Chereads / My Roommate is Homo / Chapter 5 - Chap 5 Nina Pov

Chapter 5 - Chap 5 Nina Pov

"Jadi?"

"Iya aku mau nikah sama kamu."

Aku berkata mantap sambil berusaha mempertahankan senyuman di bibirku. Aku sudah banyak berpikir sejak berjalan keluar dari rumah dan tidak ragu dengan keputusan yang akan kuambil. Sebenarnya alasan aku menerima pernikahan yang ditawarkan oleh Erik adalah karena usulan dari sahabatku.

Tidak mungkin aku suka dengan pria yang baru dekat denganku hanya karena kami tinggal bersama selama beberapa minggu. Aku tahu dengan pasti kalau Erik juga tidak menyukaiku. Aku adalah orang bisa membantunya untuk menyembunyikan identitasnya sebagai seorang homo dan aku harus mengambil keuntungan juga dari pernikahan ini.

Baiklah mari kita kembali ke beberapa jam yang lalu saat aku pergi meninggalkan apartemen untuk menenangkan pikiran. Meskipun selalu berada di rumah, aku bukanlah orang yang tidak punya kehidupan di luar. Aku punya seorang sahabat perempuan yang selalu menjadi tempat pelampiasan jika sedang suntuk dengan pekerjaan.

Namanya Dewi, kami adalah teman dekat sejak SMA. Sekarang dia bekerja sebagai salah satu karyawan di sebuah perusahaan besar dalam kota. Meskipun jarang bertemu, kami selalu melakukan kontak melalui media sosial. Dewi yang cerewet bisa dekat dengan gadis aneh sepertiku merupakan suatu keajaiban.

Mungkin alasan kami bisa saling mengerti adalah karena kami punya cara berkomunikasi yang unik, dan tidak mudah tersinggung dengan apa yang diucapkan satu sama lain. Matahari sudah terbenam sepenuhnya dan aku masih berdiri di depan gedung tempat Dewi bekerja.

Angin berhembus pelan membuatku merapatkan jaket. Aku sudah mengirim pesan pada Dewi beberapa menit lalu dan dia berkata bahwa pekerjaannya akan selesai sebentar lagi. Aku duduk di tempat tunggu yang tersedia di lobi kantor.

Tidak berapa lama kemudian, Dewi keluar sambil membawa jaket di sebelah tangannya. Berbeda denganku yang tidak pernah memperhatikan penampilan, Dewi adalah seorang wanita yang modis dan tentunya cantik. Lihat saja blazer dan rok ketat yang menempel pas di tubuh rampingnya.

Rambut panjang yang sengaja diurai membuat Dewi terlihat sepeti boneka barbie yang berjalan di antara kerumunan orang yang ingin pulang dari kantor. "Nina!" Dewi langsung memelukku layaknya sepasang kekasih yang sudah lama tidak bertemu, tanpa memperdulikan tatapan orang-orang yang menatap kami dengan keheranan.

Yah heran karena melihat seorang boneka barbie memeluk seorang gadis yang terlihat seperti pengemis sungguh kejadian langka. Penampilanku memang tidak seperti pengemis yang ada di luar sana, tetapi cara berpakaianku yang membuatku tampak hampir seperti itu. Lihat saja baju dan jaket kebesaran yang aku pakai, ditambah celana kain serta sepatu kets, uhh sungguh gaya yang aneh.

Aku memang tidak pernah memperdulikan perkataan orang tentang cara berpakaian, karena hanya memakai apa yang membuatku merasa nyaman. Semejak kepergian kedua orang tuaku, aku menjalani hidup sesuka hati dan tidak pernah memperdulikan pandangan orang lain.

"Kenapa mukanya kusut, mau layanan seperti biasa?" Dewi tahu apa yang dibutuhkan olehku di saat-saat seperti ini.

"Huum kamu memang orang yang paling mengerti aku deh." Aku mengembungkan pipi, sikapku akan berubah menjadi manja ketika bersama dengan Dewi. Tentu saja karena aku sudah menganggap Dewi seperti ibu angkatku sendiri. Waktu sekolah kami selalu dijuluki ibu dan anak angkat saking dekatnya.

"Kali ini ada masalah apa lagi?" Dewi melepaskan pelukkannya lalu merangkul tanganku, kami berjalan meninggalkan kantor sambil bergandengan tangan.

"Sangat banyak, aku bingung harus mulai darimana." Aku menatap kosong ke depan, masalahku memang terlihat sederhana tapi sulit untuk mencari jalan keluarnya. Satu hal yang paling bisa membuat moodku down adalah dikritik soal karyaku. Jika itu terjadi aku bisa galau selama beberapa minggu dan selama aku belum menemukan mood kembali, aku tidak akan pernah menulis. Jika hal itu terjadi, Dewi akan berusaha menghibur dan menyemangatiku agar bisa kembali ceria seperti biasa.

Kami mampir ke minimarket untuk membeli beberapa cemilan dan bir kalengan agar dapat dinikmati di rumah Dewi. Setelah berjalan cukup lama, kami sampai di aparteman yang disewa Dewi. Bukan berarti dia tidak punya uang untuk membeli rumah sendiri padahal bekerja di perusahaan besar. Dewi ingin agar orang yang menjadi suaminya kelak yang menyediakan rumah untuknya.

"Ahh sampai juga, aku kangen sama tempat tidurmu." Layaknya seorang tamu yang tidak tahu malu, aku langsung membanting tubuhku di tempat tidur king size milik Dewi. Sambil menunggu Dewi mengganti pakaian kerjanya dengan pakaian rumah, cemilan dan bir sudah kami taruh di kaki tempat tidur.

"Unch anakku tersayang ada apa gerangan hingga dikau bermuram durja seperti ini?" Dewi datang ikut membanting tubuhnya di sebelahku.

"Mamah Andre jahat, masa dia bilang ceritaku nggak bagus dan berkualitas, kan aku udah berusaha nulis cerita cinta seperti pesanan dia." Aku pura-pura menangis sambil memeluk tubuh Dewi yang ramping.

"Duh memang susah ya kalau nyuruh anak polos kayak kamu buat nulis tentang percintaan." Dewi tertawa pelan lalu duduk di lantai dan membuka cemilan yang tadi kami beli.

"Humph nggak lucu tau, pikir deh aku udah berusaha semaksimal mungkin buat nulis tapi malah dibilang ceritanya nggak ada feel sama rasanya, kan kesal!" Aku masih bertahan di tempat tidur sambil mengubah posisi agar kepalaku berada tepat di samping Dewi.

"Sepertinya aku tahu masalahnya di mana." Dewi membuka sebuah kaleng bir lalu memberikannya padaku.

"Emangnya masalah di mana?" Aku meneguk bir di kaleng sambil menatap Dewi yang kini juga mulai meminum birnya.

"Ya ampun Nin masa kamu belum nyadar sih padahal udah jelas." Dewi tertawa melihat ekspresiku yang menatapnya penuh tanda tanya.

"Ya kalau aku belum tahu mah mau sejelas apapun tetep aja hasilnya nol peak." Aku melempar bantal yang ada di pelukanku pada Dewi. Kadang dia bisa jadi sangat menyebalkan seperti ini.

"Hahaha iya aku kasih tahu nih."

"Kamu itu udah umur segini tapi belum pernah ngerasain apa itu cinta, dan dengan pengalaman yang cetek kayak gini masa kamu mau nulis tentang percintaan. Memang kamu yakin orang bakal ngerti apa yang kamu tulis?" Dewi menjelaskan semuanya dengan satu tarikan napas.

"Terus aku harus gimana Wi, tolongin plis ini soal karier dan masa depanku." Aku mulai memasang wajah memelas sambil menatap Dewi. Dia tidak pernah bisa menolak tatapan wajah memelasku. Seolah ingin menghindar dari tatapanku, Dewi pura-pura memicingkan mata layaknya adegan di anime kesukaanku.

"Yang kamu butuhkan hanya seorang laki-laki, ingat seorang pria yang bisa mengajarkan tentang apa itu sentuhan." Dewi tersenyum lalu mengelus rambutku. "Apa itu ciuman." Tangannya turun ke bibirku. "Dan ..." Dewi menggigit bibir bawahnya seksi lalu bangun dari duduknya. Berdiri dihadapanku lalu mengelus ujung pahanya. "Apa itu seks." Dewi sengaja mengecilkan suaranya sehingga terdengar seperti sedang mendesah.

"Jijik Wi najis gatel banget kamu." Kali ini bantal yang kupegang sukses mendarat di tubuh Dewi. Selama ini Dewi selalu tampil dengan anggun di depan orang-orang sehingga tidak ada yang menyadari kalau sifat asli sahabatku ini sangat liar. Dia mengencani seseorang hanya agar dapat memuaskan hasratnya saja. Dengan penampilan bak model papan atas, Dewi berhasil menarik banyak pria dan tak jarang dia sering gonta-ganti pasangan.

Aku mengambil cemilan lalu mulai memakannya, pikiranku kembali ke rumah saat Erik mengajakku untuk menikah. Aku jelas tahu kalau dia hanya memanfaatkanku, lalu sebuah ide gila mulai muncul. Aku membutuhkan seorang pria yang mau menjadi bahan percobaan agar dapat menciptakan adegan percintaan di novelku dan Erik adalah seorang homo, bukankah dia bisa menjadi orang yang tepat.

"Kenapa senyam-senyum nggak jelas?"

"Gpp kok Wi, aku udah putusin buat nikah demi kelanjutan novelku."

"Gila ya, mana ada cowo yang mau sama kamu."

"Ada kok lo liat aja tunggu undangannya ya, baby." Aku tertawa sambil berguling di atas tempat tidur. Yah keputusan yang kuambil ini sudah bulat, apapun yang akan terjadi kedepannya aku tidak akan menyesal. Aku dan Dewi menghabiskan sisa waktu kami dengan bercerita sambil menikmati bir dan cemilan yang tadi kami beli.

Aku sampai di apartemen pukul sepuluh malam, aku terkejut ketika melihat Erik baru saja ingin menyantap makan malamnya. Bukankah biasanya dia sudah makan dari jam delapan, kupikir dia telah terlelap dalam alam mimpi. Aku ingin tertawa ketika melihat telur dadar acak-acakan hasil masakkan Erik, benar juga aku lupa memasakkan makan malam untuknya.

Iseng aku mengambil piring lalu ikut makan bersamanya dalam diam. "Masakan kamu nggak enak, padahal aku pingin punya suami yang bisa masak." Erik menatapku lalu tersenyum.

"Nanti aku belajar masak."

"Okey jadi kapan kita mau nikah?" Akhirnya tawaku lolos ketika melihat Erik yang terkejut mendengar jawaban dariku.

"Jadi?"

"Iya aku mau nikah sama kamu."

"Serius?"

"Iyah tapi dengan beberapa syarat, kamu ngambil keuntungan dari aku dan aku bakal ngambil keuntungan dari kamu gimana?"

"Okey setuju." Kami lalu berjabat tangan tanda sepakat. "Kita buat pernikahan kita secepat mungkin dan sesederhana mungkin kalau bisa, dan satu lagi kamu harus siap buat ketemu sama waliku." Aku menyeringai puas.

"Okey siap my lady."

* * *