Bima putra Dirgantara naik pitam setelah mendapat telepon dari sahabat yang sudah dia anggap seperti adiknya sendiri. Dia menyambar jaket hitam dan kunci motornya. Tak memperdulikan teriakan mamanya.
"Bima, mau kemana kamu malam-malam begini!" Indira Mamanya Bima melirik jam sudah menunjuk pukul sepuluh malam. Biarpun Bima anak laki-laki, Indira menerapkan jam malam untuk anaknya yaitu jam sembilan. Bahkan sampai dia sekarang menjadi mahasiswa.
"Kenapa sih Ma? malam-malam begini teriak-teriak." Satya dan Karina yang mengekor di belakang papanya itu terganggu dengan teriakan Indira.
"Ini jam berapa Pah. Bima mau kemana itu naik motor malam-malam begini?" Indira menghentak- hentakkan kakinya merasa kesal dengan Bima yang pergi tanpa pamit dulu padanya.
"Sudahlah, Ma. Bima sudah dewasa. Dia sudah kuliah. Masa kamu masih menerapkan jam malam untuknya."
"Mama cuma khawatir dengan pergaulan di luar sana Pa. Mama tidak mau dia seperti Papa."
"Tuh kan diungkit lagi. Kamu ini kenapa sih Ma, selalu saja mengungkit masa lalu."
"Pah, Mah... Udah donk jangan berantem terus. Ada anakmu yang lucu dan imut nih di sini. Kalian akan mengotori otakku dengan pertengkaran kalian." Karina yangย sekarang sudah kelas dua SMA, dilahirkan dengan otak jeniusnya, kesal setiap melihat Papa dan Mamanya yang sebentar-sebentar marah, lalu sebentar-sebentar mesra lagi.
"Cari Bima Pah. Pokoknya harus ketemu! Jangan masuk kamar kalau belum ketemu ya Pah." Indira melenggang begitu saja meninggalkan Satya dan Karina
"Mendengar orang dewasa bertengkar membuat otakku konslet. Semoga IQku tidak turun. Sabar ya Pah. Papa tahu kan mama memang begitu. Beliin martabak bang Dion juga ga marah lagi, Pah." Kirana menepuk pundak papanya pelan, lalu meninggalkan Papanya seorang diri.
"Kenapa aku harus punya dua wanita aneh di hidupku ya Allah. Istri yang bawelnya setengah mati. Anak perempuan yang otaknya terlalu pintar. Mau kemana nyari Bima sekarang?" Satya bicara dengan dirinya sendiri.
******
Bima panggilan yang Indira sematkan untuk Abimanyu sejak kecil kini tumbuh menjadi laki-laki yang tampan dan digilai cewek-cewek di kampusnya. Bahkan sejak SMA, banyak sekali yang menaruh hati padanya. Tapi hanya satu orang yang ia cintai dalam diam.
Bima memacu motor sport warna hitam dengan kecepatan tinggi. Suara tangisan Aliya yang diujung telpon tadi masih terngiang di telinganya.
"Aliya, Pak Arman, Tante Eva, Bima minta maaf ya. Bima janji tidak akan ganggu Aliya lagi.
Perkataan Bima waktu kecil itu sebagai janji yang akan dia tepati pada Aliya. Sejak SMP mereka selalu satu sekolah. Tidak ada cinta di antara mereka. Bima menganggap Aliya yang cengeng dan penakut itu sebagai adik yang harus ia lindungi. Sedangkan Aliya menganggap Bima sebagai kakak tempat ia mencurahkan isi hati.
"Ingat ya Al. Jangan pernah pacaran. Dalam agama kita dilarang pacaran." Ucap Bima saat Aliya dekat dengan salah satu pemuda di kampusnya yang bernama Vano.
"Tapi aku cinta sama dia Bim. Dia itu ganteng, populer, kaya lagi."
"Kalau dia laki-laki yang baik, dia tidak akan mengajakmu pacaran Al. Tapi dia akan mengajakmu menikah."
"Udah deh Bim. Ga usah khawatir. Aku bisa jaga diri koq."
"Terserah kamu lah. Ngeyel aja sukanya kalau dikasih tahu."
Percakapan Bima dan Aliya dua bulan lalu itu ternyata tak digubris oleh Aliya. Dia masih nekat menerima cinta Vano.
Dan kini kekhawatiran Bima terbukti. Aliya menelponnya dan memberitahukan kabar yang sangat mengejutkannya. Yang dia fikirkan adalah keadaan Aliya sekarang yang mengancam ingin bunuh diri.
Saat ini Aliya berada di salah satu JPO yang ada di Jakarta. Bima memarkirkan motornya terlebih dahulu lalu menaiki satu persatu anak tangga. Setelah sampai di atas, tampak olehnya seorang gadis dengan rambut panjang tergerai berdiri memandang lurus ke bawah. Seakan ingin loncat dari atas.
"Aliya...!!!!!!" Bima berlari menghampiri Aliya. Gadis itu menoleh ke arah Bima dengan deraian airmata. Bima ingin memeluk gadis itu. Tapi dia tak akan melakukannya. Biarpun mereka teman dekat, Bima tak pernah sekalipun menyentuh gadis itu.
"Kamu ini bodoh atau tolol sih Al. Aku kan sudah bilang, jangan pacaran. Kamu ngeyel sih jadi orang. Kenapa bisa berbuat sejauh itu?" Bima kesal sendiri melihat Aliya yang hanya bisa menangisi masalahnya.
"Maaf Bim. Aku cinta sama Vano."
"Terus dimana dia sekarang? Dia ninggalin kamu Al, saat kamu sudah hamil anaknya. Brengsek itu Vano. Aku akan cari dia. Akan aku seret dia biar tanggung jawab."
"Dia menghilang, Bim. Nomornya sudah tidak bisa dihubungi. "
"Kamu sudah ke rumahnya?"
"Belum. Aku takut Bim. Aku takut pulang Bim."
Bima memijit pelipisnya. Dia pusing memikirkan Aliya yang selalu saja ceroboh.
"Kita ke rumahnya sekarang. Ayo.."
"Tapi Bim.. Aku takut sama Papa, Mama."
"Hadapi Al. Kamu kan yang bertindak? Aku sudah memperingatkan kamu. Kamu yang tidak mau dengar."
"Maafin aku Bim." Aliya semakin terisak.
"Apa aku gugurin aja Bim?"
"Kamu gila Al. Kamu itu sudah berbuat dosa dengan berzina. Sekarang kamu mau nambah dosa lagi dengan menggugurkan bayi yang tidak berdosa itu. Dimana otak kamu? Kamu harus hadapin. Apapun resikonya kamu harus menanggungnya. Ayo aku antar ke rumah Vano. Dia harus tanggung jawab." Bima membalikkan badannya hendak pergi meninggalkan Aliya.
"Bim... bantu aku ya. Aku mohon. Aku menyesal Bim." Alya tiba-tiba memeluk Bima dari belakang."
"Lepasin Al, orang-orang akan berfikir aku yang ngapa-ngapain kamu."
"Ga akan aku lepasin. Janji dulu mau bantuin aku ngomong sama Mama dan Papa."
"Enggak.. itu urusanmu sendiri. Aku ga mau ikut campur. Sekarang kita harus ke rumah Vano. Tapi kamu yang harus ngomong sendiri."
"Kamu koq tega sih Bim."
"Belajar berani Al. Yang tegas donk jadi cewek. Ga ngerti aku sama kamu.ย Kamu sadar ga sih waktu nglakuin itu?"
"Aku sadar Bim. Aku terpesona dengan Vano. Aku takut dia marah kalau menolak dia."
"Kamu takut sama Vano. Tapi kamu ga takut sama Allah. Kamu ga inget sama orangtua kamu. Sekarang, kamu sudah mengecewakan mereka."
Bima pergi meninggalkan Aliya. Dia benar-benar marah pada gadis itu. Gadis yang selama ini selalu ia jaga malah mengecewakannya.
Aliya mengikuti Bima dari belakang. Tanpa banyak bicara, Bima mengantar ke rumah Vano yang berada di kawasan perumahan elit.
"Benar ini rumahnya?"
"Iya benar Bim." Aliya melepas helmnya.
"Sana masuk. Minta dia buat tanggung jawab." Aliya terlihat ragu, tapi dia akhirnya mau menuruti perkataan Bima.
"Permisi Pak, apa Vano ada di dalam?"
"Maaf mbak, Vano siapa ya? di sini tidak ada yang namanya Vano."
"Yang benar Pak? Tapi ini benar koq sesuai alamat yang pernah Vano kasih."
"Tapi benar Mbak, di sini tidak ada yang namanya Vano."
Aliya syok dengan apa yang baru saja dia dengar. Sepertinya Vano sengaja menghindari dirinya.
'Kasihan sekali kamu. Sorry gue ga mau terikat sama lo. Lo urus saja anak itu.' Laki-laki itu tersenyum smirk dari balik kaca jendela kamarnya. Memandang ke arah Aliya yang terduduk di tanah.
********
Lanjut ga ya?
Ayo komen ya. Yang mau lanjut atau enggak