasa sudah mirip dengan hantu di film horor yang ingin membalas dendam. Aku dapat melihat Erik menatapku dengan wajah horor. "Nina tenang dulu, bukannya kamu nggak mau kita berantem lagi?" Erik memundurkan tubuhnya takut jika aku mencakarnya.
"Ayo berkencan," ujarku berusaha menahan amarah yang ada.
"Maksudnya?" Kini Erik menatapku bingung.
"Sebagai hukuman karena sudah berbohong padaku, ayo kita berkencan bukankah orang kalau pacaran orang akan memulainya dengan berkencan?" Erik mengedipkan matanya tidak percaya karena aku memaafkannya dengan gampang.
"Tapi jangan senang dulu sayang, malam ini kau akan ..."
"Nina Nina jangan gini Nina sakit Ninaaaaaa"
* * *
Aku menatap pantulan diriku di cermin, cantik seperti biasanya. Hanya untuk hari ini saja aku berdandan cantik untuk Erik. Selama ini aku tidak ingin repot mengurusi soal penampilan, tapi aku tidak mau terlihat jelek pada kencan pertamaku. Ternyata menikah dulu baru berpacaran lebih seru, ketimbang berpacaran selama bertahun-tahun tapi tidak jadi menikah.
Setelah merasa semuanya cukup, aku berjalan keluar dari kamar menemui Erik yang telah menungguku. "Nina lama amat sih udah sejam ini kapan kita berangkatnya?" Erik berkata sambil menghela napasnya kasar, aku tahu dia tidak suka menunggu.
"Iya bentar, aku dandan juga buat kamu kan."
"Yang sopan Nina." Erik berbalik namun beberapa detik kemudian dia terpaku melihat penampilanku. Aku juga terkejut menatap penampilannya yang memang sesuai dengan eoppa yang sering aku nonton di tv.
"Iya deh sayang, kenapa poninya nggak diturunin tiap hari sih kan adem liatnya." Mencoba mencairkan suasana aku merangkul lengan Erik dan menariknya keluar.
"Kamu juga, kok nggak dandan rapi kayak gini tiap hari kan aku bisa makin cinta ouch Nina." Erik merintih pelan ketika aku menyikut pinggangnya pelan.
"Sakit Nina," kata Erik sambil melemparkan tatapan tajam padaku.
"Iya deh maaf." Aku menahan tawa melihat ekspresi Erik. Semalam aku mencubit perutnya hingga dia sakit perut karena tertawa, perutnya pasti sakit sekali sekarang.
Hari ini Erik sengaja tidak pergi bekerja untuk berkencan denganku, untungnya naskahku telah selesai dan kuberikan pada Andre semalam. Sudah lama juga aku tidak melakukan perjalanan seperti ini. Hari ini akan menjadi hari yang menyenangkan. Tujuan kami adalah piknik di pantai, makan dan perlengkapan yang lain sudah kami beli di supermarket 24 jam dan sekarang saatnya berangkat.
"Wuuuahhh, haha aku hidup lagi." Aku membuka jendela mobil mengeluarkan sebagian tubuhku, lalu melambai sambil berteriak layaknya orang alay yang baru pertama kali pergi ke pantai. Beruntung kami melakukan perjalanan pada hari kerja sehingga jalanan yang kami lalui tidak ramai.
Tidak hanya itu, ternyata pantai yang menjadi tujuan kamipun kosong. Tidak ada pengunjung di sana, serasa berlibur di pantai pribadi. "Woah pantai Rik itu laut Erik airnya biru." Saking senangnya begitu mobil berhenti aku langsung berlari keluar dan mencelupkan kakiku di air laut.
"Nina ganti pakaian dulu." Erik menyusulku dengan pakaian renang. Err tepatnya dia hanya memakai celana pendek, dengan sebuah kacamata renang yang bertengger manis di lehernya. Ahh untung saja tidak ada orang lain di tempat ini, jadi hanya aku yang bisa melihat pemandangan indah ini.
"Tenang aja aku udah ada persiapan kok." Aku tersenyum jahil lalu membuka baju dan rok pendek yang dari tadi kupakai. Awalnya Erik tampak terkejut, tapi ekspresinya berubah datar ketika tahu bahwa aku sudah memakai baju renang di balik pakaian itu.
"Kenapa kamu kecewa nggak bisa lihat tubuhku yang seksi ini?" Aku mengedipkan mata menggodanya.
"Bukan itu, aku kecewa karena usahaku belum membuahkan hasil," ujar Erik sambil menggeleng lemah.
"Hasil?" Aku menatapnya bingung. "Iyah kalau tahu dadamu masih setepos itu seharusnya aku melakukannya dengan lebih baik lagi."
Erik sialan bisa-bisanya dia membicarakan soal itu di saat seperti ini. "Tega sekali papa." Aku melompat dan memeluk tubuh Erik hingga pria itu kehilangan keseimbangannya. Membuat kami berdua sama-sama terjatuh ke dalam laut. Kebetulan airnya lumayan dalam.
Tidak hanya sampai di situ, aku menahan tubuhnya di bawah air sampai Erik meronta untuk naik ke permukaan. "Puahh hah hah Nina kamu mau bunuh suami sendiri yah, mau jadi janda hah?" Aku tersenyum geli melihat kelakuan Erik yang seperti anak kecil.
"Katanya rajin olahraga kok napasnya pendek huuu."
Erik memelukku dari belakang. "Kan aku nggak siap tadi, kalau di ranjang napasku panjang loh."
"Mesum," kataku sambil berbalik lalu mencipratkan air ke wajah Erik.
Hari itu kami bersenang-senang menikmati liburan layaknya pasangan harmonis lainnya.
* * *
Sore harinya setelah berganti pakaian dan membereskan sampah yang kami bawa. Kami memutuskan untuk berjalan di sekitar pantai menikmati matahari terbenam. Sesekali Erik mengeluarkan ponselnya untuk mengabadikan momen ini. "Rik foto sini bagus banget pemandangannya."
Aku berpose di ujung bukit kecil yang tepat berhadapan dengan arah matahari tenggelam, merupakan spot yang cocok untuk mengambil gambar. "Cantik kamu sayang." Erik berkata sambil terus mengambil gambar diriku yang tersenyum.
"Ciee dah berani manggil aku sayang." Aku mengambil ponsel lalu memotret Erik yang tengah memotretku.
"Hah suamiku memang tampan." Aku tersenyum melihat hasil potrettanku.
"Kamu juga makin lama makin keliatan nakalnya, polos apanya ternyata isi otaknya kotor banget." Erik berjalan mendekatiku lalu memeluk tubuhku dari belakang.
"Gini-gini kamu suka juga kan?" Aku tersenyum melihat matahari yang mulai tenggelam.
"Nggak tau juga kenapa aku bisa sampai jatuh cinta sama kamu."
"Ya kan aku punya sihir yang bisa buat kamu klepek-klepek."
"Dasar, aku sayang kamu."
"Aku ju ... mphh."
Erik mengambil daguku lalu mencium bibirku lembut. Aku berbalik lalu membalas ciumannya. Sunset sore itu menambah suasana romantis di antara kami. Ternyata pernikahan ini berakhir baik untuk kami berdua. Mulai sekarang ku akan lebih dan lebih belajar untuk mencintai Erik. Terima kasih suamiku.
TAMAT