Minggu pagi yang cerah, seperti biasa aku dan Nina akan melakukan rutinitas kami yang wajib, yaitu membersihkan seluruh apartemen. Aku sudah membagi tugas setengah-setengah agar mudah dikerjakan.
Tring
"Jangan lupa janji kita ya Erik"
Aku menghembuskan napas pelan melihat pesan itu. Dulu hatiku akan berbunga-bunga melihat pesan dari dia, tapi sekarang entah kenapa terasa hambar. "Iya" aku hanya membalasnya singkat. Sebenarnya aku tidak ingin bertemu lagi dengannya, tapi aku harus menyelesaikan urusan masa lalu dengannya.
Setelah menyelesaikan pekerjaanku, aku berjalan ke dalam kamar untuk membersihkan tubuhku, bersiap untuk menemui wanita itu. "Mau kemana?" Entah kenapa suara Nina membuat jantungku berdebar tidak karuan. Aku tidak jatuh cinta dengan Nina, hanya saja ada rasa bersalah yang muncul karena aku akan bertemu dengan mantanku.
"Bertemu seseorang." Setelah mengatakan hal itu, tanpa melihat wajah Nina aku pergi. Tempat kami bertemu tidak terlalu jauh dari apartemen, aku hanya perlu naik bus sekali dan sampai di sana. Seorang gadis telah menungguku di pojok kafe ketika sampai di sana.
"Celia." Aku memanggil namanya dan wanita itu berbalik lalu tersenyum padaku. Dulu aku sangat menggilai senyuman itu, tapi sekarang entah kenapa tidak ada rasanya.
"Erik aku kangen sama kamu." Tanpa meminta persetujuanku dia langsung memeluk tubuhku erat, tidak memberikan waktu untukku bernapas.
"Aku juga." Datar, tidak ada perasaan senang dalam kalimatku. Benar kata orang waktu dapat menyembuhkan segalanya. Dulu saat Celia meninggalkanku, rasanya seluruh duniaku hancur dan mati. Semakin lama aku menjadi terbiasa, dan sekarang aku tidak merasakan apapun saat melihatnya lagi.
"Aku minta maaf karena pergi begitu saja tanpa memberitahumu. Ini semua demi impianku dan sekarang aku kembali untukmu, kamu senang?" Celia memegang tanganku, hingga sesuatu membuat ekspresinya berubah. Dia mengangkat tangan kananku dan mengelus cincin yang melingkar di jari manisku.
"Tidak mungkin kan?"
"Hah." Aku menghela napas berat lalu mengangguk. Rasa bersalah kembali masuk ke dalam hatiku ketika melihat air mata mulai membasahi pipi Celia. Kelemahanku adalah air mata perempuan. Aku tidak tega melihat seorang perempuan menangis, apalagi kalau alasan dia menangis adalah diriku.
"Bukankah kau tidak pernah mencintai perempuan lain selain diriku?" Celia menggenggam tanganku, seolah berusaha meyakinkan diri bahwa apa yang dia pikirkan itu tidak benar.
"Kau terlambat aku baru saja menikah beberapa minggu lalu." Aku tersenyum sedangkan Celia masih menunduk berusaha menghentikan tangisannya.
"Aku akan menemanimu hari ini jadi kau mau pesan apa?" Aku menjauhkan tubuhnya perlahan lalu duduk di tempatku. Berusaha terlihat biasa, seolah tidak ada apapun yang terjadi.
"Aku tidak mau jika hanya sehari." Setelah membersihkan air matanya, Celia duduk berhadapan denganku dengan wajah yang lebih baik dari tadi.
"Aku tidak akan menyerah untuk membuatmu kembali padaku. Ingat itu, aku tahu kau pasti dipaksa menikah oleh ibumu kan?" Celia menatapku antusias berusaha terlihat tegar. Selama menjalin hubungan dengannya selama lima tahun, aku sudah hapal dengan jelas sifatnya yang tidak mau mengalah dari siapapun.
Namun aku tidak tahu kalau dia akan seberani ini, kalau ini soal pacaran masih bisa ditolelir tapi masalahnya ini adalah pernikahan. Meski tidak didasari dengan cinta tetap saja kami telah mengucapkan janji suci di depan altar, dan aku tidak berencana untuk melanggar janji itu.
"Tidak aku menikah atas kemauanku sendiri Cel, aku akan memberimu waktu untuk terus berada di dekatku sampai kau bisa melepaskanku, tapi jangan seperti ini." Pesanan kami datang aku lalu menyantapnya dengan diam. Berusaha mengabaikan wajah memelas Celia yang terlihat sangat menyedihkan di mataku.
Salah dia, kenapa meninggalkanku di saat aku sangat mencintainya? Kenapa dia lebih mementingkan impiannya daripada menikah denganku? Sekarang dia datang dan ingin mengulang semuaya dari awal, mudah bicara daripada melakukannya. Selama ini aku berusaha melupakannya, dan dia datang meminta untuk mengulang semuanya dari awal seolah hatiku ini hanyalah mainan.
Menepati janji, aku mengajak Celia berbelanja dan membelikan dia beberapa barang. Kami bercerita banyak hal, sesekali dia sengaja mengungkit masa lalu tapi aku tidak terlalu menanggapinya. Luka lama tidak untuk dikorek lagi, aku bukan tipe pria yang memendam sebuah kesedihan untuk waktu yang lama.
Sebelum menyudahi pertemuan kami, aku ingin mengantar Celia pulang. Namun karena dia ingin pergi ke toilet dulu, aku berjalan keluar mall duluan sambil membawa barang yang tadi kami beli. Celia membawa mobilnya sehingga mudah untuk mengantarnya pulang, sedangkan aku bisa pulang dengan bus dari apartemen Celia.
"Erik." Belum lama aku berdiri di sana, sebuah suara memanggilku. Ketika berbalik aku melihat Nina dan temannya Dewi. Aku ingin menjawab panggilannya tapi Celia datang dari belakang Nina lalu memelukku erat. Sial kenapa dia harus melakukan hal ini di depan umum?
Tidak masalah jika kami harus menjadi tontonan publik, tapi kenapa harus di depan Nina? Aku hanya bisa terpaku di tempat membiarkan Celia memelukku dan melihat Nina berbalik menjauh. Ahh aku harus menjelaskannya pada Nina nanti. "Cel jangan begini." Aku memegang pundaknya berusaha menjauhkan tubuhnya dariku.
"Aku Cuma nggak mau kehilangan kamu lagi."
"Cukup Cel aku antar kamu pulang yah." Aku akhirnya bisa melepaskan pelukan Celia dan mengantarnya pulang.
* * *
Pukul sembilan malam aku baru sampai di apartemen, Nina sudah sampai duluan dan tengah duduk menonton tv. Aku masuk ke kamar untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Ketika aku keluar, Nina masih tetap berada di tempatnya dan fokus dengan tontonan di tv.
"Kamu udah makan?" Aku duduk disampingnya.
"Udah." Singkat padat dan jelas, Nina bahkan tidak melihat wajahku.
"Nina soal tadi." Aku ingin menjelaskan pada Nina tapi gadis itu seolah tidak mempedulikan kehadiranku.
"Soal apa yah?" Kali ini Nina berbalik lalu tersenyum menatapku.
Suasana canggung ini, tidak seperti Nina yang biasanya. "Kok kamu belum masukkin semua pakaian?" Perhatianku beralih pada tumpukkan pakaian di atas meja, bukankah itu tugas Nina untuk membereskan semuanya?
"Masukkin sendiri." Nina kembali menatapku sambil menyeringai.
Aku bergidik melihat sikap istriku yang seperti sedang kerasukan setan. Jadi kalau Nina marah dia akan jadi seperti ini? Ahh sebaiknya mulai sekarang aku berusaha agar dia tidak marah padaku. Dicuekkin oleh orang yang tinggal serumah dengan kita itu sangat tidak enak, bagai tinggal di neraka.
"Nina jangan marah dong." Nina memutar bola matanya seolah jengah dengan kehadiranku.
"Aku marah karena apa? Santai aja deh." Nina mengangkat kakinya lalu menaikkannya ke atas pahaku.
"Nggak sopan banget sama suami sendiri." Aku melemparkan tatapan tajam padanya. Bukannya menurunkan kakinya Nina malah semakin berulah.
"Kamu juga nggak sopan sama istri sendiri, kalau memang mau selingkuh tolong jangan terang-terangan deh, tadi itu ada temenku." Nina menurunkan tubuhnya hingga kini dia tidur di atas sofa dengan kaki yang masih berada di atas pahaku. Aku terdiam menatap wajahnya kaku, memang benar dia marah karena kejadian tadi.
Nina kini mengangkat sebelah tangannya untuk menutupi wajahnya. Aku masih bertahan di posisiku, menatap wajah Nina dalam. Semacam perasaan bersalah muncul di hatiku, aku seperti seorang penjahat sekarang. "Hah ... maaf yah Nina aku nggak bakal gitu lagi kok, tadi itu cuma salah paham." Aku menunduk melihat kaki Nina dipangkuanku.
Aku baru sadar kalau malam ini penampilannya beda dari biasanya. Jika berada di rumah, Nina akan memakai pakaian yang kebesaran hingga dia terlihat sangat berantakkan. Tapi malam ini dia malah memakai celana pendek yang memperlihatkan kaki jenjangnya. Baju yang dipakainya juga terlihat transparan, sehingga aku bisa melihat tubuhnya yang langsing juga errr sesuatu yang menutupi dadanya.
"Nina kamu sehat?"
"Aku hanya pusing karena nggak bisa nulis apa yang harusnya kutulis." Nina belum menunjukkan wajahnya, tangannya masih menutupi sebagian wajah. Memberanikan diri aku memajukan tubuhku lalu menarik perlahan tangannya turun, agar aku bisa melihat wajahnya.
"Pusing, naskah nggak kelar, suami selingkuh sama cewe lagi. Aku bisa terima kalau kamu selingkuh sama cowo karena kamu homo Rik. Ini malah sama cewe yang lebih cantik dari aku." Aku hampir tersedak ludahku sendiri ketika mendengar pernyataan yang sangat tidak normal dari istriku.
"Kamu lebih cantik dari dia Nina bener deh." Cara untuk meredakan amarah seorang perempuan adalah memberinya kelembutan, kalau sudah begini berarti aku harus melakukannya. Meyakinkan diriku kalau Nina tidak akan melakukan hal yang sama seperti saat malam pertama kami dulu, aku merangkak naik ke tubuhnya lalu menindihnya pelan.
Nina masih terdiam menatapku tanpa menunjukkan perlawanan sedikitpun. Aku menatap wajahnya yang tampak kusut, naskahnya benar-benar sesuatu yang sangat penting sampai dia segalau ini kah? "Maaf yah udah buat mood kamu down."
"Yaudah buat balikin mood, kita tidur bareng yuk."
"Hah maksudnya?"
"Aku mau lanjutin malam pertama kita yang tertunda."
Glek
Aku benar-benar tidak mengerti apa isi pikiran Nina
* * *