"Aku mau lanjutin malam pertama kita yang tertunda."
Gila, itu pasti yang ada di pikiran Erik tentangku sekarang. Ahh bodo amat, kalau dia sudah punya orang lain tentunya cepat atau lambat dia akan menceraikanku. Jika dia menceraikanku sebelum novelku selesai kubuat, aku yang akan kesusahan. Ini adalah saat yang tepat untuk meminta Erik melakukan hal ini.
"Nina harus sekarang yah?" Aku dapat melihat jakunnya bergoyang pelan, serta pipi Erik yang mulai memerah. Dia pasti gugup sama sepertiku, tapi entah kenapa aku merasa kalau dia melakukannya sekarang pasti hanya berdasarkan nafsu. Apa ini berarti aku ingin dia melakukannya atas dasar cinta?
Sepertinya makin lama aku semakin gila. Karena tidak tahu apa yang harus kulakukan aku hanya tersenyum dan mengangguk, memberi ijin pada Erik untuk melakukan apa yang dia mau. Aku menahan napas ketika Erik memajukan wajahnya. Aku bahkan bisa merasakan napas berat Erik menyapu bibirku.
Glek
Aku memejamkan mata menunggu bibirnya sampai, tapi apa yang kutunggu tidak terjadi, malah aku merasakan bibir itu dikeningku. Aku membuka mata dan yang kulihat adalah wajah Erik yang memerah sama sepertiku. Dia tersenyum lalu menghela napas berat.
"Maaf Nina kita nggak bisa melakukannya saat kita dalam keadaan seperti ini. Aku tahu kamu masih marah karena kejadian tadi, next time aja kalau kamu siap." Setelah mengatakan hal itu dia bangun dari tubuhku lalu meninggalkanku. Apa aku sebegitu tidak menariknya hingga suamiku sendiri tidak ingin melakukan hal itu denganku?
"Humphh nggak ada lain kali, kalau kamu nggak mau bilang aja Rik. Aku bakal minta bantuan orang lain." Aku bergumam, entah dia mendengarnya atau tidak yang pasti aku hanya ingin mengatakannya.
"Jangan gitu Nin, aku nggak bermaksud untuk ..."
"Diam." Aku memotong perkataan Erik, tidak membiarkan dia berbicara denganku lagi. Perasaan macam apa yang muncul dihatiku ini, selama aku hidup baru pertama kali aku merasakannya. Mengikuti jejaknya aku berjalan ke kamar lalu merebahkan tubuh di atas tempat tidur.
"Hah sadar Nina jangan jatuh cinta padanya." Aku berguling, berusaha menjernihkan pikiranku yang entah kenapa jadi normal, biasanya aku tidak bisa berpikir normal.
* * *
Minggu pagi akhirnya tiba lagi dan hari ini juga genap seminggu aku tidak bicara dengan Erik. Iyup aku mendiamkannya tanpa alasan yang jelas. Sejak kejadian seminggu lalu setiap melihat wajahnya aku selalu ingat dengan perempuan yang memeluknya. Akhirnya aku memilih untuk menjauhi Erik.
Awalnya dia berusaha membuat amarahku menghilang, tapi lama-kelamaan dia akhirnya menyerah. Dan beginilah kami, hanya berbicara seadanya saja jika sangat perlu. Rutinitas tiap minggu pagi adalah membersihkan rumah, tapi pagi ini aku sengaja bangun lebih pagi untuk berolahraga.
Kebiasaanku ketika stress selain pergi ke tempat Dewi adalah melakukan olahraga, dan pagi ini aku memilih untuk senam di ruang tengah. Aku memakai pakaian olahraga yang tidak terlalu ketat dengan sepatu kets putih. Memutar lagu lewat laptop dan disambungkan dengan speaker kecil, aku mulai mengikuti gerakan yang muncul di layar laptop.
Lima belas menit berolahraga, bulir-bulir keringat mulai membasahi pelipisku. Tidak mempedulikan hal itu, aku terus membuat gerakan sesuai instruksi yang ada di video. "Aku pikir kamu nggak suka olahraga." Erik keluar dari kamarnya dengan memakai pakaian olahraga lengkap. Tumben apa dia juga ingin berolahraga?
"Kamu kok ikut-ikutan sih." Aku memicingkan mata, tidak suka dengan penampilan Erik.
"Tiap pagi juga aku olahraga Nina, kamu aja yang suka ngebo makanya nggak pernah lihat aku olahraga." Erik berjalan melewatiku, menuju ke dapur dan mengambil minuman dari kulkas.
"Tumben banget kamu olahraga pagi gini."
Mengabaikan Erik, aku mulai melakukan perenggangan pada kaki. Memang aku jarang berolahraga karena sering begadang untuk mengerjakan novel, tapi jangan salah tubuhku lebih lentur dari kelihatannya. "Aku lagi stress makanya tidur cepat semalam dan bisa bangun pagi." Kuturunkan tubuhku hingga mengenai lututku.
"Ahh selesai."
Kumatikan video di laptop lalu pergi ke dapur, mengambil gelas berisi air yang ada di genggaman Erik lalu meminumnya. Erik hanya menatapku tanpa ekspresi hingga aku kembali ke kamar. Apa aku terlihat sangat dingin padanya? Salahkan Erik yang membuat moodku down dengan sikapnya.
Satu pesan diterima
"Mat hari minggu beb, main ke tempatku yuk suntuk nih, abis putus T-T"
Aku tersenyum melihat sebuah pesan dari Dewi. Putus lagikah? Dia cantik tapi sikapnya sering membuat orang yang menjadi pacarnya tidak tahan, alhasil hubungan mereka tidak bertahan lama. Hubungan terlama yang biasa dijalani oleh Dewi adalah tiga bulan, tidak pernah ada yang lebih dari itu.
"Okey beb, tunggu daku yah :*"
Dewi mengirim stiker boneka yang bersorak bergembira, membuatku tersenyum lalu meninggalkan ponsel, bersiap untuk pergi ke tempat Dewi. Hari ini aku sengaja melewatkan kegiatan membersihkan apartemen dengan alasan apartemen masih cukup bersih dan tidak perlu dibersihkan.
Ketika keluar dari kamar aku tidak menemukan Erik dimanapun. Akhirnya aku menulis sebuah memo dan menempelkannya di kulkas. Aku tidak peduli jika nantinya Erik marah, itu urusan nanti yang penting aku bisa bersenang-senang. Pergi menggunakan bus pagi dan menikmati udara pagi yang segar. Ahh sudah berapa lama aku tidak melakukan hal seperti ini.
Kret
"Nina!" Dewi menghambur ke pelukanku dengan tangan yang masih penuh dengan tisu. Aku mendorong tubuhnya lalu berlari memasuki apartemen, menuju kamarnya.
"Jorok amat sih, jangan peluk kalau tangannya masih kotor kayak gitu." Aku melompat menghindari pelukan maut Dewi.
Setelah aksi kejar-kejaran yang memakan waktu lama, kami terduduk di samping tempat tidur Dewi dengan kepala yang disandarkan ke tempat tidur. "Kali ini apa alasan dia mutusin kamu?" Aku berbalik melihat Dewi yang sudah berhenti menangis, tapi wajahnya masih memerah dengan mata yang bengkak.
"Katanya aku terlalu banyak teman cowo dan dia cemburuan, dia nggak tahan kayak gitu terus."
"Lalu kalian sudah sampai sejauh mana?" Pertanyaan yang wajib kukeluarkan ketika Dewi habis putus.
"Baru sampai tahap dua, dia kurang hot sih." Dewi tersenyum penuh arti sambil menjilat jari telunjuknya. Ugh aku bergidik melihat kelakuan Dewi yang tidak tahu malu itu. Dia memang selalu menggoda seperti ini, bahkan aku yang sudah lama berteman dengannya saja selalu menjadi sasaran godaannya. "Udah lupain dia sekarang ceritain dong gimana malam pertama kamu sama suamimu yang hot itu." Dewi mengubah posisinya lalu bergeser mendekatiku.
"Ahh lupain deh Wi aku masih perawan kok sampai saat ini." Aku memejamkan mata lalu mengangguk sedih seolah tengah meratapi nasibku yang malang.
"What the hell serius? Kok bisa?"
"Ada masalah di antara kami Wi dan kata Erik dia nggak bakal mau lakuin itu kalau masalahnya nggak kelar." Aku menatap Dewi dan kembali menghela napas lelah.
"Tapi kan udah selama ini, masa masalah kalian belum kelar sih? Udah berapa lama kalian pacaran kok kayak belum tau kebiasaan masing-masing."
"Gitu deh Wi, kamu kan lebih berpengalaman dari aku soal ginian. Kamu bisa bantu aku nggak, ngasih tips gitu biar ritualnya bisa terlaksana." Yup aku tahu aku sudah bertanya pada ahlinya, dengan begini aku bisa membuat Erik melakukannya padaku tanpa harus meminta padanya dan menurunkan egoku.
"Aku bisa bantu kok, yang harus kamu lakuin adalah ..." Dewi mendekat ke telingaku lalu membisikkan sesuatu di sana.
* * *
Glek
Aku menelan ludah susah payah, menatap wajah Erik dalam jarak sedekat ini membuat dadaku sesak. Apalagi tatapan matanya yang seolah bisa memakanku sekarang. Ternyata perkataan Dewi ada benarnya, kalau hal ini terus berlanjut mungkin sedikit lagi kami bisa menyelesaikan malam pertama kami.
"Rik kok kamu keliatan lebih ganteng sih dari sini?" Aku berusaha terlihat biasa agar Erik tidak mengejekku.
"Aku ini idaman para wanita, kamu aja yang nggak nyadar dengan pesonaku." Lebay sekali dia, percuma menjadi idaman para wanita kalau dia sendiri menyukai pria.
"Lebay ahh kalau cowo gimana, ada yang kamu suka?"
"Auhh." Bukannya mendapat jawaban, Erik malah menjitak kepalaku keras.
"Apa itu pertanyaan yang pantas diberikan oleh seorang istri kepada suaminya?" Aku hanya mengerucutkan bibir kesal.
"Boleh aku cium kamu?" Aku menatap Erik mendengar permintaannya yang mendadak.
"Boleh." Dan Bibir Erik langsung menempel di bibirku, semakin lama ciumannya semakin kasar. Aku membalas ciumannya dan menjambak rambutnya pelan, darahku berdesir dan aku menginginkan lebih. Tak lama kemudian ciuman kami dilepas oleh Erik, dia menatap mataku dalam.
"Nina bolehkah?"
Aku mengangguk dan akhirnya kami melanjutkan malam pertama kami yang tertunda.
* * *