"Gila ya!" Aku meringis sambil memegang sebelah pipi yang baru saja menjadi sasaran tamparan keras tangan Nina. Kalian tahu, aku memintanya untuk menikah bukan karena aku menyukainya. Mana mungkin aku bisa dengan mudah menyukai seseorang hanya karena kami tinggal bersama selama beberapa minggu. Hal itu tidak pernah tercatat dalam kamus hidupku.
Aku melakukan semua ini karena ini adalah jalan terakhir yang harus kuambil agar terlepas dari semua masalah yang menyerang kehidupan pribadiku. Senjata terakhirku untuk mengalahkan mama hanyalah Nina tidak ada cara lain selain melakukan hal ini. Baiklah kalau kalian penasaran aku akan menceritakannya dari awal.
Hari ini aku mendapat klien yang sangat menyebalkan, lihat saja pak tua itu daritadi mengoceh tidak jelas tentang bagaimana perjalanan hidupnya dari bawah hingga dia bisa mendapatkan kekayaan yang melimpah seperti sekarang. Okey aku tidak pernah mempersalahkan orang tua yang ingin bernostalgia, tapi ini sudah berada di ambang batas kesabaran.
Bayangkan saja selama dua jam kami duduk dalam kantor dia hanya menceritakan kisah hidupnya tanpa menyinggung soal masalah yang sedang dihadapinya. Jika hal ini terus berlanjut bagaimana aku bisa membantunya menyelesaikan perkara yang sedang dia hadapi?
"Jadi begitulah caraku memenangkan semua kontainer itu hahaha." Pak tua itu menghisap cerutunya dan mengangguk bangga.
"Hem iya saya mengerti pak Hendro, jadi bagaimana bisa ceritakan masalah bapak jadi saya bisa mencari titik permasalahannya di mana?" Aku menyesap kopi yang telah dingin sambil berusaha mempertahankan senyum palsu. Jika saja dia bukan teman mama aku pasti sudah menendangnya dari kantor sejak tadi.
Bukannya tidak sopan tapi benar kan, mereka datang untuk meminta bantuanku menuntaskan masalah, jika mereka hanya bercerita tanpa menyinggung masalah mereka berarti mereka tidak membutuhkan bantuanku benar kan?
Kembali lagi ke cerita, akhirnya pak tua itu meninggalkan kantor setelah empat jam bercerita tentang kehidupannya. Terakhir menyinggung soal masalahnya yang ternyata sangat mudah untuk diselesaikan dan tidak ada sangkut pautnya dengan kehidupannya. Baru saja aku menyandarkan tubuh di kursi sebuah ketukkan terdengar di pintu.
"Ya Tuhan cobaan apa lagi ini?!"
Mengacak rambut frustasi, aku akhirnya menerima tamu tidak diundang itu meski dengan keadaan terpaksa. Selama ini aku selalu bekerja sesuai jadwal dan tentunya siapapun yang ingin bertemu denganku harus membuat janji terlebih dahulu. Tapi sepertinya aku dapat menebak siapa tamu tidak sopan yang datang menemuiku tanpa membuat janji seperti ini.
"Erik mama datang di waktu yang tepat kan saat kamu nggak ada kerjaan?" Tepat sekali siapa lagi kalau bukan Maya, mamaku tersayang.
"Hem." Aku menatap mama dengan wajah malas.
"Kenapa mukanya kusut gitu sayang?" Seperti biasa aku dapat memprediksi apa yang mama pikirkan dan apa yang akan dia bicarakan sekarang.
"Kamu nggak bohong sama mama kan kalau Nina itu pacar kamu?" Aku menghela napas lelah mendengar pertanyaan yang diajukan oleh mama. Dia pasti akan mencari tahu soal Nina dan asal usulnya. Mama terlalu overprotective padaku, awal aku berteman dengan Andre juga mama melakukan hal yang sama. Katanya dia ingin agar semua yang dekat denganku sesuai dengan kriterianya.
"Iyah ma, lalu mama mau apa? Jangan macam-macam sama Nina yah mah." Sepertinya pembicaraan ini akan berlangsung lama dan pastinya hanya akan berputar soal hubunganku dengan Nina.
"Mama udah cari tahu soal asal-usul Nina, dia itu adalah anak yatim piatu jadi kamu bisa dengan mudah menikah sama dia. Ayo Erik tunggu apa lagi ajak dia untuk menikah, nanti mama yang siapin semuanya."
"Mah niat banget yah mau aku cepet nikah?" Aku memejamkan mata berusaha menahan amarahku untuk kesekian kalinya.
"Papa dan mama udah tua sayang kami pingin ngeliat kamu nikah dan punya anak sebelum kami ..."
"Iya iya iya aku ngerti maksud mama, nanti aku ajak Nina buat nikah puas mama sekarang?"
"Iyah sayang makasih yah udah ngertiin mama, mama tunggu kabar gembira dari kamu ya." Mama tersenyum bahagia, sebelum keluar dari ruangan, dia menghampiriku lalu memasukkan sesuatu dalam saku jasku. Sepeninggal mama aku melihat apa yang mama masukkan di saku, ah kartu kreditku kembali. Aku tahu bayaran yang mama minta setelah mengembalikan kartu kreditku, pastinya sebuah pernikahan.
Sisa waktu di kantor kuhabiskan dengan berpikir keras bagaimana cara agar aku bisa lolos dari lubang yang kubuat sendiri. Mama tidak boleh tahu aku berbohong padanya, tamat riwayatku jika sampai itu terjadi. Pernikahan bukanlah soal gampang dan bukan sesuatu yang akan dilakukan dengan main-main. Aku juga tidak berniat menikah jika hanya untuk menyakiti orang lain.
Ketika pulang aku melihat Nina tengah tertidur di sofa. Aku berjongkok di sampingnya lalu memandangi wajahnya yang tampak kusut sama sepertiku. Kalau dia sedang tidur seperti ini dia tampak manis, sangat manis malah. Aku menggeleng pelan menyadarkan diriku dari imajinasi liar yang mendadak muncul di otak.
Sebuah pikiran jahil muncul, dengan cepat aku berjalan ke dapur lalu mengambil segelas air. Setelah itu, aku kembali lalu mencipratkan air itu ke wajah Nina yang masih tertidur pulas. Tidak lama kemudian dia bangun mengap-mengap seperti ikan yang kehabisan air.
"Hujan apanya di luar lagi panas oey hahaha."
Aku tertawa melihat wajah Nina yang ditekuk karena kesal. Setelah dia bangun aku duduk di sampingnya. Dia tampak berbeda dari dirinya yang biasa, apa telah terjadi sesuatu hingga sifatnya berubah seperti ini? Ah bukan masalah karena aku jadi nyaman dengan sikapnya yang seperti ini.
Dan karena terbawa suasana aku malah menyandarkan kepala di bahunya, sial semoga dia tidak berpikir macam-macam tentangku.
"Kamu bilang apa?"
"Hem kamu mau nikah sama aku?"
Plak
"Gila ya!"
* * *
Aku masih meringis sambil memegang pipiku yang memerah karena tamparan Nina barusan. Meski terlihat kurus tangannya ternyata sangat keras, aku bisa merasakan sakit yang sangat pada bekas pukulannya. Ingin rasanya aku membalas tamparannya, tapi ingat aku adalah seorang laki-laki dan tidak mungkin memukul perempuan. Apalagi jika perempuan itu adalah calon istriku.
"Nina hanya kamu yang bisa bantu aku sekarang. Kamu boleh menolak penawaran ini kalau kamu tidak mau, tapi tolong pikirkan dulu permintaanku ini oke?" Demi Tuhan apa yang sudah kulakukan, kenapa aku malah terkesan seperti sedang memohon kepadanya? Tenang Erik ingat ini demi kenyamanan hidup kamu sendiri agar terbebas dari drama mama.
Nina masih menatap wajahku dengan ekspresi yang tidak dapat aku artikan, di saat serius seperti ini aku bahkan tidak bisa tersenyum padanya. Entah kenapa aku merasa gugup dengan tatapan itu. "Baiklah, bisa berikan aku waktu untuk berpikir?" Aku terkejut dengan jawaban yang diberikan oleh Nina. Apa ini berarti aku mendapat lampu hijau darinya? Kupikir dia akan langsung menolak ajakanku.
Setelah mengatakan hal itu, Nina berjalan meninggalkanku menuju ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian gadis itu keluar dengan handuk yang melilit di tubuhnya.
"Glek" aku meneguk saliva pelan melihat penampilannya yang telihat seksi dengan handuk pendek yang memamerkan paha dan bahu putihnya.
"Dasar homo." Apa barusan dia sedang mengataiku? Tidak sadarkah dia kalau aku tengah menahan diri mati-matian untuk tidak menerkamnya sekarang? Erik junior sudah lama tidak dipuaskan dan jujur saja melihat pemandangan seperti ini membuat gairahnya bangun lagi.
Aku bilang tidak suka perempuan tapi aku tidak bilang kalau aku tidak pernah memuaskan juniorku bukan? Dan karena pekerjaan yang banyak belakangan ini, aku tidak pernah mengunjungi klub malam kesukaanku dan mencari teman tidur satu malam. Aku masih tetap berada di tempat ketika Nina keluar dengan dandanan rapih dan melewatiku.
"Kamu mau ke mana?"
"Aku akan menemui seseorang." Nina berbalik lalu tersenyum sekilas padaku, setelah itu dia pergi meninggalkanku yang masih bingung dengan sikapnya yang berubah. Aku masih belum bergerak dari tempat duduk. Bayangan apa yang akan terjadi nantinya terus berputar di otak. Sebagian diriku ingin agar aku melarikan diri dari pernikahan ini, sebagian lagi berharap agar Nina mau menerimaku sebagai suaminya.
Tidak ada orang yang suka jika dihadapkan dengan masalah yang pelik, mereka pasti akan mencari jalan tercepat seperti yang aku lakukan sekarang. Semoga saja ini adalah keputusan terbaik dan aku tidak ingin menyesal kedepannya.
* * *
Nina pulang saat aku akan makan malam, dia masih pendiam seperti saat meninggalkan tempat ini tidak berubah sedikitpun. Dia duduk berhadapan denganku lalu ikut makan bersamaku tanpa mengeluarkan sebuah suara. "Kamu nggak apa-apa?" Aku berusaha mencairkan suasana di antara kami.
Dia menatapku menghela napas berat lalu tersenyum. "Masakan kamu nggak enak, padahal aku pingin punya suami yang bisa masak makanan enak." Sepertinya dia sedang mengajakku untuk bercanda sekarang.
"Nanti aku belajar masak."
"Oke jadi kapan kita nikah?" Sebuah pertanyaan yang keluar dari bibirnya membuatku mengeluarkan kembali makanan yang sudah kumakan.
"Jadi?"
"Iya aku mau nikah sama kamu."
* * *